Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#669900>Sri Woro Budiati Harijono:</font><br />Puncak Banjir Sampai Februari

19 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHALA pelayaran seperti membuka 2009 bersama musim badai dan ombak. Kapal Motor Teratai Prima, yang mengangkut 253 pe­numpang dan karam di perairan Majene, Sulawesi Barat, dua pekan lalu, merupakan korban terbesar. Sampai Kamis pekan lalu, jumlah penum­pang yang ditemukan selamat baru 35 orang. Korban tewas sudah 14. Penumpang lain belum diketahui ­nasibnya.

Informasi cuaca buruk sebetulnya­ sudah disebarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ke sejumlah pemangku kepentingan. Namun berbagai faktor yang berkelindan membuat risiko seakan terabaikan. ”Mereka harus memenuhi kebutuhan hidup,” kata Sri Woro Budiati Harijono.

Sebagai Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, pe­rempuan 57 tahun ini menjadi salah seorang yang paling sibuk pada saat cuaca buruk menghumbalang. Telepon selulernya siaga 24 jam untuk menerima laporan dari anak buah, sekaligus meneruskan kepada atasan yang menanyakan prediksi cuaca.

Kamis pagi pekan lalu, doktor atmosfer lulusan Institut Teknologi Bandung itu menerima Nugroho Dewanto dan Cornila Desyana dari Tempo di kantornya, kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Dia menjawab pertanyaan dengan cepat dan bersemangat.

Sampai kapan gelombang tinggi ini harus diwaspadai?

Pada Oktober-Desember ada desak­an angin dari arah selatan lewat Selat Karimata. Kalau disambut pergolakan seperti Badai Charlotte, walaupun jaraknya 1.800 kilometer dari Kupang, pengaruhnya cukup besar. Karena itulah kemarin di Majene gelombangnya tinggi. Gelombang tinggi pasti diikuti ”teman-teman”-nya: petir, hujan lebat, angin kencang, dan awan sibi yang menghasilkan putaran. Kalau di tengah perjalanan kapal ketemu badai, itu tak bisa dikatakan tiba-tiba. Sebab, badai itu temannya gelombang. Ketika kami bilang tinggi ge­lombangnya 2,5 meter, mereka mengatakan 3 meter. Sebetulnya 3 meter itu apanya­ 2,5 meter? Para nakhoda dan pilot harus bisa membaca kecenderungan. Angkanya tidak bisa persis. Ada juga yang mengatakan, ketika berangkat tidak apa-apa. Ya, karena cuaca setiap detik bisa berubah. Gelombang tinggi diperkirakan berlangsung hingga akhir Maret. Walau berangsur menurun, tetap akan ada desakan air, karena­ memang musimnya.

Hasil analisis seperti ini disampaikan ke mana saja?

Prediksi cuaca dua bulan ke depan kami kirimkan ke koordinator pelaksana, crisis center, wali kota, bupati, dan gubernur. Kemarin, Presiden berpesan agar jelas siapa petugas di da­erah yang menerima informasi itu, agar benar-benar dapat disebarkan. Informasi gelombang, misalnya, diberikan ke Perhubungan Laut. Stasiun kami di daerah juga memberikan laporan ke radio pantai dan pelabuhan.

Jika informasi cuaca buruk sudah disebarkan, mengapa masih sering terjadi kecelakaan kapal?

Nelayan itu hidupnya dari laut. Pada Februari tahun lalu, selama dua pekan mereka tak bisa melaut karena gelombang tinggi. Bagaimana mereka hidup? Jadi, mereka mencoba-coba: siapa tahu untung-untungan enggak bertemu gelombang tinggi. Setelah melaut, ada yang kembali lagi karena bertemu gelombang tinggi, ada juga yang tenggelam. Terkadang ada juga nakhoda yang tidak suka mendapat informasi dari BMKG. Informasi itu dianggap menakut-nakuti. Mau berangkat, kok, tidak enak, tapi mereka harus memenuhi kebutuhan hidup.

Bagaimana dengan curah hujan?

Kita lihat arah angin. Kalau angin dari utara bertemu dengan angin dari selatan, akan terjadi tumbukan awan. Bila ada awan, pasti ada hujan. Tumbukan awan itu nantinya akan membentuk bibit badai baru. Charlotte kan sudah mati, punah? Nah, nanti akan muncul lagi, tumbuh baru. Angin dari bagian atas Indonesia akan bertemu dengan angin dari Australia di Teluk Carpentaria. Manakala angin itu bertemu, akan ada bibit badai baru. Bibit­ itu datangnya pada 14 Januari lalu. Kita tunggu selama tiga hari, baru akan terlihat terjadi badai atau tidak. Kalau tumbuh, akan terjadi hujan deras dan angin kencang. Kalau curah hujannya besar, lalu tutupan lahannya sudah berubah, tentu daya tampungnya tidak memadai lagi. Maka terjadi banjir. Bibit badai itu akan bertahan bila berembus ke timur. Tapi, kalau berjalan ke daratan, akan habis dan tidak terjadi badai.

Apa akibatnya kalau terjadi badai baru?

Akan seperti Charlotte, muncul angin kencang. Sebab, pada mata putarannya yang seperti siklon itu, putaran dapat mencapai 84 kilometer per jam. Akibatnya terjadi gelombang tinggi dan angin kencang. Ditambah gelombang tinggi dari utara, badai akan makin menjadi-jadi.

Gelombangnya seberapa tinggi?

Tak tentu. Yang jelas, berdasarkan pengalaman, di atas dua meter. Badai itu pasti tumbuh di laut. Kalau lari ke darat, pasti mati. Dari tumbuh sampai mati, umurnya sekitar satu minggu.

Bagaimana mengetahui bibit badai baru itu akan muncul di wilayah Indonesia atau Australia?

Kalau tumbuhnya di wilayah laut selatan Indonesia, kita sudah punya alat untuk tropical cyclone warning. Kami sudah membagi daerah pantauan dengan Australia. Kalau bibit badainya di bawah Pulau Jawa, yang memantau Indonesia—dari pemberian nama, penguntitan, sampai hasil pemantauan. Tapi, di luar daerah itu, Australia yang memantau. Kalau kita sudah mampu, wilayah yang dipantau semakin lebar, sesuai dengan persetujuan World Meteorogical Organization.

Pernahkah ada badai yang muncul di wilayah Indonesia?

Dulu pernah muncul Badai Durga di laut selatan Indonesia. Akibatnya, akti­vitas nelayan terganggu, apalagi mere­ka menggunakan kapal kecil.

Seberapa besar kemungkinan curah hujan paling maksimal?

Itu ada analisisnya sendiri. Ada yang normal, yang sama seperti biasanya, 30 tahun, rata-rata memang begitu. Ada yang di atas normal dan di bawah normal.

Sampai berapa lama curah hujan akan tinggi?

Di beberapa daerah, curah hujan akan tinggi dan diperkirakan berlangsung hingga akhir Februari. Hujan sendiri sebetulnya hanya salah satu faktor banjir. Yang lebih mempengaruhi itu yang ada di daratan: sampah, tanah diaspal atau disemen, tidak ada­nya resapan air, dan gorong-gorong yang tidak tertata.

Apakah tahun ini mungkin terjadi banjir berdasarkan siklus tertentu?

Saya kurang setuju dengan periodi­sasi atau siklus banjir. Sebab, kalau tiba-tiba banjir, orang akan kaget atau menyalahkan: ”Lho, katanya lima tahun sekali, atau berapa tahun sekali.” Variabilitas curah hujan sekarang makin berkembang, frekuensinya naik. Akibatnya, banjir yang biasanya 25 tahunan menjadi lima tahunan, atau tahunan, bahkan bulanan. Kuncinya sekarang hanya waspada.

Kapan kira-kira puncak banjir?

Mungkin sekitar Februari. Januari pertengahan sampai Februari, untuk semua daerah. Tapi itu kalau penyebab banjir hanya hujan. Kalau di daratannya parah, ya... banjir bisa lebih besar. Ditambah lagi kiriman air dari Bogor, dan air laut pasang atau rob. Hanya, kalau air pasang, yang banjir cuma daerah pantai.

Mungkinkah terjadi bencana ganda, banjir dan gempa bumi?

Kalau gempa, wilayah Indonesia memang rawan karena ada pertemuan lempeng di laut Indonesia. Tapi sampai saat ini belum ada teknologi untuk memprediksi gempa.

Apa syarat terjadinya tsunami?

Gempa terjadi di laut, kedalaman gempa kurang dari 70 kilometer dengan kekuatan 6,5 skala Richter. Bila terjadi gempa di laut, jarak dari laut ke daratan hanya 250 kilometer. Kecepatan gelombang tsunami itu 800 kilometer per jam. Atinya, dalam 25 menit gelombang itu sampai di daratan.

Jadi, perlu ada kesiagaan khusus bila terjadi gempa yang berpotensi tsunami?

Kalau penduduk tidak siap banget,­ mereka tidak akan selamat. Siap banget itu, maksudnya, ada latihan evakuasi secara teratur, diulang-ulang. Hasilnya, tanpa dipimpin, mereka bisa menentukan sendiri mau lari ke mana. Kalau diatur, nantinya hanya ketawa-ketawa. Tidak perlu ada skenario ambulans dan sejenisnya. Sebab, dalam kejadian sesungguhnya, sopir ambulans juga menyelamatkan diri. Sebaiknya, dalam latihan evakuasi, tiap daerah sudah memetakan akses penyelamatan diri bagi penduduk. Harus juga disiapkan shelter khusus untuk tsunami. Sebab, dalam waktu 25 menit, tidak mungkin orang dapat menyelamatkan diri ke gunung.

Bagaimana dengan rambu tsunami yang hilang, apakah itu mengganggu pemantauan?

Ya, tapi mau bagaimana? Namanya­ juga vandalisme. India itu punya sepu­luh­ rambu tsunami, dan semuanya hilang.­

Ada berapa rambu yang tersisa?

Ada sembilan, beberapa dari Amerika, Jerman, dan satu dari Malaysia, yang dipasang dekat dengan perbatasan mereka.

Dr Ir Sri Woro Budiati Harijono MSc

Tempat dan tanggal lahir: Magelang, Jawa Tengah, 5 Agustus 1951

Pendidikan :

  • Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 1975
  • Master of Engineering, Institut Pertanian Bogor, 1996
  • Doktor, Institut Teknologi Bandung, 2008

    Pekerjaan

  • Kepala Unit Teknis Modifikasi Cuaca,
  • Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 1985-1999
  • Deputi Menteri Negara Riset dan Teknologi untuk Urusan Program Penelitian, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2000-2004
  • Deputi Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika untuk Urusan Sistem Data dan Informasi, 2004-2005
  • Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika, 2005-sekarang
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus