Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Setelah ormas keagamaan, pemerintah berencana memberikan konsesi tambang kepada perguruan tinggi.
Rektor UII Fathul Wahid secara tegas menolak keinginan pemerintah itu karena bisa melumpuhkan independensi kampus.
Kampus tak punya pengalaman dan kompetensi bisnis mengelola izin tambang yang kompleks.
SUDAH sepekan lebih unggahan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid bercokol di Instagram, media sosial, dengan jumlah yang menyukainya mencapai hampir 5.000 akun. Unggahan itu adalah gabungan dua tangkapan layar berita tentang rencana pemberian wilayah izin usaha pertambangan atau konsesi tambang untuk kampus.
Berita pertama perihal penolakannya terhadap rencana itu dan berita kedua tentang Forum Rektor Indonesia yang mendukung. Beragam komentar bermunculan di unggahan itu. "Kalau saya baca komentarnya, sebagian besar mendukung saya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fathul adalah akademikus yang menolak usulan kampus bisa mengelola tambang. Menurut dia, jika kampus terlibat dalam sektor ini, integritas akademiknya akan menjadi taruhan. Sebab, sektor ini merupakan industri ekstraktif yang terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana kebijakan ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara atau RUU Minerba yang disepakati Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat sebagai usulan inisiatif. Belakangan usulan ini menuai polemik lantaran sejumlah pihak menilai kebijakan tersebut lebih banyak mudarat ketimbang dampak positifnya.
Namun, ada juga yang menyambut baik tambang untuk perguruan tinggi ini. Alasannya beragam: sebagai solusi untuk pembiayaan kampus, dari operasional, gaji dosen, hingga uang kuliah mahasiswa. Fathul menyebutkan kampus bisa terlena dari misi utamanya sebagai lembaga pendidikan apabila mengambil jatah izin tambang.
Tak menutup kemungkinan, pemberian izin usaha tambang ini merupakan cara untuk membungkam suara kritis perguruan tinggi. "Kampus nanti mirip dengan katak, direbus pelan-pelan. Lama-lama, bisa kita bayangkan ujungnya," ucapnya.
Fathul pernah menyedot perhatian masyarakat karena meminta gelarnya tidak ditulis lengkap, kecuali dalam dokumen penting kampus, seperti ijazah dan transkrip nilai. Bahkan ia mengeluarkan surat edaran kepada pejabat struktural di lingkungan kampus UII pada Kamis, 18 Juli 2024, berkaitan dengan penulisan nama gelar akademiknya.
Dalam surat itu, Fathul meminta namanya tak lagi diberi embel-embel profesor di bagian depan dan gelar akademik di bagian belakang, yakni ST, MSc, serta PhD, dalam semua penulisan dokumen dan korespondensi. Waktu itu marak berita tentang skandal guru besar dan gelar doktor abal-abal yang diperoleh dengan menulis artikel di jurnal predator.
Fathul adalah lulusan program doktor University of Agder, Norwegia, serta dikenal sebagai akademikus sekaligus pakar di bidang sistem dan teknologi informasi. Sebelum menjadi rektor, ia menjabat Dekan Fakultas Teknologi Industri periode 2006-2010 dan tercatat sebagai dekan termuda di UII.
Selama satu jam, Fathul meladeni wawancara Sunudyantoro dan Yosea Arga Pramudita dari Tempo, Kamis, 30 Januari 2025. Dari Yogyakarta, dalam sambungan telekonferensi, ia berbicara pelbagai alasan mengapa perguruan tinggi harus menolak pemberian izin tambang.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid seusai memberi pernyataan "Indonesia Darurat Kenegarawanan" di depan kampus UII, Yogyakarta, 1 Februari 2024. Dokumentasi Pribadi
Apa yang sebenarnya terjadi di balik rencana pemberian konsesi tambang untuk kampus?
Secara personal, sampai hari ini, saya belum percaya dengan argumen meringankan uang kuliah mahasiswa itu. Apa betul. Argumen ini banyak muncul di media ketimbang dari beberapa kawan yang tidak sepakat. Rencana ini berisiko besar, modal yang jumbo, kapabilitas kampus yang belum berpengalaman, dan lain-lain. Jadi artinya agak sulit menerima argumentasi tersebut sehingga perlu diperjelas sebetulnya argumentasi yang masuk akal itu apa.
Publik mengaitkan rencana ini sebagai upaya mengendalikan kampus agar tidak kritis. Anda setuju?
Justru itu, dugaan tersebut sangat beralasan meskipun susah untuk dibuktikan sekarang. Tapi paling tidak, kita tahu bahwa izin tambang yang diberikan sebelumnya ternyata memang membungkam. Suaranya makin parau. Padahal dengan organisasi yang sebesar itu, apalagi kampus, ada kemungkinan terkooptasi atau disetir. Akhirnya menjadi sakit gigi. Kalau sudah sakit gigi, ya, sulit berbicara.
Sebagai rektor Anda tidak ingin sakit gigi?
Betul, ha-ha-ha. Sebab, relasi kampus dan negara harus dibuat lebih sehat. Jadi, kalau kampus berbicara, sebetulnya harus disyukuri karena itu wujud cinta dan rindu untuk negara Indonesia yang lebih baik ke depan. Jangan dibingkai sebaliknya, tidak mendukung dan lain-lain. Sebab, kampus tidak punya kepentingan apa-apa selain bangsa dan negara ini ke depan.
Apa konsekuensinya jika perguruan tinggi mendapat konsesi tambang, padahal bisnis utama kampus adalah di bidang akademik?
Kalau kita pakai logika sederhana, saat ini masalah yang dihadapi kampus masih luar biasa banyak. Dari daya saing hingga penyiapan lulusan yang makin berkualitas dan makin relevan dengan kebutuhan masyarakat. Belum lagi kalau kita mengaitkan atau membandingkan dengan perguruan tinggi di banyak negara. Artinya, pekerjaan rumahnya masih banyak. Di tengah pekerjaan rumah yang masih banyak ini, tiba-tiba dialihkan perhatiannya, kan patut dikhawatirkan.
Kampus akan terlena dan lupa misi utamanya?
Kalau hal ini terjadi, alih-alih kampus mempunyai energi yang lebih baik untuk meningkatkan kualitasnya, justru energi baiknya tersedot untuk menjalankan aktivitas yang sebetulnya bukan wilayahnya.
Salah satu yang menyambut usulan ini adalah Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia.
Iya, itu menyedihkan. Saya melihat logikanya cacat. Paling tidak, saya yang belum lama mengelola perguruan tinggi, di kampus kira-kira baru 25 tahun lebih, bisa membayangkan ide itu. Tentu tidak boleh suuzon, mungkin ada udang di balik rempeyek, ha-ha-ha. Ya, boleh dibilang ada yang tidak tersampaikan secara luas ke publik.
Bukankah mengelola tambang itu tugas negara?
Kalau dikelola negara, katakanlah dengan pola seperti sekarang, tapi diperbaiki kontrol, rehabilitasi, dan lain-lain, termasuk perhatian lebih terhadap warga yang terkena dampak misalnya, serta sebagian yang didapatkan negara melalui pajak, misalnya, dialihkan ke perguruan tinggi, ya, akan lebih baik. Itu jika memang niat negara membantu perguruan tinggi.
Anda menilai pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi sebagai bentuk apa?
Kalau ini ada kesan bahwa negara lepas tangan, kemudian menyerahkan kepada kampus, bisa jadi akan banyak masalah yang ikut. Hari ini kita bisa membayangkan betapa banyak masalah turunan yang akan muncul.
Misalnya?
Dari kapasitas perguruan tinggi, pendanaan, hingga dampak lingkungan karena pertambangan yang bisa jadi memerlukan biaya besar. Ini kan banyak sekali yang perlu dimitigasi.
Adakah contoh kampus di negara lain yang bisa mengelola tambang dengan baik?
Saya cari-cari kok belum ketemu, ya.
Di mana batas antara ilmu pengetahuan, misalnya, kampus yang mempunyai program studi atau jurusan pertambangan, dan pengelolaan tambang bertemu?
Saya punya rumus sederhana. Pertama, pendidikan itu berbasis nilai, juga kompetensi. Dengan demikian, para ahli tambang yang dihasilkan kampus diharapkan akan berkontribusi untuk industri pertambangan, tapi berbasis nilai. Sekarang pertanyaannya, apakah dua hal itu dipraktikkan di lapangan. Apakah nilai itu masih menjadi pagar?
Bagaimana jika nilai itu tidak dijalankan?
Ketika tidak, di sini ada tanda tanya besar yang itu perlu didiskusikan. Tapi ketika nilai itu menjadi pagar, kemudian pertambangan dilakukan dengan baik, tidak eksploitatif dan tak melebihi daya dukungnya, tampaknya masih bisa diterima. Meski, itu menjadi pilihan nomor ke sekian. Bukan pilihan pertama.
Apalagi jika ke depan pengelolaan tambang masih menimbulkan dampak ekstraktif.
Ketika dieksploitasi dengan luar biasa sampai melampaui daya dukungnya, berdampak tidak baik terhadap lingkungan, ini perlu dipertanyakan. Artinya, ada garis etika yang kemungkinan besar dilanggar. Sebab, di kampus tidak hanya transfer pengetahuan. Tentu ada juga transfer nilai dan itu tantangan untuk saat ini.
Fathul WahidTempat dan tanggal lahir:
Pendidikan:
Karier:
|
Jika alasan pemberian izin tambang adalah membantu mahasiswa, meringankan uang kuliah tunggal, seberat itukah mengelola kampus?
Saya jadi rektor sudah enam tahun, jadi ada pengalaman sedikit perihal memastikan bahwa roda organisasi berjalan baik, para warganya juga cukup sejahtera, layanan kepada mahasiswa berkualitas. Ternyata tanpa masuk ke bisnis yang kontroversial, itu masih bisa.
Kalau konsesi tambang menguntungkan mahasiswa, bukankah mahasiswa nanti malah jadi sapi perah untuk mengurus tambang?
Beragam skenario bisa terjadi, ha-ha-ha.
Apakah ada upaya agar narasi penolakan pemberian izin tambang ini menguat?
Secara personal, saya punya kewajiban moral menyuarakan hal yang saya yakini benar. Di belakang layar, saya berkomunikasi dengan kawan-kawan yang sependapat untuk terus melantangkan itu. Saya pantau di media massa juga tampaknya sedikit sekali pimpinan kampus yang ikut bersuara.
UII sudah menolak. Bagaimana dinamika di dalam?
Sebagian besar satu kata dengan saya, meski bisa saja ada satu-dua yang punya pendapat lain. Tapi ada yang melihatnya cenderung naif, ini soal kapasitas dan uang. Tidak melihat kemungkinan udang di balik rempeyek tadi. Ha-ha-ha. Pembungkaman, kooptasi, menggerogoti pelan-pelan otonomi atau kemerdekaan berpendapat. Kampus nanti mirip dengan katak direbus pelan-pelan. Lama-lama bisa kita bayangkan ujungnya.
Apakah pernah mendapat panggilan telepon atas suara kritis yang Anda sampaikan?
Selama ini saya baik-baik saja. Mungkin karena konsesi tambang untuk perguruan tinggi negeri. Kami kan swasta, jadi sampai level tertentu kami merdeka. Yang perlu dicatat, kami enggak punya kepentingan apa-apa, hanya mencoba mendudukkan pada porsinya. Memberikan pandangan kemungkinan-kemungkinan dampaknya. Jadi sama sekali tidak ada kepentingan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo