Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana cerita Anda melansir keterbukaan di DPR pada 1989 bersama, antara lain, Brigjen Roekmini dan Laksamana Pertama Sundoro Syamsuri?
Itu kami lakukan karena etika politik sudah tidak ada. Rekayasa terus terjadi. Yang besar menekan yang kecil. Saat itu, DPR sudah kayak sampah, dicaci-maki. Melihat hal itu, kami minta kepada Ketua F-ABRI, "Pak, kita harus berupaya agar citra DPR naik." Komisi II kemudian mengundang Pak Alfian dan Jenderal Soemitro untuk berbicara. Setelah itu, kita lemparkan isu keterbukaan tersebut.
Apa "rumus" keterbukaan yang Anda maksudkan?
Melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Namun, rapat malam itu selesainya sudah larut. Wartawan sudah tidak ada. Lalu, apa yang keluar di media massa pada pagi harinya? Transparansi! Maka, mengecillah makna keterbukaan itu. Saya sendiri sudah berkali-kali berusaha meralat hal itu. Tapi, sampai sekarang, orang memahami keterbukaan yang kita gelindingkan sebagai sekadar transparansi.
Apakah keterbukaan yang dilansir itu membawa akibat tertentu?
Pada saya, iya, rasa tertekan dan frustrasi. Misalnya, seorang petinggi ABRI yang sedang main tenis bersama sayasetelah isu itu dimuat media massamengatakan begini, "Mbok, kamu itu jangan mencari popularitas." Saya tersinggung sekali waktu itu. Saya katakan, "Tolong, saya di-recall saja dari F-ABRI. Sebab, saya dinilai mencari popularitas dan berjalan di luar garis." Dua kali saya dipanggil dan ditanyai oleh Bais gara-gara hal ini.
Apa saja yang mereka tanyakan?
Macam-macam. Bayangkan, saya bahkan pernah ditelepon seorang mayor. Katanya, "Pak, kami mau minta keterangan." Saya jawab, "Kalau mau minta keterangan, sebutkan, kau ini anak buah siapa?" Dijawab, "Brigjen Anu." Saya katakan, "Suruh brigjenmu itu kemari. Kalau kau datang ke rumah, kuusir kau." Sampai begitu .
Apa sesungguhnya peran F-ABRI di DPR yang Anda lihat selama berada di lembaga itu?
Fraksi ini jelas-jelas mendukung pemerintah dan Golkar. Bahkan, ketika saya masih di DPR, Ketua F-ABRI pernah mengatakan, "Kalau kepentingan masyarakat bertentangan dengan kepentingan pemerintah, kita harus memenangkan kepentingan pemerintah." Di lain hari, setelah Pemilu 1992, Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI datang ke F-ABRI di DPR. Saat kami semua berkumpul, ia bilang, "Ada instruksi, pada Pemilu 1997 nanti Golkar harus menjadi mayoritas tunggal. ABRI harus mendukung." Mendengar hal itu, saya langsung menolak: "Tidak bisa, Pak."
Bukankah Golkar selalu menjadi mayoritas tunggal?
Tapi perolehan suaranya kan turun pada 1992, menjadi kira-kira 68 persen, dibandingkan dengan Pemilu 1987, yang berhasil merebut suara 73 persen. Waktu itu, saya langsung angkat tangan dan bertanya, "Berapa kenaikan (yang diharapkan)?" Jawabannya, Golkar harus mendapat 80 persen suara. Lalu, saya tanya, "Bagaimana?" Sebab, makin lama masyarakat semakin sadar akan hak-hak politiknya. Apakah kita masih akan melakukan hal-hal seperti 1970-an dulu?
Seperti apa cara-cara 1970-an itu?
Di Wamena, Irianjaya, misalnya. Terus terang, pada 1977, pemilu tidak ada di Wamena karena pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) bergolak di hampir seluruh kabupaten. Tapi Golkar menang di sana karena kita yang membuat itu, termasuk saya.
Bagaimana cara memenangkan Golkar di Wamena?
Tidak ada cara-cara tertentu. Cukup kita laporkan ke Jakarta bahwa pemilu di Wamena dimenangi 100 persen oleh Golkar. Tapi cara-cara ini terlalu mahal karena sebetulnya yang menjadi taruhan adalah peran ABRI sebagai dinamisator. Akhirnya apa? ABRI hancur gara-gara ini, gara-gara tetap membela Golkar. (Plaaak! Samsudin memukulkan telapak tangan kanannya ke telapak kiri untuk menggambarkan hancurnya ABRI.) Terasa betul betapa kita ini hanya menjadi subordinatnya Golkar. Banyak contoh kasus tentang soal ini.
Bisa Anda beri gambaran seperti apa kasusnya?
Suatu ketika F-ABRI setuju dan memperjuangkan Badan Pekerja (BP) MPR, yang saat itu memang tidak bekerja dengan baik, selama lima tahun. Kita buat konsepnya lalu kita konsultasikan dengan Golkar. Tapi Golkar bilang, "Kalau BP bekerja selama lima tahun, itu berarti kita mengikuti Pak Harto terus-menerus selama lima tahun. Lalu, kapan Pak Harto bekerja?" Jadi, mereka tidak mau menerima konsep itu. Untuk memperjuangkan itu, kami datang ke Pak Rudini (saat itu Menteri Dalam Negeri). Tapi Pak Rudini tidak berani. Kami datang ke Presiden. Lalu, turunlah titah, "Ikuti apa yang dimaui F-KP." Jadi, F-ABRI betul-betul habis.
Apa imbalan bagi F-ABRI dengan menjadi subordinatnya Golkar?
Tidak ada sama sekali. Dalam hal ini, kan, jelas ada jalur A (ABRI), B (Birokrasi), dan G (Golkar). Dulu, itu dirahasiakan, tapi kemudian jadi terang-terangan. Sampai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pun jadi pakai baju kuning. Setelah itu, ya, ABRI hancur. Saya benar-benar malu. Saya pikir, bintang empat kok tidak bisa menempatkan dirinya di mana. Apalagi dia sampai mengatakan bahwa ABRI adalah kader Golkar.
Anda tujuh tahun berada di DPR. Apalagi yang "mengesankan" selain soal tidak adanya etika politik?
Tidak ada kontrol DPR, sebagai lembaga legislatif, kepada pemerintahsuatu hal yang mungkin sangat berbeda dengan DPR yang baru sekarang. Soal lain adalah kewenangan dewan yang sangat dikekang, terutama hak inisiatif.
Lo, bukankah hak itu melekat dengan sendirinya pada badan legislatif?
Memang. Tapi, dulu, hak itu tidak diberikan pemerintah. Suatu saat, kami dari F-ABRIsaya, Syaiful Sulun, dan Harsudiyono Hartaspernah menghadap Pak Harto dan bertanya, "Kenapa Bapak tidak bisa menyetujui RUU datang dari DPR?" Jawabnya, "Nanti kan saya yang melaksanakan RUU itu. Oleh sebab itu, ide harus datang dari saya semua." Lalu, kami bilang, "Tapi itu kan hak kami?" Hak dewan dijamin oleh UUD 1945. Pak Harto lalu mengatakan, "Baik, RUU datang dari DPR. Tapi, kalau saya tidak menandatangani, kan, berarti konflik?" Namun, Pak Syaiful juga punya jawaban, "Kalau pemerintah setuju tapi tidak kami sahkan, akan timbul konflik juga. Sebab itu, Bapak bantu DPR sekarang untuk sedikit mengangkat citranya." Itulah statemen kami saat itu.
Bukankah Anda juga pernah dipanggil Pak Harto karena mempersoalkan siapa yang harus merumuskan GBHN?
Begini. Dalam pembuatan GBHN 1993, semua rumusan datang dari Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Wanhankamnas). Dewan semacam ini ada hampir di semua negara, beranggotakan masyarakat sipil, militer, dan pemerintah. Khusus di Indonesia, dominasi militer sangat terasa. Dan tugasnya tidak hanya di bidang hankam, tapi juga menyusun Rancangan GBHNsesuatu yang sudah menyimpang dari tugas Wanhankamnas. Pak Harto biasanya menyerahkan rumusan Wanhankamnas ini kepada Ketua DPR-MPR untuk diterima, tanpa boleh diubah. Nah, dalam sebuah seminar, saya mengatakan, GBHN adalah rumusan kehendak rakyat. Tempat membuatnya harus di MPRjangan dari badan apa pun di luar itu.
Dan Pak Harto tidak berkenan?
Tidak berkenan. Mungkin Pak Try (Try Sutrisno, bekas wakil presiden) kena tegur, lalu Pak Try memanggil saya. Namun, belakangan, dalam pertemuan saya dengan Presiden, Pak Harto mengatakan, "Memang, Din, GBHN yang akan datang tetap dari saya, tapi nanti akan saya serahkan kepada semua fraksi. Kalau mau mengubah total, silakan." Di sini, sudah mulai ada perbaikan.
Perbaikan yang bagaimana?
Sejak saat itu, rumusan GBHN boleh diubah di MPRdan memang banyak yang kita ubah. Tadinya kan tidak boleh diubah. Bagi saya, esensi yang penting adalah perumusan GBHN merupakan wewenang MPR. Pak Harto ternyata menerima perubahan itu.
Semua anggota TNI masuk ke parlemen saat masih aktif sebagai tentara. Bagaimana menyesuaikan diri dari suasana serba militer ke sebuah lembaga yang memerlukan kemahiran lobi, diplomasi, dan kompromi?
Kompromi? Lo, demokrasi ala Orde Baru itu enggak ada kompromi. Tidak ada itu kompromi untuk mencapai konsensus. Yang ada adalah pengarahan untuk mencapai semuanya secara seragam. Suasana ini membuat orang-orang yang mempunyai idealismewalau sedikitbetul-betul merasa sesak. Timbul konflik dengan diri ataupun kawan-kawan. Saya dan Ibu Roekmini adalah dua orang di F-ABRI yang sering kena tegur.
Bersikap progresif di DPR apakah membuat Anda "kesepian"?
Sebetulnya banyak yang mendukung, dari PDI dan PPP, bahkan dari Golkar sendiri, terutama yang muda-muda. Mereka mendukung karena merasa sulit berbicara secara bebas. Tapi, ya, begitulah target Golkar dulu. Mudah-mudahan sekarang tidak lagi. Namun, saya pikir, sudah banyak perubahan dan perbaikan yang terjadi di Golkar sekarang ini.
Sikap mendukung Golkar di DPR-MPR, yang Anda katakan, hanya ditiupkan pada sekalangan elite ABRI atau bagaimana?
Sampai ke lapis bawah. Saya beri Anda satu ilustrasi. Menjelang Pemilu 1992, saya datang ke suatu komando rayon militer (koramil) di Semarang. Di sana, saya bertemu dengan para perwira yang pangkatnya letnan dua ke atas. Saya bertanya kepada salah seorang dari mereka, "Kapten, apa yang dimaksudkan dengan peran sospol ABRI?" Ia menjawab, "Memenangkan Golkar dalam pemilu. Coba. " Temuan itu saya sampaikan kepada Pak Harsud (Harsudiyono Hartassaat itu Kassospol). Akhirnya, kami buat beberapa kursus.
Kursus apa dan apa perlunya?
Antara lain program penataran untuk meluaskan pengertian tentang peran sospol ABRI. Perlunya? Kita melihat bahaya dari cara berpikir di atas. Toh, tetap saja, kalau kita tanyakan ke bawah, persepsi mengenai peran sospol ABRI adalah memenangkan Golkar dalam kampanye. Maka, jangan heran, di kampung-kampung, koramil ramai-ramai bikin spanduk: "Daerah ini bebas parpol." Di Jawa Tengah, banyak kita temukan spanduk seperti itu. Ini betul-betul brainwash. Situasi telah mem-brainwash ABRI sehingga cara berpikirnya sedemikian melenceng.
Seratus suara di DPR adalah jumlah yang menggiurkan. Bagaimana tawar-menawarkalau adaterhadap suara ABRI dan kapan itu biasanya terjadi?
Tawar-menawar dan desakan (dari Golkar) terhadap F-ABRI itu terjadi hampir setiap saatlebih-lebih ketika mereka mulai merasa rugi. Ada kasus, Komisi II pernah ditugasi meneliti kebijakan Departemen Dalam Negeri yang ingin memisahkan antara kepala desa, lembaga masyarakat desa (LMD), dan lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD). Dulu, itu kan suatu kesatuan. Lalu, saya dan rekan-rekan mengadakan semacam penelitian di Garut, Jawa Barat. Ternyata, hampir semua kepala desa di Garut mengatakan bahwa ketiga lembaga ini lebih baik dipisahkan saja. Hasil itu kita bawa ke sidang Komisi II, lalu kita buatkan laporannya. Tapi hasilnya ditentang.
Mengapa? Siapa yang akan dirugikan kalau pemisahan itu terjadi?
Ketua LKMD dan LMD itu dipegang oleh kepala desa. Dalam struktur kepengurusannya, orang-orang partai (PPP dan PDI) tidak bisa masuk. Kalau usulan di atas gol, pengikut Golkar bisa hilang. Jadi, temuan yang kami buat berdasarkan permintaan pemerintah itu ditolak dan akhirnya tidak masuk dalam rapat pleno. Jadi, sama sekali tidak ada toleransi dari Golkar pada waktu ituuntuk kerugian sekecil apa pun.
Benarkah ada pertentangan ideologis di tubuh ABRI pada era Sidang Umum MPR 1993 antara "ABRI Hijau", yang cenderung Islam, dan "ABRI Merah-Putih", yang lebih nasionalis, tatkala menjagokan wakil presiden?
Kalau soal warna, ABRI itu dulu kuning semua, ha-ha-ha.... Tapi begini. Secara alamiah, kita tidak bisa melepaskan kecenderungan atau keterikatan emosional pada seseorang. Jika orang itu punya warna tertentu, kita akan didekatkan pula pada warna tersebut. Tapi, bahwa sampai soal "ABRI Hijau" dan sebagainya, saya kira kok belum sampai ke sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo