Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF0000>Donald K. Emmerson:</font><br />Saya Tidak Melihat Dinasti Politik

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA tergolong Indonesianis awal. Seangkatan dengan Benedict Anderson dan James Siegel, Donald K. Emmerson telah lama mengamati perkembangan politik negeri ini dan kawasan Asia Tenggara. Pertama kali datang ke Indonesia, pada 1967, dia sudah menulis beberapa buku-antara lain Aspek Manusia dalam Penelitian dan Indonesia Beyond Soeharto-yang kerap dirujuk akademisi. "Saya datang pertama kali ketika di tengah Jalan Thamrin masih tumbuh rumput liar," katanya, dengan bahasa Indonesia fasih.

Don-begitu ia biasa dipanggil-menguasai bahasa Indonesia tulis dan lisan. Tiga pekan lalu, tampil dalam konferensi internasional tentang futurologi di Jakarta, Don memamerkan kosakata Indonesia yang kaya-ceramahnya renyah dan penuh humor. Direktur Forum Asia Tenggara Shorenstein Asia-Pacific Research Center, Universitas Stanford, Amerika Serikat, ini beberapa kali mengucapkan kalimat gaul yang encer, "So what gitu, lho," disambut tawa dan tepuk tangan hadirin. Selain fasih berbahasa Indonesia, Don menguasai bahasa Prancis, dan sedikit bahasa Belanda, Jepang, serta Rusia.

Dalam konferensi itu, Don hadir bersama peneliti Amerika Serikat, George Friedman, James Canton, Robert D. Kaplan, dan Roger Beachy. Seminar dengan tema "Masa Depan Dunia 30 Tahun" itu diselenggarakan Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kedutaan Besar Indonesia untuk Amerika Serikat.

Seusai seminar, di sela acara yang padat, akhir Juli lalu itu, Don menerima Purwani Diyah Prabandari dan Yandi M. Rofiyandi dari Tempo. Beberapa kali disinggung soal politik dan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Don agak mengelak. "Jangan memancing," katanya. "Saya orang asing dan baru beberapa hari di Indonesia."

Wawancara terhenti beberapa kali karena Don terbatuk, dan hampir kehabisan suara. Selama di Indonesia, dia secara maraton menjadi pembicara di berbagai seminar-yang cukup menguras energi. "Jangan sampai saya masuk rumah sakit," katanya dengan suara serak.

Bagaimana Anda melihat politik Indonesia sekarang, dibanding masa lalu? Apa yang berubah secara fundamental?

Saya pertama kali mendarat di Indonesia pada Desember 1967. Waktu itu di tengah Jalan Thamrin ada tumbuh rumput liar. Di dekat Hotel Indonesia masih ada becak. Saya masih ingat ada tukang becak menyapa saya di Hotel Indonesia. Lalu lintas tak sepadat sekarang. Itu contoh kecil betapa Indonesia sudah berubah.

Untuk pembangunan infrastruktur itu, kita harus berterima kasih kepada Orde Baru?

Ya. Namun kelahiran Orde Baru tetap menjadi malapetaka bagi Indonesia. Ratusan ribu orang dibunuh, dan banyak yang dipenjarakan. Dari sejumlah fakta itu, saya bisa menarik kesimpulan, Orde Baru secara permanen telah dinodai. Kelahiran Orde Baru akan terus jelek di segala sektor-sampai akhir.

Apa kesalahan utama rezim Orde Baru?

Orde Baru merupakan rezim otoriter. Rezim ini telah mengeruk sumber kekayaan Indonesia, seperti di Kalimantan dan Sumatera. Banyak perusahaan luar negeri diundang datang, lalu pohon dimusnahkan, ikan diambil dari laut. Namun, harus diakui, di bawah kendali pemerintahan Orde Baru, laju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia sangat tinggi. Ada juga stabilitas politik sampai akhirnya orde ini ditumbangkan oleh reformasi 1998.

Di masa Orde Baru, ada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Tapi mengapa rakyat Indonesia tetap menuntut demokrasi?

Efek pembangunan ekonomi selama Orde Baru menciptakan kelompok kelas menengah. Organisasi seperti lembaga swadaya masyarakat berkembang. Memang tidak sebanyak sekarang, tapi benih civil society sudah mulai tumbuh dan semakin berkembang. Ada fakta bahwa sebagian pemuda bisa masuk universitas dan menjadi anggota kelas menengah. Perkembangan dan pembangunan ekonomi Orde Baru menjadi faktor lahirnya kelas itu.

Setelah Orde Baru tumbang, bagaimana Anda melihat jalannya demokrasi di Indonesia?

Sukar dikatakan. Bagaimanapun, tantangan yang dihadapi setiap pemerintahan berbeda. Pemerintahan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati berbeda dengan tantangan sekarang. Kita masih ingat, ada huru-hara Mei 1998 di Jakarta. Setelah itu ada konflik menyangkut agama di Poso, Maluku, dan lain-lain. Ada orang yang mengatakan Indonesia akan musnah.

Anda pernah menulis artikel tentang masa depan Indonesia ketika terjadi kerusuhan di mana-mana. Mengapa yakin Indonesia bisa bertahan?

Ya, saya menulis artikel pada 2000, "Will Indonesia Survive?". Bagi saya, kemusnahan Indonesia tak pernah masuk akal meskipun dalam masa pancaroba itu ada korban. Lihat saja sekarang, kondisi sudah relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun.

Banyak yang mengatakan kultur politik feodal di Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang tak banyak berubah. Anda setuju?

Tidak. Keadaan politik Indonesia sekarang sangat berlainan dengan era Orde Baru. Dulu sangat sentralistis, sekarang tidak. Banyak peraturan baru yang dikeluarkan setelah 1998. Peranan DPR, adanya pemilu dari tingkat provinsi, kota, dan kabupaten. Soal pemekaran daerah memang ada kendalanya sehingga banyak yang mengatakan desentralisasi sudah keterlaluan. Jadi harus ditata kembali.

Sekarang beberapa daerah memberlakukan peraturan berdasarkan agama atau syariah. Ini fenomena apa?

Persentase kota dan kabupaten yang memberlakukan peraturan daerah berdasar syariah itu kecil. Kalau kita melihat isi peraturan daerah itu, kebanyakan bersifat etis. Misalnya, larangan minum alkohol. Orang Barat tidak keberatan tidak minum alkohol. Kalau ada kabupaten atau kota mengharamkan minuman keras dan keputusannya diambil secara demokratis, saya tak keberatan. Di Amerika pernah ada peraturan nasional yang melarang minuman keras, meskipun bukan atas nama agama.

Apakah penerapan peraturan daerah berdasarkan agama itu dapat mengancam multikulturalisme di Indonesia?

Saya tak merasakan itu suatu kemelut. Mungkin saya keliru.

Sampai saat ini belum ada calon presiden yang cukup kuat menyongsong Pemilihan Umum 2014....

Pada pemilihan presiden 2004 dan 2009, nyata dan jelas keunggulan Yudhoyono mengesankan. Tidak ada tanda tanya. Dialah yang menang. Sekarang, menjelang 2014, masih tiga tahun lagi. Semuanya masih bisa berubah. Mungkin nanti juga akan ada beda tipis jumlah suara dalam pemilihan umum. Kalau itu terjadi, mungkin ada proses yang menyangkut hukum dan lain-lain, sehingga bisa menunda roda pemilu. Saya tidak mengharapkan itu terjadi. Namun, kalau pemilu diadakan besok, kemungkinan itu ada.

Bila pemilu dilakukan sekarang, peluang sengketa hukum dalam pemilihan umum menjadi lebih besar?

Untungnya masih ada tiga tahun lagi. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti di Florida. Hasil pemilihan sangat tipis dan menjadi sengketa hukum. Penyelesaiannya sampai di Mahkamah Agung. Jadi, kemungkinan sengketa itu harus diperhatikan, tapi jangan dijadikan sumber pesimisme.

Bila melihat kecenderungan keluarga Presiden Yudhoyono yang masuk dunia politik, apakah mungkin terciptanya dinasti politik di Indonesia?

Saya tidak melihat dinasti politik sekarang. Kalau di Amerika, dulu ada keluarga Kennedy. Dinasti politik itu muncul di mana-mana, bukan hanya di zaman feodal. Dalam negara demokrasi juga ada. Tapi saya tak melihat itu ada di Indonesia. Demokrasi itu berdasarkan uncertainty. Kita tidak tahu siapa yang akan menang dalam Pemilu 2014. Wajar kalau banyak desas-desus, siapa orang yang akan menjadi calon presiden. Ini seperti futurologi. Jadi, saya tidak terkejut kalau ada orang yang dikatakan punya niat menjadi Presiden Indonesia.

Pemilihan umum di Indonesia dinilai tak banyak menghasilkan pemimpin bagus di tingkat legislatif dan eksekutif....

Demokrasi di Indonesia nyata. Sudah berkali-kali berlangsung pemilihan umum, meski tak ada gading yang tak retak. Tapi pemilu itu free and fair. Saya cukup yakin bahwa itu akan semakin bagus ke depan.

Apakah pemilihan umum benar-benar bisa menjadi ukuran menguji demokrasi?

Deng Xiaoping pernah mengatakan, tak peduli kucing putih atau hitam, yang penting berhasil menangkap tikus. Pendirian ini sangat instrumentalis. Artinya, saya tak peduli demokrasi atau otoriter, asalkan dapat menaikkan taraf hidup. Ini merupakan ujian bagi legitimasi demokrasi yang sedang berlaku di negara berkembang seperti Indonesia.

Dalam ukuran demokrasi, kondisi Indonesia tentu masih jauh dibanding Amerika....

Di Amerika, yang telah lama menganut demokrasi, orang sudah tidak instrumentalis. Dalam pernyataan kemerdekaan disebutkan " we hold these truths to be self-evident". Demokrasi sudah dinilai paling baik, seperti agama. Berarti tidak perlu membuktikan, percaya saja. Keberhasilan demokrasi di satu negara bisa dilihat ketika orang semakin kurang instrumentalis. Mereka yakin demokrasi an sich. Demokrasi sebagai sistem paling baik.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia belum sampai ke situ. Inilah tantangan bagi pemerintah. Kalau pemerintahan demi pemerintahan tak bisa menaikkan taraf hidup, orang akan menjadi fatalis. Pemerintah diganti, tapi kondisi ekonomi masih tetap buruk, banyak orang miskin dan pengangguran, sehingga banyak yang menyimpulkan demokrasi bukan lagi sistem yang paling baik. Kami bisa lihat, Singapura mungkin efektif.

Jadi, tantangan terberat pemerintah di Indonesia adalah bagaimana menaikkan taraf hidup masyarakat?

Betul. Supaya membenarkan demokrasi sebagai alat dan instrumen, sehingga demokrasi dianggap sudah berhasil. Sekarang, kalau ekonomi tumbuh enam persen, itu sudah lumayan.

Bagaimana Anda melihat peran politikus yang sepertinya terlalu banyak bicara yang tidak substantif?

Sebetulnya kondisi ini mirip seperti di Amerika. Lihat saja politikus di Washington itu, seperti anak kecil bandel yang suka ngotot sehingga saya, sebagai orang Amerika, hampir merasa malu. Proses politik di Washington itu sangat mengecewakan. Ini suatu minus bagi demokrasi di Amerika.

Donald K. Emmerson
Tempat dan tanggal lahir: Saint Joseph, Missouri, Amerika Serikat, 9 Februari 1946 Pendidikan: PhD Ilmu Politik, Yale University | Master Hubungan Internasional, Princeton University Karier: Editor The Contemporary Southeast Asia, Journal of Democracy, dan The Journal of Current Southeast Asian Affairs | Penasihat National Bureau of Asian Research, Seattle, Washington, Amerika Serikat | Peneliti International Forum for Democratic Studies, Washington, Amerika Serikat | Guru besar di Stanford University, Amerika Serikat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus