Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penari Andara F. Moeis, yang akrab dipanggil Anggie, meringkukkan tubuhnya ke dalam keranjang troli. Dengan tangannya, ia lalu menggerakkan roda. Troli hilir-mudik di panggung. Kadang cepat, kadang lambat. Troli seolah-olah menjadi pelampiasan, kebencian, penolakan. Demikian juga ketika penari Maria Bernadeth dan Nurhasanah bergelut dengan troli itu. Nurhasanah mengempaskan tubuhnya mengarah ke troli, tapi kemudian dia bergerak cepat mundur seolah-olah ditarik magnet besar.
Itulah karya Diliani, salah satu karya yang paling menonjol dalam forum I Move and the City di panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, 4-5 Mei lalu. I Move adalah forum yang digagas secara independen oleh para koreografer muda lulusan Institut Kesenian Jakarta umur 20-an. I Move dibentuk pada 2011. Mereka menamakan diri Indonesia Dance Movement Platform for the Youth. Tahun lalu lima penari tampil: Andara F. Moeis, Siti Ajeng Soelaiman, Nurhasanah, Ginti Giadi, dan Dewi Nurnaeny. Kini empat penari, antara lain, Helda Yosiana dengan karya Di Sepatunya; Achadea Suci Dea Shinta dengan Offer to Over; Yosef Prihantoro dengan I Glass, dan Diliani dengan No mart.
Sepatu, kacamata, troli—tema I Move memang berkaitan dengan kota dan problemnya. Untuk tahun ini mereka mengangkat soal konsumerisme. Rata-rata koreografer menghadirkan atau mengenakan obyek yang segera bisa ditangkap kaitannya dengan kebutuhan berbelanja. Namun yang paling mengena adalah karya Diliani. Kita tahu, troli selalu ada di supermarket 24 jam. Diliani seperti hendak menyajikan konflik dalam diri orang yang maniak berbelanja.
Di Teater Salihara, Jakarta Selatan, Sabtu pekan lalu, pada saat bersamaan tampil koreografer Solo, Retno Sulistyorini. Ia menyajikan koreografi bertema selir. Tema tradisional itu dibawakan dengan kosakata gerak kontemporer. Geraknya abstrak tidak menunjukkan jejak tari klasik Jawa. Di panggung ada dua backdrop berbahan kelambu tembus pandang yang dipasang membentuk setengah lingkaran menyisakan sebuah lorong di tengahnya. Retno mulanya berjubah hitam dengan baju dalam merah menari sendiri. Jubah sepanjang mata kaki itu tersibak memperlihatkan kedua belah kakinya hingga paha. Hampir seperempat jam, perempuan itu menari dalam kesunyian.
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar diikuti alunan musik elektro-akustik yang sedikit bising. Geraknya kemudian dinamis. Dia menjatuhkan diri dengan sikap miring yang sigap, kaki kiri sedikit terangkat. Lalu dia menarik kedua lututnya, mengkeret seperti kaki seribu sedang mlungker. Namun sejenak kemudian kakinya bergantian maju.
"Idenya timbul saat saya sering mengunjungi daerah Baluwarti, Solo, tempat para selir yang tak diakui," ujar Retno. Lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia ini mengatakan berempati pada nasib para perempuan itu. Mereka harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan. Gerak yang ditampilkan itu, menurut dia, menggambarkan seorang selir yang ingin membebaskan dirinya dari status tidak resmi menjadi resmi alias dinikahi secara sah sebagai istri.
Setelah solo itu, muncul penari Galuh Sintosari dan Astri Kusumawardani. Mengenakan cocktail dress berupa gaun tipis warna pastel dengan rok mini, mereka bergerak di antara dua backdrop berbahan kelambu yang dipasang membentuk setengah lingkaran. "Lingkaran itu metafora bentuk jam," ujar Retno. Penari bergerak di titik yang berbeda, dengan gerakan berbeda tapi ada kalanya bergerak bersama. Tiap penari kemudian menampilkan beberapa gerakan yang menyiratkan sebuah penantian. Salah satunya dengan berdiri membelakangi penonton sambil menggerakkan badan ke kiri dan ke kanan. "Itu menyimbolkan waktu yang terus berjalan," perempuan kelahiran Solo, 4 Juni 1981, itu menambahkan.
Dua pentas beda forum ini memang belum bisa digunakan untuk membaca peta terbaru generasi muda penari Jakarta dan Solo. Namun bisa menimbulkan ide, sekali waktu, perlu digelar pentas bersama koreografer terbaru Solo dan Jakarta. Semacam festival penata tari muda. Agar bisa membaca kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Seno Joko Suyono, Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo