Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sigit Pramono*
Pascakrisis 1997-1998, demam reformasi melanda Indonesia. Selain di bidang politik dan birokrasi pemerintahan, desakan untuk melakukan reformasi melanda sektor jasa keuangan. Bank komersial bertumbangan dan akhirnya berubah total. Mereka dipaksa berubah karena paling parah dihantam krisis. Empat bank besar milik negara harus digabung. Beberapa bank swasta besar berganti pemilik. Pimpinan bank, yaitu komisaris dan direksi, diganti.
Tekanan untuk melakukan perubahan juga dihadapi otoritas sektor jasa keuangan. Pada diskursus awal tentang masalah ini lebih dari sepuluh tahun yang lalu, para politikus mendesak perlunya otoritas baru di sektor jasa keuangan karena otoritas lama yang terpisah dianggap kurang memadai untuk menghadapi tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia ke depan.
Otoritas lama dianggap belum mampu melakukan transformasi dari dalam tubuh organisasinya. Terjadinya beberapa kasus di sektor keuangan dan perbankan semakin memperkuat desakan untuk melakukan transformasi pada otoritas sektor jasa keuangan. Dalam konteks ini, kelahiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seharusnya dipandang sebagai upaya melakukan transformasi itu.
Persoalannya, hasil pemilihan ketua dan anggota Dewan Komisioner OJK oleh DPR dua pekan lalu sama sekali tidak mencerminkan semangat perubahan tersebut. Komposisi Dewan Komisioner masih didominasi oleh mereka yang berlatar belakang regulator. Beberapa politikus berargumen, komposisi seperti itu untuk menjamin agar masa transisi berlangsung mulus. Argumen itu sangat lemah.
Saya khawatir mereka tidak sempat mendalami Undang-Undang OJK, yang notabene produk mereka sendiri. Undang-Undang OJK sudah mengantisipasi dan mengatur masa transisi dengan sangat cermat. Di tataran pimpinan OJK, undang-undang bahkan menjamin keterwakilan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan secara ex officio di Dewan Komisioner OJK. Artinya, wakil-wakil regulator akan duduk menjadi anggota Dewan Komisioner secara otomatis dan tidak perlu melalui proses seleksi. Untuk memastikan masa peralihan yang mulus, dalam periode awal pendirian OJK, seluruh personalia BI dan Bapepam-LK yang menangani pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan akan pindah secara bedol desa ke OJK yang baru.
Para politikus di DPR sekarang tampaknya tidak mampu mentransmisi semangat reformasi dari para pendahulu mereka ketika mengusung gagasan melahirkan OJK. Apakah mereka lupa bahwa proses kelahiran Undang-Undang OJK pada awalnya menimbulkan kegaduhan politik dan tarik-menarik yang sangat kuat antara kelompok reformis dan kaum mapan?
Sudah menjadi rahasia umum pula, upaya pihak tertentu untuk mengulur waktu kelahiran OJK telah memakan korban beberapa pemimpin tertinggi BI sehingga harus dipenjarakan. Banyak kalangan menilai hasil pemilihan Dewan Komisioner OJK oleh DPR seolah-olah hanya menjadi sebuah antiklimaks dari pengorbanan itu.
Patut disayangkan bahwa para politikus telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mempercepat proses transformasi di tubuh otoritas sektor keuangan. Padahal mereka sendiri yang memulainya. Sikap mereka cocok dengan lirik lagu dangdut: Kau yang mulai, kau yang mengakhiri.
Rakyat sekarang menjadi semakin yakin bahwa hasil pemilihan pejabat publik yang melibatkan DPR hanya didasarkan pada pertimbangan politik jangka pendek dan kepentingan sesaat. Jika cara-cara seperti ini terus "dipamerkan" DPR, jangan menyalahkan masyarakat kalau mereka menjadi semakin apatis.
Kalangan industri jasa keuangan bertanya-tanya, untuk apa mengajak asosiasi sektor jasa keuangan berpartisipasi mengirimkan calon untuk mengisi Dewan Komisioner OJK. Apakah mereka hanya dijadikan penggembira? Sekadar untuk memenuhi formalitas dan legalitas bahwa unsur masyarakat telah dilibatkan?
Mekanisme pemilihan melalui panitia seleksi akhirnya menjadi mubazir jika ujung prosesnya hanya menghasilkan komposisi mereka yang berasal dari BI dan Kementerian Keuangan. Jika memang demikian halnya, tidak perlu panitia seleksi Dewan Komisioner mengundang asosiasi industri untuk mengirimkan calon terbaik dari industri masing-masing. Dibagi saja berapa jatah untuk BI dan berapa jatah untuk Kementerian Keuangan. Jelas cara ini lebih mudah, murah, dan cepat prosesnya.
Kita hidup di era yang siklus krisisnya semakin pendek dan persoalan politik serta ekonomi yang harus ditangani semakin kompleks. Karena itulah perlu suatu otoritas sektor jasa keuangan yang unsur pimpinannya terdiri atas orang-orang yang memiliki keberagaman keahlian. Akan lebih baik jika pimpinan OJK merupakan gabungan dari orang-orang yang berlatar pengalaman sebagai regulator dan pelaku industri. Dengan gabungan keahlian itu, diharapkan mutu kebijakan yang dihasilkan menjadi semakin baik.
Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan ke depan harus benar-benar mampu mengatasi krisis. Jika terjadi lagi sebuah krisis keuangan dan perbankan yang sebesar krisis 1997-1998, akan sangat berat bagi perekonomian Indonesia. Kerja sama yang baik antara pemerintah, otoritas jasa keuangan, dan pelaku di sektor jasa keuangan sangat penting. Jangan sampai kita menambah faktor yang ditengarai akan semakin mendorong Indonesia menjadi negara gagal, seperti kekhawatiran beberapa kalangan akhir-akhir ini. Sektor keuangan bagi suatu negara adalah sektor yang sangat strategis. Setara strategisnya dengan tentara nasional.
Pemilihan ketua dan anggota Dewan Komisioner OJK oleh DPR baru-baru ini harus kita kritisi. Semata-mata demi perbaikan tata kelola dalam pemilihan pejabat publik sektor keuangan secara khusus dan untuk kebaikan bangsa dan negara. Kritik itu bukan untuk mendiskreditkan mereka yang terpilih.
Pada masa mendatang, semua pengambil keputusan harus mendorong perubahan Undang-Undang OJK atau tata cara pemilihan Dewan Komisioner OJK yang lebih menjamin adanya keragaman keahlian dari pimpinannya. Di samping itu, ada potensi persoalan yang lebih pelik. Kita harus sadar dan siaga bahwa ketika OJK mulai berfungsi penuh pada awal 2014, ia langsung menghadapi tantangan politik dan ekonomi dari dalam dan luar negeri yang luar biasa.
Di dalam negeri, 2014 adalah tahun politik, tahun pemilihan umum DPR dan presiden. Pada 2014, secara kelembagaan, sektor jasa keuangan akan mengalami situasi yang perlu mendapat perhatian. Menurut Undang-Undang OJK, pada saat keadaan normal atau menghadapi situasi krisis, "jagat keuangan" Indonesia akan dijaga oleh empat "dewa", yakni Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua OJK, dan Ketua LPS. Mereka bersatu dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan.
Persoalannya, pada 2014 tersebut, Menteri Keuangan akan dijabat oleh figur baru karena pemerintahan berganti. Gubernur BI ada kemungkinan tetap, tapi bisa juga berganti. Ketua OJK baru saja dipilih. Jadi satu-satunya figur lama adalah Ketua LPS. Situasi inilah yang harus diantisipasi dengan arif dan cerdas terutama apabila ada potensi krisis besar.
Percepatan penataan kelembagaan dan protokol krisis harus mendapat prioritas tinggi. Situasi akan lebih serius karena dapat dipastikan krisis Eropa pada 2014 belum mereda, bahkan dampaknya bagi perekonomian Indonesia bisa lebih buruk. Tanda-tandanya sudah terasa sekarang ini.
Jadi, OJK ibarat sebuah biduk baru yang langsung diluncurkan ke tengah samudra raya yang gelombangnya sangat ganas. Kita doakan agar nakhoda dan awak biduk OJK mampu mengarungi samudra persoalan yang menghadang. Jales Veva Jaya Mahe. Mohon maaf saya pelesetkan sedikit maknanya menjadi, "Justru melalui berbagai samudra krisis, bangsa Indonesia semakin berjaya".
*) Ketua Umum Perbanas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo