Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Irshad Manji tak kaget saat mendengar beberapa kabar buruk Kamis malam dua pekan lalu. Saat itu, Direktur Moral Courage Project, New York University, ini baru mendarat di Indonesia untuk mempromosikan buku terbarunya, Allah, Liberty and Love. Salah satu kabar buruk itu mengatakan sebuah jaringan toko buku besar di Indonesia membatalkan peredaran buku yang sedang dipromosikannya. Kabar buruk lainnya, diskusi di kantor Pengurus Pusat Muhammadiyah keesokan harinya (Jumat, 4 Mei) dibatalkan dan dipindahkan ke Maarif Institute. “Saya tahu dari Twitter,” katanya ringan setelah diskusi Maarif Institute di Tebet.
Bahkan, sebelum terbang ke Indonesia untuk kedua kalinya, warga negara Kanada ini sudah membayangkan akan mendapat penolakan dari otoritas agama ataupun pemerintah. Empat tahun lalu, Irshad datang untuk mempromosikan buku Beriman tanpa Rasa Takut, terjemahan dari The Trouble with Islam Today: A Wake-Up Call for Honesty and Change. Buku ini mengundang banyak hujatan dari kalangan muslim militan. Bahkan teror dan ancaman pembunuhan.
Namun nyali perempuan keturunan India-Mesir yang lahir di Uganda ini tak surut. Buku berikutnya terbit. Dia kian populer. Termasuk di Indonesia. Dalam daftar teman di akun Facebooknya, orang Indonesia menduduki tempat kedua terbesar. “Terakhir saya cek, hampir 35 persen.”
Tapi kepopulerannya pula yang menyebabkan sejumlah kehebohan selama kunjungannya di Indonesia. Purwani Diyah Prabandari dari Tempo mewawancarai Irshad Manji, 44 tahun, di sela hiruk-pikuk kegiatannya. Wawancara berlangsung dua kali, Jumat dua pekan lalu dan Senin berikutnya.
Buku terbaru Anda mendapat banyak penolakan, padahal yang dulu tidak. Apakah Anda kaget?
Ketika saya ke sini pertama kali, banyak yang tertarik kepada buku saya. Tapi saat itu pemerintah atau otoritas agama tidak begitu tahu karya saya. Jadi, mereka tidak serius menanggapi. Namun kehebohan dalam kunjungan pertama itu membuat otoritas agama dan pemerintah merasa terancam oleh kehadiran kedua saya kali ini.
Kalau tahu akan ditentang, kenapa tetap datang?
Di Facebook saya posting sebuah grafis yang memperlihatkan meningkatnya penolakan atas kehadiran Irshad Manji di Indonesia. Kemudian saya bilang, “Saya terbang ke Jakarta hari ini, tolong doakan saya dan sabar.” Sejumlah orang Indonesia memberikan komentar yang kebanyakan mendukung: lanjutkan, teruskan langkah, tetap berjuang, dan lain-lain.
Menurut Anda, dukungan saja cukup?
Orang tak cukup hanya memberi penghargaan kepada pelaku perubahan. Sangat mudah untuk mengatakan, “Apa yang bisa saya lakukan? Saya tak punya apa-apa.” Kita tidak boleh seperti itu. Setiap pilihan yang kita buat setiap hari adalah gerakan untuk perubahan. Jadi, buku Allah, Liberty and Love mengupas soal apa yang Anda semua bisa lakukan untuk perubahan.
Jadi, Anda telah siap dengan penolakan?
Mahatma Gandhi mengatakan, “Ketika kita mencoba melakukan perubahan, pertama-tama mereka akan mengabaikan kita. Kemudian mereka akan memperolok kita. Kemudian mereka memerangi kita. Akhirnya, kita menang.” Jadi, untuk buku kedua ini, saya sudah membayangkan akan lebih banyak penolakan dibanding buku pertama.
Dengan memakai skenario Gandhi, Anda sekarang ini di tahap apa?
Di tahap perlawanan atau perang. Mereka tak lagi memperolok. Mereka membungkam. Tapi saya tak akan melakukan perlawanan dengan kekerasan. Malam ini saya akan muncul ke Komunitas Salihara. Mungkin saya akan diusir, tapi saya tetap akan datang ke diskusi. Saya tak akan lari. Demikian pula di Solo dan Yogyakarta.
Pukul 17.00, Irshad Manji meninggalkan Tebet menuju kompleks Komunitas Salihara di Pasar Minggu. Acaranya adalah peluncuran buku Allah, Liberty and Love, sekaligus diskusi. Meski ada kabar rencana kehadiran massa penentang acara, diskusi tetap dilangsungkan. Dua jam kemudian, saat Irshad sedang berbicara, Kepala Kepolisian Sektor Pasar Minggu Komisaris Adri Desas Puryanto menginterupsi dan memberi pernyataan di depan peserta diskusi. Ia memberi waktu sepuluh menit agar acara bubar. Kalau tidak, polisi akan pergi.
Di luar, massa beringas. Mendekati pukul 20.00, pagar nyaris jebol. Massa bersorban putih berteriak-teriak, “Allahu Akbar,” juga, “Bubarkan!” Diskusi pun dihentikan.
Anda akhirnya meninggalkan diskusi di Salihara. Kenapa?
Waktu itu sebenarnya saya memutuskan bertahan di panggung. Saat panitia menghentikan sebentar, saya bilang, “Come on… kalau kita break, acara akan berakhir.” Kami menawarkan kompromi dengan membolehkan polisi berbicara dan membajak acara. Tapi kemudian saya melihat seseorang membawa bayi. Pada titik tersebut, saya tidak bisa membiarkan sesuatu terjadi dengan bayi di situ. Kemudian saya setuju pindah ke auditorium, tempat kami bisa melakukan penandatanganan buku dan berfoto bersama.
Tapi itu pun batal.
Ketika saya menuju lantai dua, keadaan menjadi berbahaya. Jendela di lantai dua bergetar karena gerakan-gerakan di lantai bawah. Saya sempat mengirim pesan video ke audiens dan mengatakan saya tak akan pergi jika mereka tak pergi. Tapi kemudian panitia memberi tahu saya, polisi akan membawa saya untuk dimintai keterangan. Pengacara menyarankan saya meninggalkan Salihara. Saya setuju, tapi dengan syarat saya menyampaikan pernyataan verbal kepada para aktivis di lantai bawah. Polisi setuju. Saya berbicara tiga menit. Tapi, baru semenit, massa FPI mendekat. Polisi mengelilingi kami. Saya harus segera menyelesaikan pernyataan. Kemudian saya didesak dan dibawa ke mobil polisi yang sudah menunggu. Sedangkan di luar, orang-orang menggebrak-gebrak jendela mobil.
Pernah mengalami kejadian seperti ini?
Empat bulan silam, saat saya berada di pusat komunitas di Amsterdam untuk meluncurkan buku ini. Sekitar 20 orang menyerbu masuk dan mengibarkan bendera hitam sambil berteriak-teriak, “Anda kafir.” Mereka minta saya dieksekusi. Mereka yang akan mematahkan leher saya.
Anda takut?
Saya tidak takut. Momen terbaik pada saat itu, tak seorang tamu pun lari dari ruangan. Bahkan mereka membentuk benteng mengelilingi saya. Setelah polisi datang dan menangkap beberapa penyerbu, kami meneruskan acara seperti tak terjadi apa-apa. Kami tidak tunduk kepada para penggertak. Belakangan polisi menemukan senapan mesin di rumah salah seorang yang ditangkap.
Itu yang membuat Anda pernah pakai bodyguard?
Saya dulu pernah menggunakan bodyguard. Tapi kemudian saya sadar, para pemuda muslim akan melihat itu dan berpikir: satu-satunya cara kita bisa bersuara lantang adalah dengan mendapatkan perlindungan bodyguard 24 jam. Jadi, saya menghentikannya. Tapi, ke mana pun saya pergi, kalau tahu ada bukti ancaman, kami akan bekerja sama dengan polisi. Tapi kadang polisi pun tak bisa melakukan apa-apa. Tak mengapa juga. Jadi, lakukan yang kita bisa. Serahkan sisanya ke tangan Tuhan.
Meski diskusi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, dan di Aliansi Jurnalis Independen Jakarta berlangsung lancar, ancaman dan ketakutan menyebar ke mana-mana. Lima hari setelah acara di Salihara, Rektorat Universitas Gadjah Mada melarang diskusi Irshad di Gedung Pascasarjana. Bahkan diskusi di kantor Lembaga Kajian Islam dan Sosial di Yogyakarta diserbu seratusan orang yang mengklaim dari Majelis Mujahidin Indonesia. Mereka berteriak, “Irshad Manji, jangan rusak agama kami.” Juga, “Jangan pernah menghina lagi agama kami dengan kampanye gay dan lesbian.”
Irshad bergeming, jongkok di pendapa, dilindungi para peserta diskusi yang mengelilinginya. Lemparan batu dari penyerbu diabaikan. Pemukulan juga tak dihiraukan.
Kritik yang paling sering dialamatkan kepada Anda adalah soal homoseksualitas.
Sebenarnya, hak gay dan lesbian lebih gampang diperoleh daripada hak perempuan. Hal ini karena ada ketakutan di kalangan masyarakat pluralis bahwa mereka akan dicap homofobia (antihomoseksual). Sayangnya, mereka tak khawatir dicap sexist (bias gender), merasa tak mengapa menggaji perempuan lebih kecil dibanding laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Tapi saya tak akan berbicara banyak tentang ini.
Lalu bagaimana dengan tiga kata dalam judul buku Anda: Allah, kebebasan, dan cinta? Apa ini ada hubungannya dengan orientasi seksual?
Ini bukan candaan. Ketiganya bisa disandingkan. Saya pernah mendengar salah satu komentar yang paling menyedihkan tentang hal ini. Di sebuah program televisi, saya katakan bahwa cara merespons pendeta yang membakar Al-Quran adalah berkata dengan lembut: “Allah menyayangi Anda, demikian juga saya.” Pembawa acara televisi tertawa mendengar jawaban tersebut dan mengatakan muslim tidak mencintai atau mengasihi. Kemudian saya menerima banyak surat elektronik yang mengatakan, “Kamu tahu Irshad, saya tidak pernah mendengar kata Allah dan cinta atau sayang dalam kalimat yang sama.” Betapa menyedihkannya. Dan itu benar.
Lho, bukankah umat Islam yakin Islam itu rahmat bagi seluruh umat?
Tapi banyak yang masih bingung akan konsep itu. Saat saya di Bosnia, seorang mahasiswi berjilbab bertanya kepada saya, “Saya hanya perlu tahu satu hal, apakah Anda takut Tuhan?” Takut dinilai jauh lebih besar dibanding rahmat. Kenapa hubungan antara Tuhan dan manusia tak diukur dengan kasih sayang?
Apa akibatnya?
Siapa pun yang mempraktekkan Islam akan berada di krisis moral bila menyalahgunakan Al-Quran untuk melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuan, agama minoritas, gay dan lesbian, anak-anak, dan lain-lain.
Kalau begitu, Indonesia dalam krisis moral?
Faktanya. saat ini, memang ada gerakan melarang Ahmadiyah. Juga ada aturan soal pakaian perempuan di beberapa daerah. Di sisi lain, banyak muslim moderat Indonesia yang tidak ingin bersitegang dengan ekstremis. Itulah yang disebut Martin Luther King Junior sebagai perdamaian negatif. Ketegangan memang tidak ada, tapi ketidakadilan tetap terjadi. Sebuah kemajuan tak pernah terjadi tanpa ketegangan.
Kamis siang pekan lalu, Irshad Manji meninggalkan Yogyakarta. Ia berencana meninggalkan Indonesia menuju Kuala Lumpur. Tapi, ada kabar ada larangan diskusinya di Malaysia. Larangan dan serbuan dalam sejumlah diskusinya tak membuatnya surut. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan ketegangan seperti ini.
Kapan sebenarnya Anda mulai bersuara lantang soal agama?
Sejak kecil. Saya pernah dikeluarkan dari madrasah karena mengajukan terlalu banyak pertanyaan.
Anda juga mengalami ketegangan dengan keluarga, termasuk ibu?
Ketegangan itu sangat konstruktif untuk hidup saya. Ketika masih kecil, saya sering mengajukan pertanyaan yang membuatnya tak nyaman. Kadang ibu saya bilang, “Apa sih yang membuat kamu frustrasi?”
Anda frustrasi?
Banyak aturan di masjid atau rumah yang membuat kita kerdil dan seperti robot. Ibu selalu bilang, “Jaga hidungmu tetap bersih, jaga kepala tetap tunduk, jangan buat keributan, kemudian berharap dan berdoalah agar di akhirat nanti hidupmu akan menyenangkan.” Itu semua mengerdilkan diri kita. Dan yang benar-benar membuat frustrasi adalah itu seolah-olah membuat Tuhan pun menjadi kerdil. Kenapa Tuhan yang Agung menciptakan makhluk kecil yang selalu ketakutan? Itu membuat saya berpikir, mungkin Tuhan tidak menciptakan makhluk yang kerdil seperti itu. Dia sebenarnya memberikan hadiah kepada kita berupa kehendak bebas, otak, juga nurani.
Anda masih percaya Al-Quran, tapi Anda menganggapnya kontradiktif?
Al-Quran memang kontradiktif. Saya tidak mengatakan Al-Quran sempurna. Tapi, menurut saya, alasan ketidaksempurnaan itu justru membuat kita harus menggunakan ijtihad (berpendapat). Setiap generasi perlu menggunakan ijtihad untuk menyelaraskan situasi dunia ini dengan prinsip-prinsip Al-Quran yang tanpa batas waktu.
Dengan keyakinan seperti itu, apakah Anda masih menganggap diri Anda seorang muslimah?
Ya, saya seorang muslim. Islam saya dengan prinsip utama hanya ada satu Tuhan. La Ilaha Illallah. l
Irshad Manji Jabatan:
Pendidikan:
Penghargaan:
Lahir: Uganda, 1968
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo