Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=brown>Mohammad Nuh:</font><br />Pemikiran Harus Dilawan dengan Pemikiran

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ujian nasional bagi siswa sekolah masih menuai kontroversi. Dari tahun ke tahun, ada saja berita tentang kecurangan dan pelanggaran dalam penyelenggaraan ujian ini. Guru dan kepala sekolah bahkan diduga ikut terlibat dalam kecurangan itu.

Belum selesai urusan ujian nasional, muncul pula ancaman radikalisasi di kalangan pelajar. Hasil riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian sejak Oktober 2010 sampai Januari 2011 menunjukkan mayoritas pelajar di Jakarta cenderung setuju menempuh kekerasan untuk menyelesaikan persoalan agama dan moral. Di tengah kecemasan terhadap meruyaknya teror bom, radikalisasi jelas menambah rasa waswas.

Pengamat terorisme Sidney Jones curiga paham radikal masuk ke sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler. Jones menuturkan kekhawatirannya itu didasari temuan di Klaten, Jawa Tengah, yakni sekelompok remaja tanggung menjadi bagian dari jaringan teroris. Ditengarai pula, di berbagai daerah, kalangan pelajar dan mahasiswa menjadi target utama rekrutmen Negara Islam Indonesia.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengakui selama ini di sekolah tidak ada ruang dialog agar siswa menerima perbedaan dengan damai. Hal itu membuat pemikiran radikal mudah berbiak. Ditemui di kantornya oleh Nugroho Dewanto, Widiarsi Agustina, Ninin Damayanti, dan Reza Maulana dari Tempo, Nuh menegaskan bahwa radikalisme di sekolah tidak bisa ditangani sporadis, tapi harus secara sistematis dan sistemik.

Untuk meredam radikalisme di kalangan pelajar, menurut Nuh, pemerintah akan memperbaiki kurikulum, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Antara lain dengan menambahkan mata pelajaran pendidikan karakter. Pendekatannya juga diubah, bukan lagi doktriner, melainkan dialog. ”Ini masalah serius,” katanya.

Dari tahun ke tahun, ada saja kasus kecurangan dalam penyelenggaraan ujian akhir nasional. Ada kepala sekolah yang memberikan bocoran soal, bahkan ada guru yang menyediakan joki. Mengapa bisa terjadi seperti itu?

Kalau dilihat dari trennya, kecurangan atau pelanggaran itu relatif turun. Ujian nasional ini pesertanya 2,4 juta siswa. Ini bukan malaikat semua. Karena itu, pengawasan diperketat untuk mengurangi kecurangan. Esensinya adalah kejujuran. Ujian nasional kita jadikan media untuk melatih ikhtiar dan kejujuran, sehingga terbentuk persepsi bahwa melakukan kecurangan dalam ujian itu seperti menggunakan narkoba. Kalau mental ini bisa kita bangun, persoalan kecurangan dalam ujian akan selesai.

Tren menurun itu apa ada datanya?

Setiap tahun kami membuka posko. Kami menerima pengaduan baik lewat SMS, e-mail, telepon, maupun call center. Pada 2011, pengaduan 48, yang minta informasi 67. Pada 2010 ada 504, sementara pada 2011 cuma 88; data pelanggaran dan kecurangan dalam ujian nasional kami punya semua. Selain laporan, kami kirimkan tim pemantau independen.

Bagaimana bila ada kecurangan tapi tidak ada yang melapor?

Itu akan kami kumpulkan. Tapi sementara yang kami ambil jauh menurun. Berita media pun jauh berkurang dibanding tahun sebelumnya.

Putusan Mahkamah Agung menyebutkan perlu ada perbaikan terhadap ujian nasional.

Tentu pemerintah sangat hormat kepada lembaga hukum seperti Mahkamah Agung. Setelah dipelajari, tidak ada kata yang mengatakan stop ujian nasional. Intinya, harus dilakukan perbaikan terus-menerus. Kami lakukan review kenapa setiap tahun selalu ramai. Kami rumuskan apa yang menjadi persoalan. Yang paling utama adalah proses pencapaian selama sekolah dipertimbangkan dalam keputusan akhir ujian nasional. Dari situlah, mulai 2011, kita pertimbangkan prestasi selama sekolah ditambah hasil ujian nasional.

Jadi ujian nasional masih akan digelar pada tahun-tahun mendatang?

Bukan berarti yang menjalankan ujian nasional itu tidak ada dasarnya. Ujian nasional itu sudah ada sejak dulu. Intinya, yang penting bukan memperdebatkan ujian nasional itu perlu atau tidak perlu. Sudah kami pertimbangkan plus-minus masing-masing. Kaidah yang kami ambil adalah minimum risk, minimum problem, dan maximum benefit.

Apa perbaikan yang sudah dilakukan terhadap ujian nasional?

Antara lain seperti yang sudah disepakati dengan Dewan Perwakilan Rakyat: nilai sekolah bobotnya 40 persen, ujian nasional 60 persen. Kami menarik sampel bagaimana sekolah memberikan nilai. Sekolah akreditasi A, akreditasi B, dan akreditasi C itu seperti apa. Ternyata ketiganya hampir sama.

Apa sanksi bagi pihak yang melakukan kecurangan dalam ujian nasional?

Kalau ada pelanggaran, pasti ada berita acara. Nanti itu diproses waktu evaluasi. Nilainya kita coret. Kalau guru terbukti membantu, misalnya di Gorontalo atau Bojonegoro, sanksinya jelas. Kalau dia kepala sekolah, ya jabatan selesai. Yang penting, seperti sepak bola saja, pertandingan berhasil kan bukan berarti tidak ada pelanggaran. Yang repot itu kalau ada pelanggaran tapi dibiarkan. Apa ada pelanggaran? Ya ada. La, ini bukan daerah steril, kok. Tapi tensinya relatif turun, meski ada yang bilang ujian nasional ini teror psikis. Jangankan siswa, saya saja kalau diuji akan stres.

Anda berkukuh karena negara lain juga masih mempraktekkan ujian nasional?

Banyak negara menggelar ujian nasional. Coba bandingkan dengan kebijakan Barack Obama yang terakhir dan kebijakan India. Amerika itu menerapkan cara yang mirip ujian nasional. Ada standar nasional. Tapi negara bagian diberi opsi. Kalau memilih ikut ujian nasional, diberi insentif. Ujian nasional itu tidak hanya ada di Indonesia.

Di mana saja sumber kebocoran soal ujian nasional?

Potensi kebocoran itu bisa dimulai dari percetakan, distribusi dari percetakan ke rayon, di rayon, dari rayon ke subrayon. Itu yang paling rawan. Karena itu, kami bekerja sama, dari dinas, kepolisian, sampai perguruan tinggi. Dari percetakan dikawal sampai ke rayon kabupaten/kota. Dari situ dikawal lagi sampai ke subrayon. Kalau kasus Bojonegoro itu joki. Karena itu, harus terus kita koreksi dan eliminasi.

Apa pilihan bagi siswa yang tidak lulus ujian nasional?

Kita arahkan untuk ikut paket. Paket itu secara administratif-kualitas tetap diakui. Ijazahnya setara.

Bagaimana menjaga agar porsi yang 40 persen dari sekolah itu tidak dikatrol?

Nanti perinciannya itu kelihatan semua. Dalam ijazah itu ada nama, mata pelajaran, nilai sekolah, nilai ujian nasional, dan nilai total. Nanti akan ketahuan. Nanti peta yang kita miliki bukan hanya peta secara nasional, melainkan peta setiap provinsi, kabupaten, sampai sekolah. Bahkan kita bisa tahu hasil perincian setiap mata pelajaran dari tingkat sekolah sampai tingkat nasional. Begitu kita tahu itu, bisa kita lakukan intervensi kebijakan. Pada 2010, ada 100 kabupaten yang saya intervensi dari hasil assessment ujian nasional. Jadi ujian nasional itu merupakan pintu masuk untuk intervensi.

Apa hasil assessment secara umum dari penyelenggaraan ujian nasional?

Secara umum, masalahnya ada pada guru, dari kompetensi guru sampai metodologi guru mengajar. Di beberapa sekolah dengan fasilitas terbatas, kompetensi guru ada yang bagus. Tapi guru tetap jadi kunci. Kualitas yang terendah sekarang ada di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Jawa termasuk bagus.

Bukankah perbaikan kualitas guru itu semestinya jadi prioritas?

Itu bisa dilihat dari anggaran yang dialokasikan. Hampir 70 persen anggaran itu untuk guru. Ada beberapa persoalan. Pertama, kualifikasi S-1 dan D-4. Baru ada separuh guru yang memenuhi syarat kualifikasi. Kedua, sertifikat yang memenuhi syarat baru 27 persen. Masih ada 73 persen yang belum. Soal distribusi guru juga masih bermasalah. Ada daerah yang kelebihan, tapi ada juga yang kekurangan.

Jumlah guru yang dianggap cukup itu termasuk guru bantu atau honorer, padahal kualitas mereka kurang karena tidak berfokus mengajar akibat gaji yang kecil….

Setiap guru itu punya nomor induk. Jumlahnya sekarang 2,7 juta orang. Yang harus kita lakukan adalah sertifikasi. Pendekatannya kita ubah. Dulu sertifikasi hanya portofolio, sekarang kita ubah. Semua yang mau sertifikasi kita tes kompetensinya. Kalau sudah lulus tes, dia punya pasporlah. Kalau mau mendapat sertifikasi, kompetensinya harus lulus. Ini pekerjaan yang luar biasa.

Beberapa penelitian menyebutkan tingginya tingkat radikalisasi di kalangan pelajar. Bagaimana Anda menangani masalah ini?

Ada ekspresi radikal secara fisik. Tapi ekspresi ini tidak mungkin ada kalau tidak ada akarnya. Kalau kita telisik, yang namanya benih atau akar itu adalah pemikiran. Maka itu tidak bisa diselesaikan dengan cara represif. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran. Menghadapi radikalisasi, yang diperkuat adalah pengembangan pemikiran. Kita kan lengah. Setelah reformasi, seakan empat pilar bangsa, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan RI, dianggap tidak penting. Orang lebih menunjukkan keislaman ketimbang keindonesiaan. Mereka ingin Indonesia yang homogen. Padahal realitas sosialnya sejak dulu ya heterogen.

Pemikiran seperti itu tampaknya sudah merasuk dari tingkat sekolah menengah sampai kampus?

Sekarang ini tidak ada ruang untuk berdialog dan berdiskusi bagaimana memahami perbedaan. Kalau tidak ada dialog, ya tahu-tahu bisa meledak.

Itu yang membuat Anda ingin mengubah kurikulum?

Ya, pertama, mereka kita beri ruang. Bukan ruang kosong, melainkan ruang yang harus diisi modal awal tentang empat prinsip itu. Pendekatannya pun diubah, bukan lagi pendekatan doktriner.

Masalahnya, ada siswa yang melakukan proses pencarian agama di luar sekolah. Akhirnya mereka dimanfaatkan pihak lain….

Prinsipnya, kalau kita punya tanah kosong dan tidak digarap, nanti akan digarap oleh pihak lain. Dalam pemikiran anak-anak itu kan selama ini masih ada ruang kosong. Di sekolah kebutuhan ini terpenuhi, tapi tidak semua. Karena itu, kami akan melakukan review kurikulum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Empat pilar bangsa itu harus kita tanamkan kembali. Tapi itu tidak cukup. Di perguruan tinggi, pendekatannya adalah dialog. Harus diketahui perbedaan pandangan dalam masalah Islam dan negara itu sejak dulu. Perdebatan itu tidak selesai kecuali diambil jalan tengah.

Bahkan ada guru yang menanamkan nilai radikalisasi. Bagaimana pengawasan dan sanksi terhadap mereka?

Memang perlu ada sanksi tegas, tapi di dunia pendidikan kita tidak bisa menggunakan pendekatan hukum semata. Di dunia pendidikan itu harus lewat edukasi. Kalau ada guru seperti itu, prinsipnya, pemikiran harus dilawan dengan pemikiran. Salah satu sanksinya, ada masa transisi. Dia tidak boleh bersentuhan langsung dengan siswa.

Kegiatan seperti rohis (rohani Islam) kabarnya sering disusupi ketika mengadakan acara di luar sekolah dan tidak ada guru yang mengawasi?

Harus kita tegaskan, jangan sampai dalam menangani masalah ini menimbulkan persoalan baru, yaitu islamofobia. Kita tarik garis. Yang salah harus dibenarkan. Rohis yang benar ya tetap dipertahankan. Praktisnya begini, organisasi yang sudah teruji kecintaannya terhadap negara seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Washliyah, dan Persis itu harus diberi ruang. Yang bisa berdialog dengan sesama pemikiran agama ya mereka. Sebab, dalil harus dihadapi dengan dalil.

Kampus-kampus kini ditengarai menjadi target rekrutmen Negara Islam Indonesia. Apa antisipasi Anda?

Kita adakan penelitian yang intensif untuk bisa menangkap akar semuanya. Kemudian koordinasi dengan rektor untuk memberikan perhatian kepada mahasiswa. Ini artinya mengisi ruang yang kosong. Jangan sampai perhatian itu diberikan oleh orang lain. Termasuk perlu ada diskusi yang membongkar pemikiran kritis mereka, bukannya doktriner.

Anda terlihat sudah cukup siap menghadapi masalah radikalisme pelajar. Apakah sudah melakukan assessment atau kajian?

Pada 2010, saya pernah menyampaikan ke beberapa orang secara sangat khusus. Saya mengatakan memiliki firasat. Jangan sampai nanti, pada saat ekonomi kita naik, kita malah punya persoalan baru, yaitu persoalan yang terkait dengan ideologi. Dan lawannya adalah saudara kita sendiri. Itu kan tidak mulia. Saya kasih analisisnya. Itu kira-kira pertengahan 2010.

Ada dasar firasat buruk Anda?

Saya mencermati pemberitaan, social media, pemikiran, pertemuan dengan rekan-rekan. Ini masalah serius. Karena itu, tidak bisa ditangani secara sporadis. Ini harus ditangani secara sistematis. Kalau dicermati, fenomena ini muncul saat kita bebas berekspresi dan berkumpul tanpa ada keharusan mengacu pada ideologi negara. Begitu ada demokrasi, siapa pun bisa menumpang atas nama demokrasi. Padahal mestinya di situ ada nilai yang tidak bisa diotak-atik.

Apakah pengajaran budi pekerti perlu dihidupkan lagi?

Kecintaan terhadap empat pilar bangsa (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI) itu saja cukup. Ini kan gagap. Gara-gara Orde Baru, kita jadi tabu pada empat pilar itu. Ini yang harus di-redesign lagi.

Sekolah-sekolah sekarang seperti menerapkan syariat. Tidak terlalu terasa beda antara sekolah umum dan sekolah agama. Apakah situasi ini tidak lebih gampang menjadi tempat persemaian pemikiran radikal?

Kita tidak boleh berhenti pada sesuatu yang sifatnya simbolis. Pelaku pengeboman saja berdasi, tidak berjenggot. Orang berbicara radikal di kafe. Ini ranahnya bukan ranah simbolis, melainkan pemikiran. Kita jangan hanya melihat yang superfisial, tapi harus lebih dalam.

Kapan akan diterapkan kurikulum baru untuk mencegah radikalisasi?

Pada 2011 akan mulai dimasukkan pendidikan karakter.

Prof Dr Ir Mohammad Nuh, DEA

Tempat dan tanggal lahir: Surabaya, 17 Juni 1959
Pendidikan:
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
University of Illinois Urbana Champaign, Amerika Serikat
Karier:
Menteri Pendidikan Nasional, 2009-sekarang
Menteri Komunikasi dan Informatika, 2007-2009
Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2003-2006

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus