Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekomendasi itu terang-benderang. Komisi Komunikasi dan Informatika Dewan Perwakilan Rakyat mendesak Dewan Pengawas Televisi Republik Indonesia agar mengocok ulang jajaran direksi baru yang dilantik pada 2 April lalu. Komisi beralasan proses pemilihan tidak klop dengan hasrat pemerintah dan DPR.
Selain itu, Komisi berjanji bakal menyampaikan surat teguran kepada Dewan Pengawas lantaran lalai mengangkat dewan direksi periode 2012-2017, yang ternyata sarat masalah. Rekomendasi ini merupakan kesimpulan rapat dengar pendapat Komisi Komunikasi dengan Dewan Pengawas pada 10 April lalu.
Entah mengapa politikus Senayan letoi mengawal rekomendasi tersebut. Hingga Kamis pekan lalu, belum ada perintah kocok ulang seperti yang didesakkan Komisi kepada Dewan Pengawas. "Belum ada. Kesimpulan itu rahasia. Dari mana Anda dapat kabar itu?" kata Elprisdat M. Zen, Ketua Dewan Pengawas, kepada Tempo.
Rapat dengar pendapat digelar setelah muncul mosi tidak percaya dari karyawan TVRI kepada DPR dan Presiden sehari sebelumnya. Mereka menuding direksi terpilih adalah orang bermasalah dan tersangkut korupsi. Telunjuk paling kencang diarahkan ke Farhat Syukri, direktur utama terpilih.
Dalam mosinya, karyawan menuding Farhat tak lulus kriteria bebas dan bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Ia diduga menggelapkan uang kerja sama TVRI dengan Pemerintah Provinsi Riau sebesar Rp 770 juta semasa menjabat direktur umum. Akibatnya, Dewan Pengawas memberhentikan Farhat pada 18 September 2007.
Enggan disebut tak responsif, Tantowi Yahya, anggota Komisi, mengatakan kemungkinan kocok ulang tetap ada. "Namun kami tidak bisa intervensi langsung karena itu domain Dewan Pengawas," kata Tantowi, yang berasal dari Partai Golkar, saat ditemui di ruangannya.
Menurut dia, Komisi tetap memantau kinerja direksi yang baru. Sesuai dengan kesepakatan internal, Komisi memberi kesempatan direksi baru membuktikan kinerjanya hingga Oktober mendatang. "Buktikan mereka tidak seperti yang dituduhkan. Kalau tidak berubah, goodbye," ujarnya.
Namun Elprisdat, yang pernah menjadi wartawan ANTV, mengatakan tak ada yang keliru dalam proses penunjukan Farhat sebagai orang nomor satu di TVRI. "Apalagi yang mau disoal? Kami tidak menemukan bukti hukum yang menunjukkan Farhat bersalah dalam kerja sama itu," ujarnya.
Surat rekam jejak calon direksi dengan kode rahasia bertanggal 24 Februari 2012 hanya membeberkan Farhat diberhentikan dengan hormat oleh Dewan Pengawas. Surat ini yang dibacakan Elprisdat saat uji kelayakan.
Bekas Kepala Satuan Pengawasan Intern Gatot Sujanto, yang lima tahun lalu memimpin audit kerja sama itu, enggan membocorkan buah kerjanya. "Saya lupa dengan kasus itu," kata dia sembari menutup sambungan telepon tiba-tiba.
Perkara tersebut mulai tersingkap ketika Robik Mukav angkat bicara. Anggota Dewan Pengawas TVRI periode 2006-2011 ini menjelaskan, "Sebetulnya Farhat dipecat oleh Dewan Pengawas, bukan mengundurkan diri." Keputusan itu seturut dengan hasil audit SPI mengenai kerja sama TVRI-pemerintah Riau.
Robik, jenderal pensiunan yang mantan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, mengimbuhkan, Farhat "berdosa besar" ketika meneken kerja sama itu. Padahal kewenangan tersebut ada di tangan direktur program dan berita, bukan direktur umum, yang tugasnya mengurusi tetek-bengek personalia.
Hal lain, Farhat tidak menyetorkan duit proyek Rp 770 juta ke rekening TVRI, tapi ditransfer ke rekening lain. Setelah muncul kabar rencana audit oleh SPI, baru uangnya disetor ke rekening TVRI. "Ini tidak menghentikan unsur penggelapannya. Pilihannya keluar dari TVRI atau penjara," kata Robik.
Farhat Syukri, yang menjadi episentrum dalam polemik ini, seperti puasa bicara. Dengan alasan mematuhi instruksi Dewan Pengawas, ia tidak menjawab pertanyaan yang menyangkut kebijakan internal. "Saya sedang berfokus memperbaiki kinerja," kata pria kelahiran Baturaja, Sumatera Selatan, itu.
Jajaran direksi terpilih, kata Tubagus Hasanuddin, anggota Komisi dari PDIP, memang tak seperti harapan fraksinya. Tapi ia tak mau gegabah mengambil keputusan. "Biar dulu bekerja," ujarnya. Direksi baru, Tantowi menambahkan, ibarat anak haram yang telanjur lahir. "Bukan salah anak, tapi salahkan ayah dan ibunya yang berselingkuh."
Bobby Chandra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo