Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Debora Amelia Santosa, 44 tahun, masih teringat kejadian delapan tahun silam di sebuah hotel di Amsterdam, Belanda. Karena tak ada bellboy, ia terpaksa membawa sendiri koper, tas cangklong, dan tas laptopnya dari lobi ke kamar. Saking banyaknya yang dibawa, Amel—begitu ia disapa—kerepotan saat melangkah keluar dari lift.
Nahas, pintu lift menutup, sementara koper masih di dalam. Tangan Amel yang menggenggam gagang koper pun ikut tertarik. Kejadian itu membuat tulang bahu Country Head Marketing and Communication PT ACE INA Insurance ini cedera. Hasil foto roentgen menunjukkan tulang bahu kanannya melorot.
Meski Amel sudah keluar-masuk klinik fisioterapi dan ruangan dokter spesialis saraf, cedera bahunya tak kunjung pulih. Yang membuat stres, ia harus berhenti bermain tenis dan tak bisa memijit-mijit tombol telepon selulernya. Bahu kanannya tak lagi kuat membawa tas cangklong. Ia pun menderita keluhan pascacedera, yakni pusing kepala sebelah dan nyeri pundak.
Bermaksud mencari solusi untuk cedera tulang bahunya, Amel berselancar di Internet. Dia jadi bersemangat begitu mendapat informasi soal stott pilates. "Saya tertarik karena jenis latihan itu katanya bisa merehabilitasi otot yang lemah selepas cedera," ujarnya saat ditemui di Pondok Indah, Jakarta Selatan, Sabtu tiga pekan lalu.
Stott pilates merupakan versi kontemporer dari metode pilates asli yang diciptakan Joseph Hubertus Pilates pada 1920-an. Stott pilates dikembangkan oleh Lindsay dan Moira Merrithew pada 1988. Perbedaan paling mendasar di antara keduanya adalah, dalam latihan, Joseph Pilates menggunakan tulang punggung yang lurus, sementara stott menjaga kelengkungan alamiah tulang punggung.
Informasi di Internet mengarahkan Amel ke sebuah pusat pelatihan pilates di Pondok Indah bernama Vitruvian Pilates Studio, salah satu penyelenggara stott pilates yang sedang marak di Jakarta belakangan ini. Di sanalah ia mulai berlatih dengan Khing Porn Promruang, instruktur kelahiran Bangkok, Thailand. Sebelum berlatih, Amel menjalani pemeriksaan kondisi tubuh agar sang instruktur tahu bagian mana yang mesti "dikoreksi".
Amel diminta menjelaskan secara rinci aktivitasnya sehari-hari, olahraga yang biasa dilakukan, riwayat penyakit, dan cedera yang pernah dialami. "Semua orang punya kecenderungan berbeda soal keluhan. Karena itu, kami juga memberi pola latihan berbeda untuk tiap klien," kata Khing, yang sudah satu dasawarsa ini melatih pilates.
Resep latihan yang dibikin Khing menyesuaikan dengan kesibukan Amel, yang dalam sepekan hanya bisa sekali berkunjung ke pusat kebugaran. Hasilnya? Tiga bulan setelah ia rutin melakoni pilates, tulang bahunya berangsur normal. "Saya akhirnya bisa angkat raket (bermain tenis) lagi," ucapnya.
Saat Tempo menyaksikan latihan yang dilakukan Amel, sekilas tak tampak berat. Ia duduk bersila di atas matras. Matanya terpejam, seolah-olah meresapi tiap hela napas yang masuk melalui hidung dan diembuskan lewat mulut. Sekitar lima menit kemudian, tanpa mengubah posisi duduknya, Amel melilitkan tali karet selebar lima sentimeter di perutnya.
Ia kemudian membentangkan kedua tangannya lurus ke samping, tanpa membusungkan dada. Kemudian ia memutar perut bagian kanannya, dengan posisi lengan mengikuti gerakan. Lengan ia tahan agar tak bergerak, tapi pandangan matanya menyesuaikan putaran tubuh.
Menurut Khing, gerakan relaksasi pilates memang mirip dengan yang dilakoni para pelaku yoga. "Bedanya, kalau dalam yoga, manusia menyesuaikan gerakan. Dalam pilates, gerakanlah yang menyesuaikan manusia," ujarnya. "Dengan latihan gerak yang tujuannya memperbaiki postur, pilates secara tak langsung bisa memulihkan cedera."
Dalam misi menyembuhkan Amel, Khing menyiapkan lima tahap dasar stott pilates—jenis latihan kebugaran untuk memperbaiki otot dalam. Tahap pertama adalah Pernapasan 360 Derajat, atau Khing sebut juga Pernapasan 3 Dimensi. Istilah itu digunakan karena, dalam tahapan ini, Anda "dipaksa" bernapas seoptimal mungkin hingga tulang rusuk kanan, kiri, depan, dan belakang bisa mengembang maksimal.
Dengan teknik pernapasan yang baik, sejumlah keluhan yang bersumber dari tulang bahu, otot leher, tulang belakang, dan otot perut bisa diminimalkan. Keluhan itu, Khing mencontohkan, antara lain nyeri pada bahu akibat memikul beban terlalu berat dan pusing kepala sebelah. Teknik pernapasan juga bisa meredakan stres karena, saat bernapas, Anda dilatih untuk rileks.
Dalam kasus cederanya Amel, belajar teknik mengambil dan membuang napas ini bisa membantu melatih otot perut yang dapat memperbaiki tulang belakangnya. "Fungsi otot perut itu seperti korset. Jadi mengapa tidak memancing otot perut bekerja untuk memperbaiki tulang-tulang di sekitarnya yang tidak bekerja maksimal?" tutur Khing.
Tahap berikutnya berfokus pada tulang pinggul atau pelvis. Letak tulang pinggul yang di tengah, kata Khing, menjaga agar tubuh tetap pada posisi netral. Jika letak tulang pinggul rata atau lurus, otomatis posisi tulang yang tersambung dengannya, seperti tulang kemaluan, akan benar dengan sendirinya.
Tahap ketiga adalah latihan yang menyasar tulang rusuk. Latihan ini penting karena apa pun yang terjadi pada tulang rusuk berpengaruh pada tulang belakang dan postur tubuh. Penyelarasan tulang-tulang dan memfokuskannya ke pusat, antara tulang rusuk bawah dan tulang kemaluan, akan memperbaiki postur tubuh.
Tahap keempat mempengaruhi stabilitas dan pergerakan tulang belikat yang terhubung dengan rusuk dan tulang lengan atas. Sedangkan pada tahap kelima, yang disasar adalah letak kepala dan tulang serviks. Saat berlatih pada tahap ini, Khing menjelaskan, kepala dikondisikan melihat tepat ke tengah dan gerakan yang melibatkan serviks mesti "satu garis". "Kalau tubuh 'lurus', pusing atau capek di leher bisa dihindari."
Dokter spesialis olahraga Michael Triangto membenarkan latihan fisik tertentu, seperti pilates, bisa menyembuhkan cedera dan kelainan pada tulang. Namun, menurut dia, tak semua cedera dan kelainan tulang bisa sembuh total hanya dengan latihan fisik. Patah tulang total, misalnya, tak bisa disembuhkan selain dengan tindakan medis, seperti pemasangan gips dan elastic bandage serta penggunaan kruk.
Jenis cedera dan kelainan tulang yang bisa disembuhkan dengan latihan fisik misalnya tulang retak karena benturan, skoliosis (tulang belakang melengkung), atau patah tulang komplet yang melepaskan hubungan di antara dua patahan tulang. Kelainan bentuk tulang karena bekas trauma dan penyembuhan yang belum sempurna juga bisa dinormalkan kembali dengan pilates.
Pernapasan yang dilatih lewat pilates disebut Michael bisa membantu melatih otot dan menempatkan kembali tulang yang bermasalah ke posisinya semula. Cedera bisa disembuhkan dengan pilates karena olah fisik secara kontinu melatih otot. "Pada dasarnya yang dilatih dengan pilates adalah ototnya. Sedangkan otot inilah yang memindahkan posisi tulang ke tempatnya semula."
Namun Michael menyarankan mereka yang cedera tak buru-buru merujuk pada pengobatan nonmedis. Sebaiknya, kata dia, mereka yang cedera lebih dulu menyambangi dokter umum, dokter olahraga, ataupun dokter ortopedi. Dokterlah yang nanti melakukan analisis dan menyarankan langkah penyembuhan jangka panjang, tentu setelah si pasien menjalani teknik pemindaian, seperti roentgen.
Isma Savitri
5 Tahap Dasar Stott Pilates
Jenis latihan kebugaran untuk memperbaiki otot dalam.
1. Tahap Pertama
Pernapasan 360 Derajat. Istilah itu digunakan karena, dalam tahapan ini, Anda "dipaksa" bernapas seoptimal mungkin hingga tulang rusuk kanan, kiri, depan, dan belakang bisa mengembang maksimal.
2. Tahap Kedua
Berfokus pada tulang pinggul atau pelvis. Jika letak tulang pinggul rata atau lurus, otomatis posisi tulang yang tersambung dengannya, seperti tulang kemaluan, akan benar dengan sendirinya.
3. Tahap Ketiga
Latihan yang menyasar tulang rusuk. Sebab, apa pun yang terjadi pada tulang rusuk berpengaruh pada tulang belakang dan postur tubuh.
4. Tahap Keempat
Mempengaruhi stabilitas dan pergerakan tulang belikat yang terhubung dengan rusuk dan tulang lengan atas.
5. Tahap Kelima
Yang disasar adalah letak kepala dan tulang serviks. Saat berlatih pada tahap ini, Khing menjelaskan, kepala dikondisikan melihat tepat ke tengah dan gerakan yang melibatkan serviks mesti "satu garis". "Kalau tubuh 'lurus', pusing atau capek di leher bisa dihindari."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo