Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Enam Pahlawan di Atas Satu Panggung

Adalah impian para penggemar dunia Marvel untuk menyaksikan para superhero di semesta yang sama. Bisakah mereka bekerja sama?

14 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE AVENGERS
Sutradara: Joss Whedon
Skenario: Joss Whedon dan Zak Penn Berdasarkan tokoh-tokoh dalam komik karya Stan Lee dan Jack Kirby
Pemain: Robert Downey Jr, Samuel L. Jackson, Mark Ruffalo, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Chris Hemsworth, dan Chris Evans

TERUS terang saja.

Ketika Marvel mengumumkan akan mengumpulkan enam superhero dalam satu arena bernama The Avengers, kita, penonton Indonesia yang malang, hanya berfantasi: andai Iron Man (Robert Downey Jr), Thor (Chris Hemsworth), Hulk (Mark Ruffalo), Captain America (Chris Evans), Black Widow (Scarlett Johansson), dan Hawkeye (Jeremy Renner) mengenal Indonesia, barangkali mereka bersedia menghantam para koruptor dan mafia di sini. Entah cukup dengan gelegar Hulk yang pasti bisa menenteng para koruptor yang buron; atau dimulai dengan yang ”tradisional” semacam Captain America, terserahlah. Itu strategi mereka. Capek menunggu polisi, jaksa, dan KPK, kita sewa saja keenam superhero ini. Setuju?

Joss Whedon setuju. Saya juga.

Jadi, kalau Indonesia juga menyambut film berisi bersatunya para superhero ini, bukan hanya karena kami, penggemar fanatik komik superhero, tapi juga karena di tangan Whedon-lah keenam pahlawan itu mengisi kehausan dan kegatalan kami untuk memberantas kejahatan tanpa tetek-bengek prosedur.

Plot film ini dibentuk dengan sangat lazim, sangat fungsional. Loki (Tom Hiddleston), adik tiri Thor, menjadi ancaman yang mengerikan. Dia berhasil menguasai Tesserect, sebuah kotak kosmik yang mampu mengirim kekuatan tanpa batas untuk menghancurkan dunia. Loki bahkan siap merekrut sekumpulan alien untuk menyerang bumi. Dalam situasi yang gawat itu, pemimpin SHIELD (Strategic Hazard Intervention Espionage Logistics Directorate), Nick Fury (Samuel L. Jackson), memilih jalan keluar yang penuh risiko: mengumpulkan keenam superhero yang sebetulnya penuh ego dan sukar untuk bekerja sama.

Pada saat pertemuan setiap superhero dan interaksi inilah kita malah menikmatinya hingga titik kenikmatan tertinggi. Pertempuran mereka melawan Loki memang dahsyat, tapi lebih asyik melihat dialog dan pertengkaran rewel di antara superhero. Mereka memiliki persamaan: mempunyai misi menyelamatkan dunia dan karena itu mereka sering merasa sendirian. Jangan lupa, mereka juga rewel dan bermulut masam. Tony Stark aka Iron Man, yang terkenal berlidah tajam, mengejek-ejek Captain America dan Thor, yang tampak seperti ”pahlawan jadul” yang nyasar di abad yang keliru. Sedangkan Black Widow, yang ditugasi­ meyakinkan Bruce Banner aka Hulk, tetap saja harus membawa satu pasukan jago tembak karena khawatir jika monster hijau perkasa yang bisa mematikan orang biasa seperti kita menginjak semut itu nongol.

Tiap superhero memiliki sejarah, latar belakang, dan tentu saja titik lemah dalam kepribadian mereka. Tapi kepentingan untuk mencegah durjana seperti Loki menyatukan mereka. Ketika Loki membanggakan diri bahwa dia memiliki pasukan alien yang bisa menghajar seisi dunia dengan sekali sapuan, Iron Man menyambut dengan satu kalimat pedas, ”Kami memiliki Hulk!”

Joss Whedon tak merasa harus memperkenalkan latar belakang semua superhero itu kepada penonton. Kita bertemu dengan Natasha Romanoff saat dia diinterogasi para begundal Rusia. Natasha mendapat telepon dari agen Phil Coulson (Clark Gregg) untuk segera menyudahi acara remeh-temeh itu. Apa yang terjadi? Natasha alias Black Widow memperlihatkan bahwa pertarungan dengan tangan ter­ikat di kursi tetap menjadi perkelahian paling keren dengan koreografi yang unik. Adegan itu sudah cukup memperkenalkan Black Widow kepada para pemula dunia Marvel.

Kepada mereka yang tak tahu-menahu asal muasal Tony Stark, Bruce Banner, Natasha Romanoff, Clint Barton, Steve Rogers, dan Thor kemudian menjadi pahlawan luar biasa tak harus membaca atau menyaksikan sejarah mereka karena film The Avengers tetap bisa dinikmati sebagai sebuah film yang menggelegar. Setiap superhero diberi porsi masing-masing untuk memamerkan kehebatannya dan akan ada adegan perseteruan enam dalam satu. Tapi, jika Anda memutuskan menyaksikan film para superhero ini sebelum The Avengers—syukur-syukur membaca komiknya—pemahaman Anda akan lebih mendalam tentang langkah-langkah yang dilakukan mereka dalam film ini. Selamat datang ke dunia fantasi yang dahsyat.

Tentu tidak mudah memberi kaitan antara satu-dua superhero dan superhero lainnya. Tapi Whedon mampu melakukannya dengan mulus dan penuh perhitungan. Meski Nick Fury adalah pemimpin, di lapangan, Iron Man adalah perekat mereka semua. Dia tetap menjadi superhero yang dominan, yang diperlakukan Whedon dengan istimewa. Kita diberi kesempatan menjenguk istananya (Menara Stark) dan kekasihnya, Pepper Pott (Gwyneth Paltrow).

Semuanya begitu segar, begitu menyenangkan, dan begitu sempurna untuk mengisi fantasi kita: para superhero Avengers, silakan datang ke Jakarta dan tolong hajar para koruptor serta mafia.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus