Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=#FF0000>Kepala BKPM Chatib Basri: </font><br /> Investor Tidak Bisa Dibohongi

2 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUHAMMAD Chatib Basri, 47 tahun, sejatinya punya kehidupan "nyaman" sebagai komisaris berbagai perusahaan publik. Dia ikut menentukan keputusan penting perusahaan, termasuk soal investasi. Dia juga nyaman mengajar di Universitas Indonesia serta menjalankan beberapa penugasan ekstra di berbagai lembaga negara. Toh, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggilnya—dari Universitas Harvard, Amerika Serikat—dua pekan lalu, untuk memimpin Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), ia bersedia menerima kerja baru tersebut. Sebelumnya, posisi ini dirangkap oleh Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.

Ini bukan pertama kalinya dia terlibat dalam tugas pemerintahan. Dede—sebutan akrabnya—pernah menjadi staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dia mendampingi Chairul Tanjung sebagai Wakil Ketua Umum Komite Ekonomi Nasional. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menunjuk dia sebagai anggota panitia seleksi pemilihan calon Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tapi baru kali ini dia mendapat tugas setara dengan menteri. "Selama ini saya menjadi pengamat. Sekarang saya punya kesempatan terlibat, tidak fair kalau saya menolak," katanya.

Bertugas mendatangkan investor ke Tanah Air, sekaligus menjaga gawang investasi dan penanaman modal Dede akan langsung berhadapan dengan tiga isu klise yang kerap membikin jeri pemodal asing: problem penegakan hukum, ruwetnya birokrasi, dan lemahnya infrastruktur. "Indonesia memang bukan surga investasi. Kalau di surga, tak ada orang mengeluh," katanya. Toh, dia tetap optimistis. Dede berulang kali mengutip ujaran Nouriel Roubini, ekonom Universitas New York, Amerika Serikat, di forum-forum internasional: "Good bye China, Hello Indonesia."

Wartawan Tempo Andari Karina Anom, Gustida Budhiartie, dan fotografer Aditya Noviansyah menemui dia dua pekan lalu untuk wawancara ini. Perbincangan berlangsung hangat dan serius di kantor barunya, Gedung BKPM, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Ruangan itu diisi sofa kulit berwarna marun, disembur AC yang membikin tubuh menggigil. "Ini peninggalan Pak Gita, saya bahkan belum bisa mematikan AC-nya," katanya sembari terbahak.

Apakah Anda merencanakan kebijakan-kebijakan baru atau akan meneruskan yang sudah ada saja?

Daripada menggebrak-gebrak dengan yang baru, lebih baik yang lama diperbaiki.­ Prospek kita bagus, kok.

Tapi waktu Anda di BKPM singkat sekali, hanya dua tahun.

Saya realistis, waktunya tidak lama, efektifnya malah kurang dari itu. Saya tidak mau muluk-muluk. Untuk (menarik) investasi, kita butuh kisah sukses yang mengubah persepsi dan gambaran orang di Indonesia. Persoalan menarik investor tak cukup hanya dengan promosi. Banyak yang harus disiapkan. Jangan sampai mereka datang dan tidak tahu harus pergi ke mana. Ini sama saja mengundang orang terus ditelantarkan di bandara.

Jadi, apa yang perlu dilakukan?

Kami berfungsi sebagai clearing house (of information). Kalau mereka mau bertanya, mengeluh, atau apa pun, mereka tahu harus pergi ke mana. Dulu orang mau berinvestasi, lalu ditolak, mereka tidak tahu alasannya. Ini tidak boleh terjadi lagi. Dalam pelayanan, harus jelas dokumen (yang dibutuhkan) apa, periode waktu berapa lama, izin keluar berapa hari, dan seterusnya. Ini sinyal kepada calon investor bahwa mereka bisa berinvestasi di Indonesia.

Anda sudah bicara dengan para calon investor?

Saya baru beberapa hari di sini saja sudah banyak sekali yang datang dan bilang mau berinvestasi. Kalau bicara tentang populasi, kita masih lebih banyak dibanding Malaysia digabung Australia. Toyota dan beberapa perusahaan elektronik mau menjadikan kita sebagai basis produksi. Mereka tidak bisa meng-ignore pasar segede ini. Lihat Astra dan Unilever yang amat baik. Banyak faktor lain yang membuat saya tidak khawatir.

Faktor apa saja, misalnya?

Investor yang punya uang tapi tak bisa berinvestasi di Eropa atau Amerika, yang ekonominya sedang bermasalah, akan mencari emerging market: Asia dan Amerika Latin. Di Asia yang cukup kuat adalah Cina, India, dan Indonesia. Dari segi potensi, kita amat besar.

Ya, tapi kita kan tak cuma bicara potensi.

(Maka) dalam jangka panjang harus ada perubahan institusional, termasuk soal kepastian hukum. Juga bagaimana memfasilitasi dan melakukan pendekatan kepada para calon investor.

Investasi apa yang akan Anda prioritaskan?

Low hanging fruits atau yang buahnya tinggal dipetik. Karena sumber daya terbatas, kita selektif pada (investasi) yang besar, baik nilai maupun dampaknya. Tapi yang kecil-kecil, seperti usaha kecil menengah (UKM), juga tetap diperhatikan, karena itu bisa menggerakkan perekonomian.

Bisa dicontohkan investasi yang "buahnya siap dipetik"?

Kebanyakan berhubungan dengan sumber daya alam dan produk konsumsi, sektor yang amat berpotensi. Dalam jangka pendek, investor akan lari ke arah sana.

Problem di bidang itu masih cukup banyak, seperti isu lingkungan. Bagaimana Anda mengantisipasinya?

Indonesia tak bisa bertahan hanya pada sumber daya alam. Sumber daya alam tak bisa terus-menerus dikeruk, karena akan merusak lingkungan. Kita mesti pindah ke productivity driven, contohnya batik. Ada kain-kain batik yang dijual sangat mahal, nyatanya orang mau beli bila kualitasnya bagus.

Investasi sering memunculkan masalah pembagian keuntungan pusat dan daerah. Solusinya?

Nah, ini mesti pelan-pelan. Kita harus memberi tahu dampak dan keuntungan investasi kepada mereka. Investasi yang baik adalah jika pemerintah lokal paling banyak mendapat manfaat. Kalau profit perusahaan baik, mereka bayar pajak, pekerjaan tersedia, dan bisa membangun jalan dan fasilitas di daerah. Ini menguntungkan untuk kemakmuran rakyat, khususnya di daerah itu.

Prakteknya tak segampang itu. Investasi PT Newmont Nusa Tenggara, misalnya, memunculkan konflik serius antara pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat dan pemerintah pusat.

Mereka harus dikasih lihat contohnya. Sekarang seolah-olah yang untung hanya investornya. Kita mesti sabar mengajak mereka bicara: daerah dapat apa? Terasa atau tidak dampaknya? Misalnya, ada investor yang bikin klub bola, ini kan manfaat yang terasa langsung bagi warga setempat. Yang paling penting adalah interaksi.

Salah satu yang dipermasalahkan adalah industri itu tidak menyerap tenaga kerja dan keuntungannya tidak terasa di daerah. Komentar Anda?

Ini sebetulnya bisa dibicarakan dengan investor. Misalnya, kalau ada yang berinvestasi di sini, tolong bikin teknologi spill over, lakukan perbaikan kualitas manajemen dan training supaya orang tidak hanya bekerja kasar, tapi bisa naik. Pertanyaannya, perusahaan pasti minta return. ­There's no free lunch. Mereka tidak bisa hanya diimbau, dan harus ada dampak langsung untuk mereka.

Dampak langsung seperti apa?

Kenapa museum di negara maju bisa bagus dan bersih? Itu antara lain karena ditangani pemerintah dan yayasan. Kenapa yayasan mau? Satu, mereka berminat pada dunia seni. Dua, mereka mendapat pengurangan pajak. Jadi bukan sekadar program filantropis, tapi ada sesuatu yang mereka dapat juga. Ini wewenang Kementerian Keuangan.

Upah buruh kita yang rendah, masihkah menjadi selling point untuk menarik investor?

Upah buruh sekarang juga sudah naik. Kalau mau main di upah murah, kita tak bisa bersaing dengan Cina. Kita mesti bersaing di model, desain, dan kualitas.

Nyatanya, ada investor yang tak mau masuk ke sini. Contohnya, RIM malah membuat pabrik di Malaysia, meskipun pasar terbesarnya di Indonesia.

Kalau saya menjadi RIM, saya mungkin akan berpikir serupa: menjadikan Penang sebagai basis produksi. Biaya logistik (dari Penang) ke Indonesia lebih murah dibanding lokal Indonesia, dari Jawa ke Sumatera misalnya. Kita harus melakukan perbaikan dalam logistik. Kalau tidak, mereka hanya akan memanfaatkan kita sebagai pasar. Tapi tidak semua jelek. Buktinya, otomotif banyak yang bersemangat ke sini.

Negara mana saja yang punya minat besar berinvestasi di sini?

Antara lain Korea, Taiwan, Jepang, dan Cina. Mereka tertarik karena mereka juga punya kepentingan dalam hal energy security.

Kepala BKPM juga bertugas "menjual" Indonesia di dunia bisnis internasional.

Ada yang menganggap Anda kurang berpengalaman "menjual Indonesia" di latar bisnis internasional. Ada tanggapan?

Sebelum di BKPM, saya juga banyak duduk di board perusahaan yang bukan lokal. Misalnya, menjadi advisor Toyota Global Asia-Pasifik ketika mereka berinvestasi di Asia-Pasifik. Saya juga duduk di Axiata Berhad pada 1989-1999. Saya tak hanya berurusan untuk keputusan di Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Jadi, kalau bicara tentang jaringan internasional, saya cukup berpengalaman.

Bagaimana dengan pengalaman "berjual­an"?

Praktis pada 2005-2006 saya berjualan bond untuk pembiayaan obligasi RI. Yang saya lakukan adalah meyakinkan investor bahwa RI masih baik. Waktu itu dengan Departemen Keuangan, tepatnya Dirjen Pengelolaan Utang.

Apa yang bisa Anda terapkan di BKPM dari pengalaman tersebut?

Satu hal yang saya pelajari dari proses itu: investor tidak suka kalau kita bohong. Dan tak ada gunanya juga kita bohong, karena mereka akan mencari tahu juga apa yang terjadi di Indonesia. Mereka menghargai kalau kita jujur. Kalau kita bilang tak ada masalah, mereka akan bilang, kalau otoritas saja tidak tahu apa masalahnya, bagaimana mau memperbaiki?

Anda sebelumnya komisaris di sejumlah perusahaan. Bagaimana menghindari konflik kepentingan?

Pada pagi hari sebelum dilantik oleh Presiden, saya mengirim surat pernyataan mundur kepada seluruh board perusahaan-perusahaan itu. Mulai pukul 11 tanggal 14 Juni, saya tak punya afiliasi dengan perusahaan. Tapi BKPM ini hanya clearing house, bukan pembuat kebijakan. Jadi, sebenarnya tak perlu khawatir karena kami tak mengambil keputusan. Kalaupun ada, keputusan diambil bersama-sama, bukan oleh saya sendiri.

Berapa target investasi BKPM hingga akhir tahun?

Saya baru bisa menjawab setelah angka kuartal kedua muncul. Kuartal pertama angkanya bagus sekali: Rp 71,2 triliun. Untuk penanaman modal asing Rp 51,5 triliun, sisanya penanaman modal dalam negeri. Kalau dilihat trennya sekarang masih terlalu bagus. Tapi saya tidak mau datang dengan prognosis yang terlalu cepat, karena dalam jangka pendek efek dari krisis itu masih mungkin berimbas pada Indonesia.

Anda pernah jadi wakil Chairul Tanjung di Komite Ekonomi Nasional, dan staf khusus Aburizal Bakrie saat dia jadi Menteri Koordinator Perekonomian. Kedekatan Anda dengan mereka dianggap mempengaruhi posisi Anda sekarang.

Saya sudah sering banget dilabel dekat si ini dan si itu. Bahkan lebih banyak dari yang Anda sebut. Saya tidak pernah pusing karena saya selalu konsisten. Misalnya soal kenaikan harga BBM. Sikap saya sama, mendukung kenaikan harga BBM, baik saat di luar maupun di dalam pemerintahan. (Jadi) saya sudah sering dilabel macam-macam. Cuma satu yang belum: saya bertanggung jawab atas terjadinya gempa bumi dan tsunami. l

Muhammad Chatib Basri
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 22 Agustus 1965 Pendidikan: S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1986-1992, S-2 Australian National University, 1994-1995, S-3 Australian National University, 1997-2001 Karier: Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, mulai Juni 2012, Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional, 2010-sekarang, Penasihat khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani, 2006-2010, Staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, 2005-2006, Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat UI, 2004-2009, Komisaris independen beberapa perusahaan publik, antara lain PT Astra International, PT Semen Gresik, PT Indika Energy, dan Axiata Sdn Bhd (Malaysia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus