Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SRI Mulyani Indrawati adalah bintang yang kembali. Presiden Joko Widodo "memanggil" dia pulang dari jabatannya yang mentereng sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Sri ditunjuk menjadi Menteri Keuangan. Ia menempati pos yang sama dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, periode ketika ia dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik se-Asia versi Emerging Markets Forum pada 2006.
"Kalau Anda diminta pemimpin negara untuk berkontribusi, dan Anda merasa secara personal atau secara profesional dan idealismenya sesuai, Anda harus melakukannya," kata Sri dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis pekan lalu.
Sepekan menempati pos strategis itu, Sri memangkas anggaran belanja negara sebesar Rp 133,8 triliun. Angka itu jauh di atas pemotongan anggaran pada April lalu sebesar Rp 50 triliun. Alokasi belanja tak produktif, seperti perjalanan dinas dan anggaran perbaikan gedung, disikat. "Saya tidak mengerem mesin ekonominya, tapi menjaga mesin APBN-nya bisa berjalan lama," ujarnya.
Wawancara Sri dengan wartawan Tempo Arif Zulkifli, Sapto Yunus, Yandhrie Arvian, Martha Warta Silaban, Akbar Tri Kurniawan, Andi Ibnu, Faiz Nashrillah, dan fotografer M. Iqbal Ichsan berlangsung satu jam di ruang tamu Menteri Keuangan, Gedung Djuanda, Jalan Dr Wahidin Raya, Jakarta Pusat. Ia menjelaskan berbagai hal, dari defisit anggaran hingga pengampunan pajak (tax amnesty).
Kenapa Anda memutuskan pulang ke Indonesia?
Presiden Joko Widodo meminta saya bergabung dengan pemerintah. Saya lihat dari sisi momentum dan waktunya, apakah saya punya nilai tambah. Secara profesional, saya merasa sudah meraih sesuatu dan berkontribusi banyak di Bank Dunia. Saya sudah enam tahun, dan menjabat direktur pelaksana di bawah dua Presiden Bank Dunia yang berbeda. Jadi saya mulai bertanya apa lagi tahap dalam kehidupan saya.
Apa yang Anda lakukan setelah diminta Presiden?
Sewaktu Presiden Joko Widodo meminta, saya berdiskusi dengan suami dan anak-anak. Lalu keluarga mengatakan, kalau nilai tambahnya lebih banyak di Indonesia, kenapa tidak ambil pekerjaan itu. Saya lihat Presiden menaruh perhatian luar biasa terhadap Indonesia. Sama seperti semua institusi negara, dalam politik, ada pemimpin yang harus menerjemahkan pemikirannya ke sesuatu yang bisa dijalankan.
Anda mengajukan syarat kepada Presiden?
Saya ini warga negara Indonesia, berpaspor Indonesia. Mungkin sikapnya begini ya, kalau Anda diminta oleh pemimpin negara untuk berkontribusi sesuatu, dan Anda merasa secara personal atau secara profesional dan idealismenya sesuai, Anda harus melakukannya.
Selama ini, ketika saya menerima pekerjaan, yang selalu saya pikirkan adalah apakah saya ada gunanya di situ. Bukannya saya bilang kamu kasih saya apa, jabatannya apa, pendapatannya berapa, fasilitasnya apa, perlindungannya apa, jaminannya apa. Ibu-bapak saya tidak mendidik kami untuk mulai dari kamu minta apa. Saya rasa pikirannya adalah Anda cocok enggak dengan itu, Anda bisa melakukan sesuatu enggak. Karena kepuasannya bukan pada titel dan fasilitas-fasilitas itu, tapi saya dapat melakukan sesuatu yang menurut saya baik untuk institusi di mana saya bekerja dan saya percaya institusi itu punya tujuan baik juga.
Kabarnya Anda bersedia asalkan tidak diganggu secara politik?
Itu versi Anda saja.
Kami memperoleh informasi seperti itu....
Silakan tanya ke sumbernya. Secara pribadi, saya punya kepuasan melakukan sesuatu untuk republik ini. Saya tidak akan pernah merasa menang, kalah, rugi, untung. Asalkan saya tidak mengkhianati ilmu, martabat, dan integritas saya. It's the same thing. It's the same Sri Mulyani—Ini Sri Mulyani yang sama.
Apa yang diminta Presiden Jokowi dari Anda?
Tugas saya menjalankan ide reformasi. Saya mengerti ada anggapan Kementerian Keuangan sebagai pusat korupsi, tidak ada nilai-nilai kepercayaan, sebagai institusi yang kurang profesional. Jadi Presiden ingin lari 100 kilometer per jam atau bahkan kalau bisa seperti kecepatan suara. Tapi perekonomian itu harus diatur dan dikelola dengan kebijakan-kebijakan yang sejalan. Presiden bisa memahami kenapa tidak bisa secepat itu. Bukan karena alasan-alasan birokratis, melainkan memang perubahan dari sisi institusional, profesional, kadang-kadang butuh waktu. Saya sudah keliling dunia dan melihat pembuat kebijakan di negara maju, miskin, dan berkembang. Menurut saya, kita bisa melakukan lebih baik lagi dan lebih cepat.
Presiden minta berlari cepat, tapi ekonomi melambat dan membuat penerimaan berkurang. Itu alasan utama pemangkasan anggaran?
Persoalannya sekarang adalah menata kembali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Semenjak diminta bergabung ke kabinet, saya meminta izin untuk mempelajari APBN 2016 selama tiga hari bersama teman-teman di Kementerian Keuangan. Saya menemukan kejanggalan-kejanggalan. Sesudah kami lihat, penerimaan 2016 ini bakal turun Rp 219 triliun.
Nah, supaya tidak turun, insting pertama adalah defisitnya diperbesar. Tapi tidak ada ruang untuk bikin utang berdasarkan undang-undang, karena ada maksimum defisit 3 persen. Kalau tidak utang kan belanjanya harus dikurangi. Jadi APBN jangan dipaksakan sebagai instrumen satu-satunya dan akhirnya hancur. Maka disebar dengan instrumen yang lain, seperti moneter, dunia usaha, BUMN, dan pemerintah daerah, supaya tidak bergantung pada satu motor saja. Pemotongan adalah bagian dari usaha membuat seluruh instrumen lebih rata. APBN menjadi instrumen yang sifatnya lebih kredibel dan berkelanjutan. Tidak cuma dipakai satu-dua tahun dan setelah itu jebol.
Benarkah anggaran dipotong karena penerimaan tax amnesty tak tercapai?
Saya akui kalau penerimaan tak akan tercapai sebanyak Rp 219 triliun. Itu bisa sumbernya dari amnesty atau penerimaan yang sebenarnya. Tax amnesty itu tetap saya upayakan karena tax ratio Indonesia masih rendah (sekitar 11 persen). Saya berbicara dengan Menteri Keuangan di seluruh dunia dan para ahli keuangan publik bahwa jika negara Anda punya tax ratio hanya 11 persen, tak akan bisa melakukan apa-apa karena sedikit-sedikit mentok.Â
Jadi perluasan tax base melalui tax amnesty adalah suatu keharusan. Saya tak ingin ambisi ini diturunkan. Saya akan memaksimalkan di situ karena itu tak hanya untuk kredibilitas, untuk ketahanan APBN, tapi juga untuk dua tujuan yang penting, seperti kemiskinan dan kesenjangan. Kalau ngomong masalah kemiskinan dan kesenjangan kan bisa bantuan langsung dan menciptakan pertumbuhan berkualitas. Dua-duanya harus dilakukan dan APBN penting fungsinya untuk dua hal itu. Saya pikir tax amnesty ataupun penerimaan pajak harus dimonitor terus-terusan. Akan kita lihat sampai akhir tahun ini. Kami harus siap melakukan langkah tambahan apabila target tidak tercapai.
Beberapa bulan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan perlunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) supaya defisit bisa di atas 3 persen.
Pertama, beberapa bulan lalu saya belum di sini, jadi tak bisa berkomentar. Tapi, kedua, Undang-Undang Keuangan Negara yang menyebutkan 3 persen itu diciptakan oleh pemerintah dan DPR sehabis krisis ekonomi. Waktu itu, defisit ataupun exposure utang Indonesia tinggi, maka harus melakukan langkah-langkah yang harus diformalkan untuk mengunci komitmen yang disebut kebijakan fiskal. Itu pun dilakukan oleh Eropa, tapi dilanggar. Makanya mereka krisis.
Jadi saya rasa pada tingkat kebijakan fiskal bukan pada defisit mana, tapi narasinya kredibel atau tidak. Kalau Anda tiba-tiba bikin perpu menaikkan defisit 3 persen karena APBN dari awal tidak kredibel, ceritanya akan makin rusak. Kalau APBN ini dikelola secara kredibel, angka-angkanya bisa terus diuji, maka kita bisa melakukan manuver dalam posisi 3 persen itu. Saya rasa peran kami adalah bagaimana mengelola keuangan negara sesuai dengan amanatnya, yaitu yang efektif, efisien, menggunakan seluruh instrumen penerimaan, belanja, defisit, untuk mencapai tujuan perekonomian nasional. Itu saja.
Pemangkasan anggaran akan menghambat pertumbuhan ekonomi?
Pemikiran bahwa APBN mendorong instrumen ekonomi itu sangat betul, teoretis ataupun empiris. Sebab, APBN itu kan bagian agregat demand. Semakin Anda belanja, permintaan naik, ekonominya tumbuh. Tapi mengelola ekonomi itu dari dua sisi. Kalau cuma menggunakan sisi permintaan, dengan belanja lebih banyak, tanpa menyikapi sisi penawarannya, maka akan tumbuh cepat, cuma temporer naik, anjlok lagi, dan overheating.
Jadi seni dalam mengelola ekonomi itu bagaimana mengelola pertumbuhan secara sehat dan berkesinambungan. APBN adalah salah satu instrumen, jadi kalau kita mau melakukan penyerapan, dan dilihat dari sisi APBN 2016, ada kemungkinan realisasi defisitnya akan 2,5 atau 2,6 atau bahkan penerimaan bisa lebih rendah lagi, bisa juga lebih besar. Defisit 3 persen itu ekspansif.
Saya sudah lihat dari kementerian, lembaga, sebagian besar adalah belanja yang tidak akan menyebabkan pertumbuhan cepat dan berkesinambungan, seperti perjalanan dinas dan lelang membangun gedung. Sekarang saya melakukan efisiensi. Itu tak berarti saya mengerem mesin ekonominya, tapi saya menjaga mesin APBN-nya bisa berjalan lama.
Jadi infrastruktur tetap jalan?
Infrastrukturnya tetap jalan. Tak ada satu pun yang saya potong. Saya berbicara kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Pertanian, mereka melakukan prioritas. Katakanlah diberi anggaran 100, eksekusi delapan bulan cuma 40. Masak, empat bulan terakhir akan belanja seluruh 60 sisanya. Jadi, pertanyaannya, benar enggak setiap lembaga bisa menghabiskan segitu banyak sampai Desember. Saya sudah pernah menjadi Menteri Keuangan, jadi tahu berapa kemampuan untuk menghabiskan. Tidak hanya kemampuan belanja, tapi belanja yang baik. Jangan asal belanja.
Soal potensi defisit Rp 219 triliun itu sudah termasuk perhitungan dari tax amnesty?
Sudah. Sekarang kami punya mekanisme bulanan, tapi nanti mendekati Desember frekuensinya bisa dua mingguan atau mingguan. Kita lihat dinamikanya.
Anda memutuskan menghentikan proses pemeriksaan tindak pidana perpajakan untuk menunjang keberhasilan tax amnesty. Itu menambah peminat program?
Cukup besar. Paling tidak dari sisi kasus per kasus. Kanwil-kanwil pajak sudah melaporkan bahwa wajib pajaknya, yang akan diperiksa, sekarang ikut tax amnesty. Saya belum punya angka agregatnya, tapi umpan balik dari kanwil-kanwil pajak cukup mengatakan itu merupakan faktor yang signifikan. Bagi wajib pajak, terutama wajib pajak yang besar atau wajib pajak yang signifikan, itu jelas sekali: "Daripada saya diperiksa, mendingan saya masukin tax amnesty sekarang." Kalau nanti diperiksa menggunakan undang-undang biasa, jauh lebih berat. Ini salah satu implementasi yang cukup pelik karena, terus terang, bagi kami bisa jadi kerugian yang cukup signifikan. Karena instrumen yang paling penting dari Dirjen Pajak itu memeriksa, walaupun rezimnya adalah self declare, self assessment.
Target penerimaan tax amnesty Rp 165 triliun itu akan tercapai?
Itu pertanyaan yang berkali-kali diajukan ke saya.
Benarkah hitung-hitungan Anda hanya Rp 60 triliun yang realistis?
Saya enggak punya hitung-hitungan sendiri. Saya ke sini jadi menteri kan sudah ada undang-undang tax amnesty. Saya sudah punya Undang-Undang APBN yang harus saya kerjakan. Saya rasa pembayar pajak potensial kita, yang selama ini melakukan penghindaran pajak atau tax planning, sangat riil. Kalau tidak, rasio pajak kita tidak bakal serendah ini. Jadi kita punya banyak potensi yang saat ini tak bisa kita kumpulkan. Dengan tax amnesty, orang tanya nanti kalau presidennya bukan Jokowi bagaimana. Kami punya undang-undang, saya perbaiki institusinya, kita bikin kerjanya. Saya ingin membangun kepercayaan. Pemerintah seharusnya bagian dari solusi.
Sekarang pendapatan dari tax amnesty sudah berapa?
Posisi tadi pagi sudah Rp 648 miliar uang tebusan dari deklarasi Rp 31,9 triliun.
Apa kendala utamanya selama ini?
Banyak hal. Peraturan Menteri Keuangan ini soal individu dan perusahaan besar. Harta mereka tersedia kapan saja dan tak likuid. Sebagian besar sudah di dalam perusahaan cangkang. Investasi di segala macam alat. Jadi buat mereka sekarang betul-betul menginventarisasi SPT-nya tahun lalu, berapa yang mau dideklarasikan di SPT-nya nanti. Kemudian dari sisi lembaga, saya bikin landasannya, semoga bisa selesai pekan ini.
Salah satu alasan ketakutan wajib pajak adalah ketika tax amnesty sudah tidak ada, mereka akan bayar pajak berlipat-lipat.
Ya, enggaklah. Kalau sudah deklarasi harta, artinya sudah bersih dari kewajiban pajak. Karena tax amnesty itu membebaskan Anda dari segala macam administrasi ataupun pidananya, tapi bayar 2 persen. Setelah itu, kalau Anda tidak melakukan apa-apa, ya tidak bayar pajak lagi. Ini tidak bersifat repetitif. Ini deklarasi. Pertama untuk mencuci harta Anda, bisa berupa mobil, barang, uang.
Dalam RAPBN 2017 belanja dipangkas, tapi mengapa pertumbuhan ekonomi dinaikkan menjadi 5,3 persen?
Pertama, saya mengatakan defisit di APBN 2017 adalah 2,41 persen. Padahal di APBN-P 2016 sebesar 2,35 persen. Tapi APBN-P 2016 outlook penerimaannya mungkin turun Rp 219 triliun. Jadi, kalau kita nanti menggunakan outlook 2016, kemungkinan defisitnya pasti lebih besar dari 2,35 persen. Kalau tahun ini 2,45 persen, tidak berarti defisitnya lebih gede. Mungkin akan sama atau mungkin akan lebih kecil. Kedua, dari sisi pesan. Kalau defisitnya masih tetap 2,45 persen dan disertai dengan target penerimaan pajaknya yang realistis tapi ambisius.
Di satu sisi, Indonesia harus menaikkan tax ratio dan saya akan terus melakukan ektensifikasi penerimaan pajak. Kalau saya membuat pesan itu saja, dunia usaha mungkin mulai khawatir, ini Menteri Keuangan mau ngapain lagi sesudah ini. Dan, yang ketiga, saya mau berfokus memperbaiki pemerintahan dan reformasi lagi. Orang kadang-kadang tidak suka berurusan dengan aparatnya, bukan soal pajaknya. Jadi kualitas institusi perlu diperbaiki. APBN memiliki tiga fungsi, yaitu mengoleksi pajak, melakukan stimulus ekonomi melalui belanja, dan memperbaiki kepercayaan diri melalui performa institusinya.
Sepertinya Anda cocok jadi presiden....
Tidak, saya kan melihat APBN saja. Saya merasa ini adalah area yang secara profesional, secara pribadi saya memahaminya.
Kalau masyarakat menginginkan Anda menjadi presiden?
Kok, kayak pertanyaan zaman Pak Harto, ya (tertawa).
SRI MULYANI INDRAWATI
Tempat dan tanggal lahir: Tanjung Karang, Lampung, 26 Agustus 1962 | Pendidikan: Sarjana ekonomi di Universitas Indonesia (1981-1986), Master of science of policy economics di University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat (1980-1990), PhD of economics di University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika (1990-1992) | Karier: Dosen Universitas Indonesia (1986-sekarang), Menteri Keuangan (2016-sekarang), Direktur Pelaksana Bank Dunia (2010-2016), Menteri Keuangan (2005-2010), Menteri Koordinator Perekonomian (2008-2009), Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (2004-2005)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo