Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=#FF0000><B>KETUA PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA SAID AQIL SIROJ:</B></font><br /><font face=arial size=3><B>NU Tidak Memboikot, Hanya Memberi Warning</B></font>

24 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari Pondok Pesantren Kempek di Cirebon, Jawa Barat, kontroversi itu bermula. Awal pekan lalu, sekitar 1.200 orang menghadiri Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama. Ditutup oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pertemuan ini menyodorkan sejumlah rekomendasi yang mengagetkan.

Salah satunya pemboikotan pajak. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyeru warga menghentikan pembayaran pajak jika pemerintah Indonesia tak amanah mengelola duit rakyat. Keputusan ini diambil setelah melihat berbagai penyelewengan dan korupsi pajak. Rekomendasi di atas memantik banyak reaksi bahkan dari ”dapur” Nahdlatul Ulama sendiri. 

Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Ma'ruf Amin, yang juga Rais Syuriah (Ketua Komisi Fatwa) NU, menganggap hal ini sebagai langkah mundur. Menurut Rais Syuriah, yang seharusnya dihukum adalah koruptor pajak, bukan sistem perpajakannya. Pertemuan Cirebon juga merekomendasikan hukuman mati bagi koruptor yang melakukan kejahatan untuk kedua kalinya. 

Banyak kalangan menilai forum Musyawarah Nasional Cirebon ”menyimpang” dari semangat NU kembali ke Khittah 1926, yang menegaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah harga mati. Ide boikot pajak berarti menentang konstitusi yang membolehkan negara memungut pajak. Rencana hukuman mati bagi koruptor juga tak dikenal dalam konstitusi kita.

Bukan kali ini saja NU menelurkan keputusan serta rekomendasi yang mengundang reaksi luas. Pada Musyawarah Nasional di Bagu, Nusa Tenggara Barat (1987), misalnya, organisasi Islam terbesar di Indonesia ini mengeluarkan keputusan perempuan boleh menjadi presiden. Belum lagi semasa Abdurrahman ”Gus Dur” Wahid menjadi orang nomor satu NU.

Salah satu penerus Gus Dur di kursi Ketua Umum PB NU adalah Said Aqil Siroj. Ide-ide pluralisme dan toleransi antarumat beragama kerap dia sampaikan dengan bersemangat. ”Jangan hanya karena kasus Sampang lalu NU dianggap gagal bertoleransi,” ujarnya.

Dengan gesit dan lugas, ia menjawab pertanyaan wartawan Tempo Andari Karina Anom dan Istiqomatul Hayati serta fotografer Jacky Rachmansyah. Wawancara berlangsung selama dua jam lebih—dengan suguhan teh botol dingin—pada Selasa pekan lalu di kantor pusat PB NU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Dalam Musyawarah Nasional PB NU di Cirebon muncul wacana boikot pajak. Apakah ini tak bertentangan dengan konstitusi negara yang membolehkan pemungutan pajak?

Sudah sering saya katakan, kewajiban membayar pajak tidak ada dalam Islam. Yang ada kewajiban membayar zakat. Di luar zakat, ada lagi nazar, fidiah, dan pungutan-pungutan syar'i lainnya. Tapi umat Islam di Indonesia wajib membayar pajak atau dhoribah dalam bahasa Arab karena kita wajib taat kepada pemerintah. Al-Quran menyuruh kita taat kepada Allah, rasul, dan ulil amri—maksudnya pemimpin atau pemerintah. Bukan sembarang pemerintah, tapi yang kebijakannya prorakyat.

Dalam kacamata NU, apakah pemerintah Indonesia sekarang memenuhi syarat prorakyat?

Bukan rahasia lagi bahwa pajak itu dikemplang dan dikorupsi, seperti kasus Gayus. Dalam hal ini, kewajiban taat pajak kepada pemerintah kita tinjau ulang. Kalau pemerintah tidak amanah, masih wajib enggak kita taat? Apa artinya bila jerih payah yang kita bayarkan hanya untuk memperkaya sekelompok orang.

Itu sebabnya keluar seruan boikot membayar pajak?

NU tidak memboikot, hanya memberi warning. Kalau setelah diberi warning malah tambah parah, baru nanti kami memberi fatwa boikot.

Apa indikator menilai pemerintah semakin parah atau tidak?

Alhamdulillah, Presiden Yudhoyono pada penutupan acara di Cirebon menyatakan sependapat dengan rekomendasi Nahdlatul Ulama, dan berjanji menjalankan rekomendasi dari kami. Sampai sejauh mana dilaksanakannya, akan kami pantau terus.

Masalah korupsi dan penyimpangan pajak sudah lama terjadi di Indonesia. Mengapa baru sekarang NU mempersoalkannya?

Kami melihat kondisi sekarang makin parah, maka rekomendasi tersebut baru kami keluarkan sekarang. Ini hasil kajian para ulama NU dari segi agama, bukan politik.

Rekomendasi ini dikritik KH Ma'ruf Amin, Ketua MUI yang juga Rais Syuriah (Komisi Fatwa) NU. Menurut dia, yang seharusnya dihukum adalah koruptor pajaknya, bukan sistem pungutan pajaknya.

Kami tidak semudah ini mengancam­ boikot. Banyak syarat yang harus dipenuhi.­ Ulama-ulama NU panjang-lebar membahas soal ini. Soal koruptor disebut dalam rekomendasi kami.

NU mengeluarkan fatwa hukuman mati terhadap koruptor yang mengulangi perbuatannya. Pertimbangannya?

Korupsi ada dua macam: ada mencuri (sariqah), ada pula membangkrutkan negara dan merusak tatanan (hasad). Kalau yang mengambil 1-2 juta masih termasuk sariqah. Tapi, kalau jumlahnya besar sampai membangkrutkan negara, itu hasad. Ada ayat Al-Quran yang menyatakan hukuman hasad di muka bumi adalah dibunuh, disalib, dipotong dua tangan dan dua kakinya.

Bukankah hukuman mati melanggar hak asasi manusia?

Kita bicara dalam hukum agama saja, bukan politik.

Apakah NU juga merekomendasikan siapa yang akan menghukum mati koruptor dan bagaimana caranya?

Analoginya begini: kita tahu hukumnya orang tidak salat. Tapi NU kan tidak meminta polisi menangkap orang yang tidak salat. Begitu pula membunuh, bukan berarti kami sendiri yang membunuh. Kami hanya meminta, pemerintah yang melaksanakan.

l l l

Kenapa sikap Pengurus Besar NU dan Pengurus Wilayah NU Sampang berbeda dalam ihwal Syiah?

Sikap PB NU dan PW NU soal Syiah itu sama. Kami tak menganggap Syiah sesat. Bisa tersinggung umat Islam di Iran. Yang dianggap sesat oleh Pengurus Wilayah NU Sampang adalah ajaran Tajul Muluk (ustad Syiah di Sampang yang ditangkap karena tuduhan ”penodaan agama”).

Lho, ajaran Tajul Muluk itu kan ajaran Syiah?

Banyak orang yang mengatasnamakan Syiah tapi mengkhianati Syiah. Padahal Imam Ayatullah Khomeini memberi fatwa: orang Syiah dilarang mencaci maki sahabat Nabi Muhammad SAW. Orang Syiah yang masih mencaci Sayidina Ali, Abu Bakar, dan Umar berarti tidak taat kepada Imam Khomeini. Seperti juga orang yang mengatasnamakan NU tapi membunuh dan membakar, itu mengkhianati NU.

Maksud Anda, apa yang dilakukan nahdliyin di Sampang itu mengkhianati NU?

NU selama ini setia dengan prinsip toleransinya. Kalau hanya satu kasus Sampang dijadikan ukuran bahwa NU gagal, ya salah, dong. Di Bandung, Syiah kuat dengan pesantren milik Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat). Di Jakarta, Palembang, dan Yogya, Syiah juga kuat sekali. Kami berbeda, tapi tetap Islam, dan tetap damai. Kalau di Sampang, selain orang mengungkit-ungkit perbedaan, ada faktor lain: konflik keluarga antara Tajul dan adiknya, Roies Alhukama, yang menjadi salah satu pengurus NU.

Jika Anda menyebut kekerasan terhadap Syiah di Sampang sebagai konflik keluarga—seperti yang dikatakan pemerintah—apa ini tidak mengecilkan masalah?

Sama sekali tidak. Saya sependapat bahwa ini bukan hanya persoalan keluarga atau agama, tapi ada tindak kriminal di sini. Pelaku kriminal, apakah dia orang NU, kiai, sudah naik haji tujuh kali, atau siapa pun, harus ditangkap!

NU juga mengeluarkan rekomendasi menolak pemilihan kepala daerah secara langsung. Mengapa?

Ulama NU menilai pemilihan langsung menimbulkan banyak mudarat. Ada kemungkinan politik uang. Kiai jadinya seolah-olah bisa dibeli. Dikasih sumbangan ini dan itu, diklaim mendukung si calon. Ini bisa memecah belah umat.

Jadi, bagaimana kiai mesti memperlakukan sumbangan?

Kalau kasih bantuan dengan syarat harus memilih si pemberi, enggak boleh. Tapi kalau samar-samar, semua calon datang dan memberi bantuan tanpa bilang pilihlah saya, enggak apa-apa.

Hal itu terjadi pada pilkada Jakarta?

Jakarta beda. Dalam setiap demo, ada yang membayari. Saya tahu sendiri sewaktu Gus Dur jadi presiden. Setiap ada demo, kalau pro-Gus Dur dibayar 50 ribu, kalau kontra dibayar 35 ribu. Orangnya itu-itu saja dan ada yang mengkoordinasi. Saya yakin seyakin-yakinnya polisi tahu jaringan mereka. Tema demo berganti, tapi aktor dan sumber uangnya sama. Kalau polisi bilang enggak tahu, mereka bohong.

Selama ini NU dikenal pro-pluralisme sehingga kerap ditentang kelompok muslim garis keras....

Di tiap agama pasti ada kelompok garis kerasnya. Di Kristen ada, di Yahudi ada, begitu juga di Islam. Dan kelompok ini ada di sepanjang sejarah Islam. Bahkan Sayidina Ali, sahabat Nabi, yang berjasa menyebarkan Islam, dibunuh oleh orang Islam sendiri.

Pernahkah Anda diancam langsung karena sikap pro-pluralisme?

Itu sudah biasa, sejak saya menjadi Wakil Ketua Tim Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Saya dua kali mendapat faks tanpa nomor pengirim. Isi faks pertama: jangan mentang-mentang punya Banser. Saya tahu di mana istri Bapak, nanti saya perkosa. Faks kedua: tunggu harinya, putri Bapak akan saya berikan kepada binatang buas. Jadi, saya sudah biasa mendapat ancaman.

l l l

Mengapa Anda dan Nahdlatul Ulama menganggap penting membela kelompok minoritas?

Karena perintah Al-Quran, tak boleh ada kekerasan yang mengatasnamakan agama. Bahkan ada ayat yang lebih tegas lagi: seandainya Allah menghendaki, niscaya semua orang di muka bumi ini Islam. Nyatanya, apakah Nabi menggunakan kekerasan supaya orang menjadi Islam? Tidak. Di dunia tidak mungkin Islam semua, Katolik semua, satu suku semua, pasti berbeda-beda, karena Allah menghendaki begitu. Nabi Muhammad juga amat melindungi umat beragama lain. Ketika ada muslim yang membunuh orang Yahudi, Nabi Muhammad menyatakan: muslim yang membunuh Yahudi itu berhadapan dengan saya.

Bagaimana menerapkan semangat yang sama ke semua warga NU?

NU sejak awal didirikan KH Hasyim Asy'ari tujuannya menyatukan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah watoniyah atau ikatan persaudaraan yang berbasis budaya. Watoniyah saja tanpa Islam, sekuler. Islam saja tanpa watoniyah, ekstrem. Maka NU sejak awal ingin menyatukan semangat persaudaraan seiman dan sebudaya.

Apa kesulitan menyampaikan ide ini sampai ke tingkat umat—mengingat di Sampang saja bisa terjadi konflik yang melibatkan warga NU?

Di kalangan NU, dalam suasana ada terorisme atau tidak, ada bom atau tidak, para kiai tetap mengajarkan Islam yang amat santun. Dari 21 ribu pesantren dan 850 ribu masjid NU, tidak ada satu pun kiai yang khotbahnya ”keras”.

Ada kesan NU mudah bertoleransi dengan agama lain tapi justru sulit dengan sesama aliran Islam—contohnya Syiah atau Ahmadiyah. Benar demikian?

Jangan menyamakan Syiah dan Ahmadiyah. Kalau Syiah, rukun Islamnya sama, lima nabi, salat lima waktunya sama, hanya berbeda dalam masalah politik: Abu Bakar-Umar merebut hak Sayidina Ali. Itu saja. Kalau Ahmadiyah, akidah dan keyakinan mereka berbeda karena mengakui nabi setelah Muhammad SAW, bernama Ghulam Ahmad, dan ini ditentang umat Islam di seluruh dunia.

Mengapa hal ini tidak muncul di Cirebon?

Karena sudah dibahas sebelumnya oleh NU. Kami sepakat Ahmadiyah adalah aliran Islam yang ditolak oleh umat Islam sedunia, tapi mereka tidak boleh diperlakukan semena-mena, apalagi sampai dibunuh dan dibakar. Mereka harus tetap dilindungi.

Mengapa NU—seperti disampaikan Wakil Ketua PB NU As'ad Said Ali—menolak permintaan maaf pemerintah kepada korban tragedi 1965?

Suasana politik waktu itu jangan dilihat dalam situasi saat ini. Di negara mana pun, dalam suasana tertentu, ada keputusan politik tertentu. Dari segi kemanusiaan, kami amat menyesalkan adanya banyak korban. Namun nuansa waktu itu memang sedang panas antara Anshor dan PKI di Banyuwangi dan Kediri.

Bagaimana Anda menanggapi kehadiran bekas pejabat intelijen di jajaran pengurus NU?

Kalau yang menyangkut politik dan intelijen, silakan Pak As'ad yang menangani. Kalau soal agama, sosial, dan budaya, serahkan ke saya. Gampang, kan—dan beda pendapat tentu boleh-boleh saja.

Apa ini buntut persaingan Muktamar NU di Makassar di mana As'ad tidak mendukung Anda?

Enggak ada, enggak ada.

Lantas, kenapa Anda tak boleh berpidato di Kongres GP Ansor pada awal tahun ini?

Saya enggak tahu. Tiba-tiba saya enggak boleh naik. Padahal kan itu acara PB NU. Tapi, tidak apa-apa, saya masih dikasih membaca doa.

Kalau NU bisa mengeluarkan pernyataan soal PKI 1965, mengapa tidak menuntut yang lebih konkret: pembubaran organisasi preman berjubah yang mengatasnamakan Islam?

Membubarkan gampang, tapi besoknya mereka bisa muncul dengan nama lain. Yang harus dilarang bukan organisasinya, melainkan perilakunya. Kekerasan atas nama apa pun tidak bisa dibiarkan.

Di mana letak hulu persoalan kekerasan atas nama agama, menurut Anda?

Umat Islam di Indonesia masalahnya kompleks: ada pengangguran, kemiskinan, dan sebagainya. Jadi, kekerasan sebetulnya bukan betul-betul masalah agama. Kalau orang sudah punya rumah dua lantai, mobil Camry, kerjaan tetap, apa mereka mau disuruh berbuat kekerasan atas nama Islam? Seharusnya Departemen Agama bisa ikut mencegah kekerasan atas nama agama ini. Di NU, kami punya banyak orang yang amat memahami masalah Islam.

Maksud Anda, semestinya Menteri Agama itu dari NU, begitu?

Saya hanya bilang kalau di NU banyak orang memahami masalah Islam. Dalam musyawarah ulama di Cirebon kemarin, dalam semalam pembahasan kelar karena kiainya menguasai betul masalah dan paham banyak kitab. Kalau menteri agama bukan dari NU, ya, silakan saja. Tapi, kalau jajar dengan Menteri Agama Mesir, Suriah, atau negara mana pun, jangan plonga-plongo.

Bagaimana reaksi NU terhadap film Innocence of Muslims?

Kami kutuk tapi tidak dengan merusak, apalagi sampai mengebom Kedubes AS. Justru Nabi Muhammad malah mendoakan orang yang mencaci maki, melemparkan batu, dan mencoba membunuhnya. Nabi bilang, ya Allah, ampuni mereka karena mereka tidak tahu. Bagaimana kita mengklaim sebagai umatnya kalau tidak meneladankan beliau? l

SAID AQIL SIROJ
Tempat dan tanggal lahir: Cirebon, 3 Juli 1953 Pendidikan: S-1 Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi, Jurusan Ushuluddin dan Dakwah (1982)| S-2 Universitas Umm al-Qura, Arab Saudi, Jurusan Perbandingan Agama (1987)| S-3 Universitas Umm al-Qura, Arab Saudi , Jurusan Akidah/Filsafat Islam (1994) Karier dan Organisasi: Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (2010-sekarang)l Dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1995-sekarang) l Wakil Direktur Universitas Islam Malang (1997-1999) l Wakil Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (1998) l Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2004)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus