Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

<font face=arial size=2><B>HAKIM AGUNG ARTIDJO ALKOSTAR :</B></font><br /> Bila Berkasnya di Meja Saya, Koruptor Tak Akan Lolos

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga pekan lalu, Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali (PK) kasus dugaan pemalsuan letter of credit Bank Century yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera, Mukhamad Misbakhun. Putusan ini berlawanan dengan vonis bersalah yang telah ditetapkan Pengadilan Negeri Jakarta, hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Misbakhun, yang kini bebas, tentu saja senang. Apalagi satu dari tiga anggota majelis hakim Mahkamah Agung itu adalah Artidjo Alkostar, yang dikenal idealis. “Siapa yang ragu dengan Artidjo? Siapa yang bisa mempengaruhi Artidjo?" katanya.

Meski menjadi anggota majelis hakim kasus PK tersebut, Artidjo sebenarnya tidak menyetujui pengabulan PK Misbakhun. Artidjo mengungkapkan bahwa terjadi perbedaan pendapat dalam pengambilan putusan. Dua koleganya, Zaharudin Utama dan Mansyur Kertayasa, menerima PK, sedangkan Artidjo sendirian menolak. “Tidak ada bukti baru dalam perkara ini," ujar bekas pengacara Lembaga Bantuan Hukum ini. Karena itu, ia menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion.

Sikap Artidjo dalam kasus Misbakhun menambah koleksi dissenting opinion-nya selama 12 tahun menjadi hakim agung. Ia antara lain berbeda pendapat ketika hakim sidang kasasi membebaskan Pollycarpus Budihari Priyanto dari tuduhan membunuh aktivis Munir. Sebelumnya, pada 2001, ia bertentangan dengan para koleganya di sidang PK yang memutus bebas Joko S. Tjandra dalam kasus pembelian cessie Bank Bali.

Bagi Artidjo, menyatakan perbedaan pendapat merupakan bentuk pertanggungjawabannya kepada publik, apalagi dalam kasus korupsi, yang korbannya adalah masyarakat.

Kamis siang pekan lalu, di sela kesibukan membaca berkas perkara, Artidjo menerima Adek Media Roza dan juru foto Jacky Rachmansyah dari Tempo di kantornya, lantai dua gedung Mahkamah Agung. Meja kerjanya tak muat menampung berkas. Sebagian besar ia jajarkan di lantai hingga setinggi meja kerjanya.

Diselingi batuk berulang kali, pria kurus yang mengenakan setelan jas ini menjawab lancar pertanyaan kami. Tak hanya berbicara soal dissenting opinion, Artidjo membahas problematika hukum Tanah Air seraya mengajak publik menjaga optimisme terhadap hukum dan peradilan di negeri ini. Anda berbeda pendapat dengan hakim lain pada putusan peninjauan kembali Misbakhun. Selain alasan bahwa tak ada bukti baru yang diajukan, apa pertimbangannya?

Begini, pintu masuk peninjauan kembali itu sangat terbatas, karena PK adalah upaya hukum luar biasa. Ibarat jendela, ia adalah jendela darurat. Jadi tidak sembarangan. Peninjauan bukanlah pengadilan tingkat keempat. Selain ada novum atau bukti baru, PK bisa diajukan bila ada kekhilafan putusan hakim sebelumnya. Dalam perkara Misbakhun ini, tidak ada bukti baru yang dapat menganulir putus­an kasasi, juga tidak ada kekeliruan atau kekhilafan hakim, sehingga saya berpendapat tidak ada alasan untuk dikabulkan.
Anda beberapa kali menyatakan perbedaan pendapat. Selain kasus Misbakhun, ada kasus Pollycarpus dan Joko Tjandra. Ada alasan khusus?
Tentu masing-masing ada alasannya. Ketika sidang kasasi Joko Tjandra, belum ada aturan tentang dissenting opinion di Mahkamah Agung. Ketika itu, agak ribut, orang bertanya-tanya: apa itu dissenting opinion? Apa dasarnya? Bagi saya, ini merupakan bentuk pertanggungjawaban hakim. Menurut saya, hakim tak hanya bertanggung jawab terhadap kebenaran ilmiah undang-undang, tapi juga kepada publik, lembaga hukum, dan Yang Mahakuasa. Apa yang saya putuskan menyangkut nasib orang, jadi saya tak bisa main-main.
Apakah juga karena kasus yang Anda tangani adalah kasus korupsi atau hak asasi manusia?
Ya, dalam perkara korupsi, hak asasi manusia, dan yang menyangkut masyarakat, cara pandang hakim harus mengacu pada sukma hukum, yaitu keadilan dan martabat kemanusiaan orang banyak. Korban korupsi adalah publik, maka korupsi dianggap kejahatan luar biasa. Dengan demikian, perhatian hakim bukan hanya kepada terdakwa, tapi juga kepada korban, yaitu masyarakat. Saat ini sebagian besar masyarakat kita hidup dalam kemiskinan. Di sisi lain, triliunan rupiah uang negara dikorupsi. Korupsi dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai posisi politik.
Dan orang-orang itu sulit tersentuh hukum….
Betul. Karena itu, ideologi hukum saya memandang bahwa penegakan hukum itu bertujuan menegakkan martabat manusia, baik pelaku maupun korbannya, dan para pemangku kepentingan. Jadi, putusan hakim harus bernalar. Kalau tidak, publik akan bertanya-tanya, kok, koruptor bebas. Kalau putusan pengadilan tidak bernalar, itu akan menyebabkan matinya akal sehat di republik ini. Lebih parah lagi kalau menimbulkan matinya keadilan dan pupusnya harapan masyarakat akan keadilan.
Harapan keadilan itu sepertinya sudah pupus, apalagi bagi orang yang lemah. Mereka dengan mudahnya masuk penjara karena, misalnya, mencuri sepasang sandal atau sebutir kakao.
Hukum itu mengandung nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan keseimbangan masyarakat. Jadi, hukum itu kalau dibuat secara formal hanya akan menjadi peti kemas kosong. Padahal hukum itu ada misinya. Misalnya pemberlakuan undang-undang antikorupsi, yang misinya agar Indonesia terbebas dari korupsi. Kalau hukum tidak mengacu pada nilai-nilai itu, para penegak hukum hanya mengangkat peti kemas yang kosong. Jadi, hukum tidak ada manfaatnya.
Lalu bagaimana hakim harus bersikap?
Para hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kalau suatu hal tidak diatur dalam undang-undang, hakim harus menciptakan yang sesuai dengan tujuan hukum, yaitu menegakkan martabat orang banyak dan negara. Hukum pidana adalah cermin kewibawaan negara. Tuntutan untuk menggali nilai itu adalah menciptakan hukum yang melindungi seluruh masyarakat. Karena itu, hakim harus cerdas.
Apakah pandangan tersebut dipengaruhi oleh latar belakang Anda sebagai pengacara jalanan, yang membela orang lemah?
Betul, saya dulu pengacara jalanan. Habitat saya memang di situ. Menurut saya, visi seorang hakim dan pengacara adalah memberikan pencerahan dan inspirasi kepada publik, meskipun mungkin sebagian orang tidak setuju. Tapi itulah tugas penegakan hukum, memberikan lentera kepada publik untuk membangun optimisme.
Banyak skandal yang melibatkan penegak hukum, termasuk hakim. Anda masih punya optimisme bahwa hukum dan peradilan di negeri ini akan menegakkan martabat rakyatnya?
Kita harus tetap optimistis karena dasarnya kuat. Sewaktu saya menjadi pengacara Lembaga Bantuan Hukum, bicara hak asasi manusia dan demokrasi saja tabu, tapi sekarang sudah menjadi hal biasa dan dilindungi undang-undang. Jadi, perubahan ke arah yang lebih baik sudah ada. Tugas kita mengelola perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Dengan demikian, tak ada alasan bagi masyarakat untuk pesimistis.
Tapi perubahan itu masih terbatas.
Memang, dalam hal tertentu, perubahan yang ada dalam konstitusi belum menetes ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). KUHP kita kan masih warisan Belanda. Sebagai contoh, pencuri kakao dan sandal tadi tidak memperoleh akses keadilan. Mereka dianggap melakukan tindak pidana. Setiap tindakan pidana harus diproses oleh penyidik dan diserahkan ke pengadilan. Di pengadilan, hakim tak boleh menolak perkara. Karena itu, Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan tentang tindakan pidana ringan yang menetapkan bahwa pelaku tindak pidana dengan nominal di bawah Rp 2,5 juta tidak perlu ditahan dan hukumannya ringan.
Bukankah tugas Dewan Perwakilan Rakyat memperbaiki KUHP itu?
Seharusnya memang tugas DPR, tapi kalau Mahkamah Agung hanya menunggu perubahan, hakim dan pengadilan akan terus dihujat masyarakat. Ada keterlambatan dari pembentuk undang-undang, sementara hakim dituntut memutus perkara dengan seadil-adilnya.
Dengan kondisi tersebut, tentu hakim dituntut untuk kreatif. Ini pula yang menjadi latar belakang perekrutan hakim agung dari jalur nonkarier, termasuk Anda.
Ya, kehadiran hakim nonkarier itu diharapkan membawa inovasi, perubahan berpikir, dalam tingkah laku hukum dan sosial.
Tapi tiap perubahan tentu akan menghadapi penentangan. Bagaimana pengalaman Anda?
Resistensi itu pasti ada dan harus dikelola dengan bijak. Jadi, meskipun dikritik, saya tertawa saja, tak jadi masalah. Perubahan itu perlu waktu. Dulu, ketika pertama kali menyatakan dissenting opinion, saya dimintai alasan oleh pemimpin dan hakim lain, tapi sekarang toh menjadi kebutuhan. Begitu pula, ketika baru masuk Mahkamah Agung, saya menempelkan stiker di pintu ruangan yang bertulisan "Tidak menerima tamu yang berhubungan dengan perkara". Ketika itu, banyak yang gusar. Tapi itu sekarang sudah menjadi peraturan di Mahkamah Agung.
Anda pernah menerima ancaman karena sikap itu?
Orang yang tidak senang pasti ada, tapi ancaman tidak ada. Yang ada adalah upaya suap. Pernah ada yang berusaha mengirimkan cek bernilai ratusan juta rupiah, tapi saya marahi karena justru itu penghinaan. Saya tegaskan juga ke bawahan saya, jangan berbuat macam-macam.
Anda tidak khawatir kehilangan kawan?
Ketika menjadi pengacara atau advokat, tentu saya ingin memiliki banyak kawan dan relasi. Sekarang, saya siap untuk tidak berkawan. Saya agak menghindar untuk berhubungan dengan banyak orang, karena saya khawatir berutang budi. Saya ingin menjaga independensi.
Independensi dan integritas hakim atau penegak hukum lain memang menjadi sorotan. Mereka adalah produk sekolah hukum yang jumlahnya ratusan di negeri ini. Adakah yang salah dari pendidikan hukum kita?
Betul. Negara ini belum pernah membenahi pendidikan hukum sejak zaman Belanda. Mahasiswa sebaiknya tak hanya diajari soal hukum, tapi juga pengetahuan budaya dan masyarakat. Dengan demikian, mereka mengetahui masalah-masalah di masyarakat. Juga perlu belajar filsafat untuk menggali nilai-nilai hukum, dan belajar sastra karena hakim, misalnya, menggunakan bahasa atau berbicara, sehingga kalimat yang keluar itu santun dan jelas. Yang tak kalah penting adalah etika profesi karena menyangkut integritas. Jadi, ada tiga hal yang harus dimiliki: pengetahuan hukum, kemampuan menerapkan hukum, dan integritas moral.
Berarti kita memiliki banyak lulusan hukum tapi kualitasnya rendah, terutama hakim?
Ini saya rasakan ketika merekrut hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi. Banyak sekali yang tidak memenuhi syarat. Bagaimana mereka bisa menangani perkara korupsi kalau tidak memiliki kompetensi? Padahal koruptor itu canggih-canggih caranya.
Anda mengikuti perkembangan penanganan kasus simulator kemudi untuk pembuatan surat izin mengemudi yang membuat Komisi Pemberantasan Korupsi dan polisi bersitegang?
Buat saya, itu tidak penting. Yang penting, saya tunggu berkasnya. Kalau berkas koruptor sampai ke meja saya, pasti tak akan lolos!

ARTIDJO ALKOSTAR
Tempat dan tanggal lahir: Situbondo, 22 Mei 1948Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1976, S-2 Northwestern University, Chicago, 2001, S-3 Universitas Diponegoro, Semarang, 2007.Pekerjaan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, 1981-1989, Staf Human Rights Watch, New York, Amerika Serikat, 1989-1991, Artidjo Alkostar and Associates, 1991-2000 (ditutup setelah ia menjadi hakim agung), Hakim Agung Mahkamah Agung, 2000-sekarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus