Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA penyakit pernapasan akut (SARS) menyerbu kawasan Asia, enam tahun lalu, Tjandra Yoga Aditama sering disebut ”juru bicara SARS”. Sekarang, giliran flu babi mengancam Indonesia, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan itu kembali sering angkat bicara.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan wabah virus influenza A, atau H1N1, sebagai pandemi global pada 11 Juni lalu. Pandemi flu kali ini merupakan yang pertama sejak 41 tahun lalu, ketika wabah flu Hong Kong memakan korban lebih dari sejuta orang di seluruh dunia.
Flu yang semula berbiak di Meksiko itu sudah hinggap di Indonesia. Hingga pekan lalu, delapan pasien positif mengidap flu H1N1, yakni empat warga Indonesia dan empat dari Australia. Mereka dirawat di Rumah Sakit Sanglah, Bali, dan Rumah Sakit Sulianti Saroso, Jakarta.
Penyebaran virus ini luar biasa cepat. Hanya dalam beberapa bulan, lebih dari 70 negara di dunia sudah terjangkit flu babi. Menurut data WHO, sampai pekan lalu, sudah 77.201 orang yang terinfeksi—332 di antaranya tewas.
Berbeda dengan flu burung (avian influenza) yang tak menular antarmanusia, virus H1N1 menular dari manusia ke manusia. Namun, berbeda pula dengan flu burung yang mematikan, tingkat kematian virus flu Meksiko—sebutan dari Departemen Kesehatan—hanya kurang dari satu persen. ”Flu burung 200 kali lebih mematikan dari virus ini,” kata Tjandra.
Sekarang yang dikhawatirkan adalah mutasi yang menggabungkan dua sifat paling berbahaya dari kedua virus itu: mematikan sekaligus menyebar dengan lesat. Potensi mutasi ini memang tak bisa diramalkan. Ahli virologi dari University of Hong Kong, Guang Yi, mengatakan baik virus flu burung maupun flu H1N1 tidak stabil, sehingga pertukaran materi genetis di antara keduanya sangat mungkin.
Bagaimana kesiapan Indonesia menghadapi pandemi ini, Poernomo Gontha Ridho dari Tempo mewawancarai Tjandra Yoga Aditama di sela pertemuan tingkat tinggi negara-negara anggota WHO di New Delhi, India, Kamis pekan lalu. Sekaligus melengkapi wawancara Tempo sebelumnya, pertengahan Mei lalu.
Semula Menteri Kesehatan yakin virus ini susah berkembang di negara tropis seperti Indonesia. Sekarang sudah ada delapan pasien positif flu babi. Bagaimana antisipasi pemerintah?
Virus ini sangat cepat menyebar, sementara orang pindah dari satu negara ke negara lain begitu mudah. Jadi, kami berkonsentrasi maksimal menjaga pintu-pintu masuk internasional, yakni pelabuhan udara, laut, dan lintas batas darat, dengan pemasangan pemindai suhu tubuh, pengamatan petugas, dan pelaporan. Kami juga sudah mempersiapkan logistik, obat Tamiflu, dan lebih dari seratus rumah sakit untuk merawat pasien flu Meksiko. Kami juga sudah merancang metode pemantauan. Semua rumah sakit dan puskesmas harus memberikan data influenza-like illness, yang setiap minggu dikirim ke Jakarta.
Pemindai suhu tampaknya kurang efektif. Buktinya, empat turis Australia bisa lolos….
Upaya pertama kita memang mendeteksi suhu orang yang masuk, apakah dia demam atau tidak, tidak mendeteksi spesifik apakah dia mengidap H1N1 atau H5N1. Masalahnya, ada orang yang demam, tapi dia makan obat penurun panas, jadi tak akan terdeteksi.
Bagaimana antisipasi untuk kasus seperti itu?
Setiap orang yang baru tiba dari luar negeri kami beri kartu. Bila ternyata dia sakit, dia harus lapor ke dokter membawa kartu itu. Di kartu itu ada nomor telepon dokter yang harus dihubungi. Beberapa kasus bisa dideteksi dengan cara ini. Selain itu, ada radio praktek.
Seperti apa radio praktek itu?
Saya menghubungi Direktur Jenderal Perhubungan Udara, kemudian mereka menghubungi maskapai. Kalau di pesawat ada orang demam, pesawat itu harus parkir di area terpisah. Ambulans akan datang menjemput pasien demam, sementara lainnya diperiksa.
Pada 1918 juga terjadi pandemi flu babi. Apakah virusnya sama dengan sekarang?
Virus influenza A subtipe H1N1 memang bukan virus baru. Virus ini mudah bermutasi. Sesama virus H1N1 pun bisa berbeda. Jadi, virus H1N1 lama dengan yang sekarang juga berbeda.
Seberapa berbahaya flu Meksiko ini?
Banyak orang menghubungkan flu ini dengan flu burung, padahal sangat berbeda. Angka kematian dari kasus flu burung 80 persen, sedangkan tingkat kematian flu Meksiko sampai hari ini hanya 0,4 persen. Flu burung 200 kali lebih mematikan daripada virus ini. Sekitar 95 persen pasien flu Meksiko dapat sembuh tanpa harus masuk rumah sakit. Tingkat kematian memang lebih rendah, tapi penyebaran lebih cepat.
Menurut sejarawan Kresno Brahmantyo, pandemi flu babi pernah terjadi di Indonesia pada 1918?
Saya sudah mendengar informasi itu, tapi belum ada bukti yang cukup kuat. Memang ada beberapa informasi, tapi itu kan data historis, bukan informasi medis.
Kabarnya, korban saat itu lebih dari satu juta orang?
Data medisnya mana? Apakah ada catatan medis dari dinas kesehatan Hindia Belanda saat itu? Atau ada jenazah yang di tubuhnya ditemukan virus? Kalau di Amerika Serikat, yang juga terkena pandemi tahun itu, kan lengkap catatan medisnya.
Bagaimana persediaan Tamiflu? Apakah mencukupi? Kabarnya, ada Tamiflu yang kedaluwarsa?
Obat ini sudah tersedia di rumah sakit dan puskesmas. Saya tahu ada kasus kedaluwarsa, tapi itu semua sudah diganti yang baru. Kami juga sudah memberi tahu semua rumah sakit dan puskesmas: kalau ada yang kedaluwarsa, segera lapor ke Jakarta,
Direktur WHO dan sejumlah virolog mengkhawatirkan pertukaran gen antara H1N1 dan H5N1 di Indonesia. Apakah mungkin?
Masalahnya bukan mungkin atau tidak. Virus influenza memang sangat mudah bermutasi. Contoh konkretnya, vaksin BCG tahun 2003 dengan BCG 2004 dan BCG 2005 itu sama, demikian juga dengan vaksin DPT. Tapi vaksin influenza tahun 2007 tak bisa dipakai pada 2008. Jadi, harus kita tunggu vaksin terbarunya. Mirip dengan antivirus komputer, harus selalu diperbarui.
Soal penetapan status pandemi (level 6), Menteri Kesehatan pernah menyatakan keberatan dengan parameternya. Bagaimana?
Secara umum, status peringatan (alert level) ada enam. Penularan dari satu orang ke orang lain dari dua negara dalam satu kawasan, walaupun yang kena cuma dua orang, itu sudah masuk level 5. Nah, level 6 adalah bila ada beberapa negara di beberapa kawasan terkena serangan virus. Artinya, pandemi sedang berlangsung.
Apakah parameter itu tepat?
Kalau mau bicara ekstrem: ada pasien di tiga negara saja, itu sudah masuk fase 6. Definisi WHO seperti itu. Masalahnya, definisi itu tak menyebutkan berat atau tidaknya penyakit. Jadi, walau tak ada yang mati pun, bisa masuk fase pandemi. Kalau disebut pandemi, orang berpikir mayat ada di mana-mana. Padahal kan tidak juga?
Beberapa perusahaan farmasi, seperti Sanofi Aventis, menyatakan sudah siap memproduksi vaksin. Apakah efektif?
Secara umum, biasanya kami pakai patokan, tiga sampai enam bulan setelah serangan virus, vaksin bisa dibuat. Makanya keluar cerita bahwa mereka siap memproduksi vaksin.
Kabarnya, Bio Farma juga siap membuat vaksin?
Saya belum cek apakah mereka sudah menyiapkan vaksin H1N1.
Berarti perlu mengimpor vaksin H1N1?
Lihat saja perkembangannya, apakah perlu impor. Sampai sekarang belum ada rencana.
Di Denmark ada kasus resisten terhadap Tamiflu....
Secara umum, di dalam ilmu kedokteran ada Darwinian principle. Semua bakteri atau virus pasti dicari obatnya, dan tentu saja ada resistensi. Tapi resisten di satu tempat tak bisa dikatakan resisten di tempat lain. Contohnya H5N1, ada resistensi Tamiflu di Vietnam dan Eropa, tapi di Indonesia sampai sekarang masih bisa digunakan. Laporan Denmark baru satu kasus, tak bisa dipukul rata.
Indonesia sudah berpengalaman dengan H5N1. Karena itu, pada kasus H1N1, kita tenang-tenang saja?
Yang jelas, kita punya pasien H5N1 cukup banyak, jadi sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Semua petugas kesehatan tinggal di-switch untuk waspada H1N1.
Jadi kita tak perlu khawatir terhadap virus H1N1 ini?
Yang pertama tak usah panik, tapi tetap perlu waspada. Kalau ada yang kena flu, langsung awasi dan cek. Juga kenakan masker supaya tak menulari orang lain.
Dokter Chairil Anwar Nidom pernah menemukan virus flu burung di babi. Dia memperingatkan serangan seperti flu Meksiko ini bisa terjadi. Menurut Anda?
Tak ada satu pun ahli di dunia yang tahu kejadian seperti ini akan terjadi.
Mengapa virus H1N1 ini menyerang Meksiko, bukan negeri lain?
Ilmu kedokteran belum bisa menjawab semua hal, termasuk kenapa SARS muncul di Cina, AIDS di Afrika, dan virus ini di Meksiko.
Apa saja gejala flu Meksiko ini?
Virus influenza ada tiga jenis, yakni tipe A, B, dan C. Virus tipe A yang paling sering menyerang manusia. Dari virus tipe A ada lebih dari 150 subtipe. Flu babi, karena virusnya influenza, gejalanya sama, yaitu batuk, pilek, demam, kemudian bisa nyeri otot, badan lemas, dan pada kasus berat bisa mual, muntah, hingga diare. Pada flu burung, dalam beberapa hari kondisi pasien semakin parah. Penderita flu Meksiko tanpa harus masuk rumah sakit pun bisa sembuh.
Bagaimana seseorang bisa mengetahui dia terkena virus H1N1?
Anjurannya sekarang, bila seseorang mengalami demam, pilek, dan batuk, sebaiknya ke dokter, biar diperiksa lebih lanjut.
Virus H1N1 rata-rata malah menyerang anak muda, kurang dari 25 tahun. Mengapa?
Kami belum tahu. Tapi memang virus ini lebih banyak menyerang anak muda.
Tjandra Yoga Aditama Lahir: Jakarta, 3 September 1955 Pendidikan: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 1980 | Diploma in Tuberculosis Control & Epidemiology, Research Institute of Tuberculosis, Tokyo, Jepang, 1987 | Dokter Spesialis Paru Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 1988 | Diploma in Tropical Medicine & Hygiene, London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris, 1994 Pekerjaan: Dokter Rumah Sakit Umum Daerah Pekanbaru, 1980 | Kepala Puskesmas Kecamatan Bukit Kapur, Kabupaten Bengkalis, Riau, 1982 | Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988 | Kepala Instalasi Laboratorium Mikrobiologi RSUP Persahabatan, 1992 | Direktur Medik dan Keperawatan RS Persahabatan, 2002 | Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo