Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
StardustSutradara: Matthew VaughnSkenario: Matthew Vaughn dan Jane Goldman.Pemain: Charlie Cox, Claire Danes, Robert De Niro, Michelle Pfeiffer
PETUAH itu sederhana saja. Jangan pergi ke balik tembok itu. Di sana banyak penyihir. Bisa dikutuk jadi kampret, tikus, atau malah tak bisa pulang. Namun, Dunstan Thorn (Ben Barnes) nekat pelesir ke sana. Di sana dia berkenalan dengan Una (Kate Magowan), putri jelita yang tengah dihukum nenek sihir. Perkenalan langsung berlanjut ke percintaan.
Singkat cerita, waktu berlalu. Di depan rumahnya, Thorn mendapatkan seorang bayi laki-laki. Sepucuk surat menjelaskan bayi itu merupakan hasil hubungan gelapnya selama di balik tembok larangan. Anak lelaki itu, Tristan (Charlie Cox), tumbuh jadi lelaki biasa saja. Bekerja di sebuah toko dan jatuh cinta pada Victoria Forrester (Sienna Miller). Sayang, perempuan itu sedingin es batu.
Suatu malam, mereka melihat sebuah bintang jatuh. Demi cintanya, dia berjanji untuk membawa bintang itu untuk Victoria. Tak dinyana, sesampainya di balik tembok terlarang itu, bintang itu berwujud seorang perempuan yang cantik luar biasa. Dia adalah Yvaine (Claire Danes).
Bintang itu ternyata diburu banyak orang. Anak-anak dari Raja Stormhold (Peter O'Toole) berebut sebagai syarat untuk menjadi raja. Di samping itu, Lamia (Michele Pfeiffer), penyihir yang mukanya jelek minta ampun, juga menginginkannya. Bintang itu bisa membuatnya kembali cantik seperti dua abad sebelumnya. Tristan yang culun harus menyelamatkan bintang itu. Dari sinilah petualangan film Stardust dimulai.
Film garapan Matthew Vaughn (Layer Cake) masih tayang di beberapa bioskop di Jakarta.
Film ini mengangkat cerita dari novel grafis yang sama judulnya karya Neil Gaiman yang terbit 10 tahun silam. Novel grafis Gaiman berkisah tentang kehidupan di balik tembok larangan di sebuah tempat di Inggris. Di balik tembok itu, kekuatan sihir bersatu dengan udara. Gaiman jelas seorang pencinta Shakespeare. Beberapa tokoh dan kisah karya Shakespeare (Macbeth dan Hamlet) menclok dalam ceritanya ini.
Di masa kini, kisah khayalan alias fiksi fantasi apa pun menjadi sesuatu yang tidak lagi mustahil. Kemajuan teknologi grafis memungkinkan sesuatu yang hanya ada di awang-awang menjadi kenyataan. Para aktor cukup beraksi di depan layar hijau, tinggal selanjutnya tim visual yang bekerja keras.
Pun demikian dengan film ini. Hampir lebih dari separuh pertunjukan, film ini mengumbar kemajuan teknologi visual grafis. Stardust dipenuhi dengan adegan sihir. Lemparan api yang menyengat tubuh, kepala yang terpenggal, atau sebuah panorama magis di dunia antah-berantah. Namun, tentu saja itu tidak lagi mengagetkan. Kemajuan teknologi seperti ini sudah banyak mampir dalam film-film macam Harry Potter, Narnia, Lord of The Rings. Tak ada lagi yang istimewa. Anak-anak sekalipun yang sudah takjub dengan Harry Potter, di film ini niscaya tidak mendapatkan suguhan yang luar biasa.
Hingga akhirnya dinginnya ruangan bioskop yang diguyur mesin pendingin menjadi siksaan. Dalam waktu lebih dari dua jam, Vaughn berkisah dengan disiplin dan runtut. Dia bercerita tentang asal-muasal tembok yang terlarang itu dan percintaan ayah si Tristan. Sepertinya dia mengalami kesulitan untuk memangkasnya menjadi lebih sederhana. Alhasil, karakter yang muncul pun sedemikian sesak. Hiruk-pikuk pun terjadi.
Andai saja Vaughn mau sedikit nakal. Tak ada salahnya dia bermain-main menjadikannya cerita yang berlumur komedi. Vaughn sudah berusaha untuk itu. Satu yang menarik adalah kehadiran roh-roh anak Raja Stormhold yang duduk bersama menyaksikan setiap pertarungan sang raja. Begitu mati, rohnya berkumpul dengan arwah lainnya. Namun, sayang, hanya sampai di situ.
Untung ada Robert De Niro, si bunglon yang selalu tampil gemilang dalam setiap filmnya. Kali ini dia berperan sebagai Kapten Shakespeare, pemimpin perompak yang berkepribadian ganda. Di depan anak buahnya, sang penyamun begitu dihormati sebagai pemimpin yang bengis, kejam, dan berwibawa. Namun, di balik itu, dia tak lain seorang transvestite alias suka bergaya dan memakai pakaian wanita. Dia pula yang mendandani Tristan menjadi lebih cakep. Dua karakter yang sangat berlawanan itu larut dengan mengasyikkan di tubuh De Niro.
Penolong lainnya? Michele Pfeiffer, yang ciamik menjadi penyihir kejam dan brutal. Dua orang inilah yang tidak saja menyelamatkan film ini, mereka pula, sesungguhnya, yang menjadi bintang.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo