Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=#FF0000><B>LINDA SAPTADJI YAHYA</B></font><br /><font face=arial size=3><B>Pencitraan Sekolah Besar Efeknya</B></font>

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari yang kelam melanda dunia pendidikan nasional kita, Senin dua pekan lalu. Alawi Yusianto Putra, pelajar SMA 6, tewas akibat serbuan yang dilancarkan murid sekolah tetangga, SMA 70, di Jakarta Selatan. Masih di wilayah yang sama, hanya dua hari berselang, Deni Yanuar, siswa SMA Yayasan Karya 66, terbunuh akibat serangan kelompok pelajar lainnya ketika turun dari angkutan umum.

Bentrokan yang berakhir kematian seolah-olah hanya penambah statistik korban kekerasan pelajar Indonesia. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan, sepanjang 2012, di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, sebanyak 17 remaja pulang sekolah dalam kondisi tak bernyawa. Selepas musibah, biasanya polisi muncul di posko antitawuran, para pejabat mengeluarkan kutukan serta belasungkawa, dan spanduk menolak tawuran berbaris di pagar sekolah. Tapi tawuran jalan terus, seolah-olah sudah jadi rutinitas.

Dua sekolah, seperti SMA 70 dan SMA 6, terus berhantam dari tahun ke tahun. Tapi penyakit kronis itu bisa dihilangkan. Itu keyakinan Linda Saptadji Yahya, psikolog senior dengan pengalaman panjang. ”Dengan pelatihan, kita bisa mengubah perilaku mereka,” ujarnya kepada Tempo.

Linda banyak dikenal karena pelatihan pengenalan potensi diri yang membantu mengakhiri tradisi bentrokan antarkelompok mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Bagi Linda, para pelajar yang terlibat tawuran adalah anak-anak muda energetik yang belum tahu apa tujuan hidupnya. Hanya perlu sedikit kesabaran serta ketekunan orang tua dan guru untuk membantu para siswa menemukan apa yang mereka inginkan.

Kamis pagi pekan lalu, wartawan Tempo Adek Media Roza, Purwani Diyah Prabandari, dan juru foto Jacky Rahmansyah menemui Linda di rumahnya di Jatibening, Bekasi, untuk sebuah wawancara khusus.

Tawuran pelajar kini menjadi ”rutinitas”, bahkan membawa kematian. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Sebenarnya berantem itu wajar saja, karena para pelajar masih memiliki sudut pandang sempit terhadap satu masalah. Yang tidak wajar adalah keroyokan lalu melukai bahkan membunuh. Nah, sayangnya, tawuran atau kekerasan di kalangan pelajar, misalnya pada masa ospek, sudah dianggap budaya oleh sebagian guru dan orang tua. Banyak yang bahkan menoleransi hal tersebut.

Kenapa toleransi ini sampai muncul?

Ada saja guru yang segan menegur murid yang punya masalah emosional dan suka bertindak kasar karena mereka siswa berprestasi. Para pelajar kadang tak tahu bagaimana cara memperoleh pengakuan dari orang lain.

Padahal ada dorongan kuat untuk menunjukkan eksistensi, memperoleh pengakuan dari rekan-rekannya. Akhirnya mereka melakukan hal negatif, seperti bully­ing, untuk mendapatkan pengakuan dari adik kelas. Mereka menerjemahkan kekompakan dan solidaritas dengan cara-cara kekerasan.

Ilham kekerasan itu datang dari mana, terutama?

Bisa dari mana saja. Misalnya film yang mengedepankan kekerasan sebagai solusi. Bisa juga dari rumah. Misalnya ada orang tua yang memukuli anaknya dengan dalih sayang. Jadi, anak itu menangkap, ”Ooo, begitu cara mencintai.”

Penataan kota dianggap berperan menyuburkan tawuran, karena tak ada ruang bagi remaja untuk menyalurkan energi yang luar biasa itu.

Ya, sekarang anak-anak kalau mau bersenang-senang ke mana? Larinya ke mal atau nongkrong di jalan. Mau main sepak bola susah karena tak ada lahan. Maka perlu diajarkan cara menyalurkan energi kepada mereka. Berteriak, putar lagu keras-keras, misalnya, bisa jadi salah satu cara. Mereka perlu diajak melakukan hal yang bersifat sosial, diajak berkontribusi kepada masyarakat.

Sebagian anak meredam energi dan mencari ”kenyamanan” melalui narkoba.

Kadang anak-anak tidak tahu harus pergi ke mana bila ada masalah. Mereka menemukan kedamaian dengan obat-obat­an. ­Kita bisa membantu mereka menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri, yakni dengan mendorong mereka berpikir positif serta memiliki tujuan hidup dan target yang hendak mereka capai.

Bisa Anda jelaskan lebih detail?

Anak-anak harus kita bantu untuk mengetahui tujuan hidup mereka. Apa target 5 tahun, 20 tahun ke depan? Lalu minta mereka jabarkan apa yang harus dilakukan untuk meraih target tersebut. Bila mereka sudah terbiasa, itu akan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bila mereka menghadapi masalah, bisa saja mereka tersesat sesaat tapi secara otomatis akan kembali ke track. Visi dan misi itu harus menjadi grand design buat anak-anak.

Inikah isi pelatihan ”Know Yourself and Extend Your Potency” yang Anda berikan kepada siswa yang terlibat tawuran?

Ya. Untuk membantu mereka yang terlibat tawuran atau dianggap bermasalah adalah dengan mengubah cara pandang. Tiap orang punya cara pandang berbeda. Apa yang terjadi kalau beda cara pandang? Biasanya berkelahi. Kami ajarkan supaya mereka berpikiran positif terhadap apa yang berbeda dengan cara pandang mereka. Kami suruh mereka mengucapkan, ”Ow…, menarik juga ya!” Ya, pasti mereka tertawa saat pelatihan, tapi itu akan membekas dan memperluas cara pandang mereka sehingga tidak ada pergesekan.

Buktinya?

Saya pernah memberikan pelatihan kepada mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang terlibat tawuran. Mereka dari jurusan geodesi (mahasiswa geodesi kerap berkelahi dengan mahasiswa geologi). Saya pertemukan gembong-gembongnya sehingga mereka jadi akrab dan akur. Kok, bisa? Karena yang pertama saya lakukan adalah mengubah paradigma mereka.

Biasanya mereka yang terlibat tawuran susah disadarkan, apalagi gembongnya.

Betul, mereka dikritik saja sudah defensif. Apa pun yang kita sampaikan, mereka anggap sebagai ancaman. Mereka harus diberi satu perangkat untuk menanggapi berbagai masalah dalam hidup, termasuk bagaimana mengelola emosinya. Ini penting banget dan menjadi dasar pelatihan. Jadi, bagaimana membuat orang bisa mengelola emosinya

Setujukah Anda bahwa orang Indonesia cenderung reaktif menanggapi masalah?

Orang yang reaktif itu asal bertindak tanpa mempertimbangkan dampaknya. Jadi, mengajarkan sikap responsif adalah membuat anak-anak berpikir apa dampak tindakan yang mereka lakukan bagi dirinya sendiri. Anak-anak itu sehabis pelatihan masih tetap bisa marah kok, tetap bisa kecewa. Tapi yang berbeda adalah cara mereka menanggapinya. Nah, saya percaya banyak orang Indonesia butuh pelatihan seperti ini, dan bukan hanya murid.

Seberapa besar perubahan setelah mereka melakukan latihan?

Meski sudah ikut pelatihan, enggak gampang buat anak-anak untuk berubah, karena cobaannya besar sekali. Misalnya, keluar dari kelas saja mereka sudah digoda kawannya: ”Nih, ada barang baru, ngapain brenti, Mick Jagger aja masih pake.” Padahal mereka baru saja insaf.

Di mana Anda meletakkan peran guru?

Guru harus memiliki sifat kepemimpinan yang kuat. Guru bukanlah teman, ia harus berwibawa, tegas, dan menunjukkan wewenangnya, tapi tetap bisa hangat kepada siswa. Untuk mencegah tawuran, guru harus rajin menggelar razia senjata tajam di kelas. Tapi kasihan juga guru-guru kita, tuntutannya besar tapi secara ekonomi mereka masih susah.

Untuk mendukung pelatihan di atas, kontribusi apa yang Anda harapkan dari orang tua?

Banyak berkomunikasi dengan anak dan berperan sebagai orang tua, bukan teman. Mereka harus buat aturan main jelas yang ditegakkan di rumah atau di mana pun. Kadang orang tua itu ke guru seperti lepas tangan, merasa semua masalah anaknya adalah urusan guru. Banyak anak menyalahkan orang tua kalau sedang ada masalah. Saya hanya ingin menumbuhkan kesadaran kepada mereka bahwa apa pun yang dilakukan orang tua, itulah cara terbaik yang mereka ketahui untuk mencintai anaknya.

Anak perlu inspirasi, tak hanya dari orang tua dan guru, tapi juga dari para pemimpin. Apakah masih ada pemimpin kita yang layak menjadi panutan dan memberi inspirasi?

Kita kehilangan tokoh yang punya wibawa, para pemimpin sejati, yang punya komitmen, jujur, berani, berkontribusi nyata dalam hidup. Walaupun remaja, anak sekolah mengerti di negara ini korupsi ada di mana-mana, banyak pejabat yang tak punya komitmen. Ya, mereka mencontoh hal itu. Tidak ada yang berwibawa di mata mereka. Bahkan masyarakat dijangkiti krisis kepercayaan. Dulu ada tokoh seperti Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan Hatta. Sekarang bukannya tidak ada, tapi mungkin harus kita cari. Dalam situasi ini, acara televisi atau pemberitaan yang memuat sosok-sosok inspiratif amat baik untuk anak-anak.

Khusus mengatasi tawuran antara SMA 70 dan SMA 6, sempat ada wacana penggabungan sekolah. Bagaimana sebaiknya menurut Anda?

Menurut saya, mungkin perlu pencitraan. Efeknya akan besar. Sama kayak kalau kita datang ke ITB, ada tulisan ”Selamat datang putra-putri harapan bangsa”. Wah, betapa bangganya para mahasiswa baru disebut harapan bangsa. Itu kan pencitraan, walaupun kita lantas ketawa dan bilang ”wooo lebay!” Tapi itu memberi efek psikologis. Itu reframing. Sekarang anak SMK jarang tawuran dibanding pendahulunya ketika masih bernama STM. Mungkin SMA 70 dan 6 bisa ganti brand, misalnya jadi SMA Cinta Damai.

LINDA SAPTADJI YAHYA
Tempat dan tanggal lahir: l Cirebon, 7 September 1961 Pendidikan: S-1 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1980) Pekerjaan: Tribina Associate Psikolog & Trainer, Psiko Utama Associate Psikolog untuk seleksi recruitment & training manager Pengalaman Sebagai Konsultan: Trainer untuk konsultan pada 25 perusahaan (sejak 2000), Trainer pada 15 departemen dan lembaga pemerintah, pemda, DPR, DPRD, Badan Intelijen Negara, lembaga pemasyarakatan, LSM, BUMN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus