Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Keluh Mahal Uang Kuliah Tunggal

Sistem uang kuliah tunggal masih jauh dari tujuan awal mewujudkan pendidikan berkeadilan. Sasaran yang meleset malah menjadi beban bagi orang tua mahasiswa.

22 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT pertama kali menerima surat pemberitahuan biaya kuliah yang harus dibayar, Lia langsung teringat orang tuanya. Mahasiswi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, ini tahu betul angka Rp 7,5 juta yang tertera di surat tersebut terlalu berat untuk orang tuanya. Gaji ayahnya mentok di Rp 3 juta, sesuai dengan upah minimum regional. Sedangkan ibunya tak bekerja.

Kekhawatiran Lia terbukti. Orang tuanya terkejut. Padahal, saat diterima sebagai mahasiswa program D-3 Elektronika Industri, ia sudah menyerahkan berbagai syarat, seperti tagihan listrik, foto rumah, slip gaji orang tua, dan pajak kendaraan bermotor, untuk mendapat keringanan. "Tapi ternyata enggak ada pengaruhnya," ucap mahasiswi yang enggan menyebut nama lengkapnya itu, tiga pekan lalu. "Semua mahasiswa di jurusanku uang kuliahnya sama."

Untuk meringankan beban mahasiswa terhadap biaya kuliah, melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013, pemerintah menetapkan besarnya biaya kuliah tunggal (BKT) dan uang kuliah tunggal (UKT) per semester untuk semua perguruan tinggi negeri. Ketetapan itu mulai berlaku pada tahun ajaran 2013-2014.

Biaya kuliah tunggal adalah seluruh biaya operasional tiap mahasiswa per semester pada suatu program studi. Biaya inilah yang digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada mahasiswa dan pemerintah. Lalu, setelah dikurangi biaya yang ditanggung pemerintah, uang kuliah tunggal ditetapkan. Besarannya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa.

Dengan biaya kuliah tunggal dan uang kuliah tunggal itu, perguruan tinggi dilarang menarik uang pangkal dan pungutan lainnya. Salah satu tujuan kebijakan tersebut agar calon mahasiswa kurang mampu juga dapat merasakan duduk di bangku kuliah.

Untuk menentukan besaran uang kuliah tunggal, mahasiswa yang diterima diminta menyetor berbagai data kondisi ekonomi keluarga. Dari data itu, mahasiswa dibagi menjadi lima-delapan kelompok. Kelompok pertama, besaran uang kuliah tunggal yang harus dibayar relatif kecil. Sedangkan kelompok terakhir biayanya tertinggi.

Khusus untuk program D-3 Elektronika Industri, uang kuliah tunggal dipukul rata dan masuk kelompok tertinggi. Alasannya, universitas menjalin kerja sama dengan dinas tenaga kerja setempat sehingga mahasiswa yang lulus langsung menerima dua sertifikat. "Kata para alumnus, cari kerja jadi lebih mudah," ucap Lia.

Sayangnya, masa depan yang cukup cerah itu dibayangi biaya kuliah yang tinggi. Lantaran tak sanggup membayar uang kuliah tunggal, sang ayah meminta Lia mengajukan permohonan banding ke kampus. Hasilnya? Ditolak. Pihak kampus, kata dia, hanya bisa memberikan dispensasi kepada mahasiswa tanpa orang tua atau orang tua yang tak punya pekerjaan.

Muhammad Mashuri, Kepala Badan Pengembangan Strategis ITS, menjelaskan bahwa penerapan UKT maksimal itu lantaran program D-3 tersebut masuk program kemitraan dan mandiri, bukan program reguler. "Itu sudah sesuai dengan aturan, yaitu peraturan Menteri Keuangan dan surat keputusan rektor," kata Mashuri.

Ditolaknya permohonan banding juga pernah menimpa Yudi. Mahasiswa program D-3 Komputer Kontrol di ITS ini malah sampai tiga kali mengajukan permohonan banding. Uang kuliah Rp 7,5 juta dirasa berat. Ayahnya hanyalah pensiunan sersan TNI Angkatan Darat. Ia pun menyerahkan berkas rekening listrik, air, pajak bumi dan bangunan, slip gaji, foto bagian depan rumah, kamar mandi, serta ruang tamu. "Saya memprotes karena masuk UKT tertinggi. Gaji ayah di bawah empat juta," ujarnya.

Yudi kembali mengajukan permohonan banding untuk semester selanjutnya. Namun tetap ditolak. Bedanya kali ini ia diberi petunjuk untuk menemui Wakil Rektor II. "Saya mendapat beasiswa untuk semester itu tapi besar UKT tetap," katanya. Tak patah semangat, untuk ketiga kalinya Yudi mengajukan permohonan banding. Dimediasi Badan Eksekutif Mahasiswa, ia menghadap Wakil Rektor II. Hasilnya, uang kuliah tunggal Yudi turun Rp 1,5 juta menjadi Rp 6 juta. Padahal tuntutannya turun hingga separuh. "Rumit prosesnya. Saya menyerah, enggak banding lagi," ucapnya.

Apa yang dialami Lia dan Yudi serta mahasiswa perguruan tinggi negeri yang juga mengajukan permohonan banding lain tampaknya berbanding terbalik dengan tujuan awal diberlakukannya sistem uang kuliah tunggal. Seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ainun Na'im, uang kuliah tunggal adalah bentuk dari biaya pendidikan berkeadilan.

Sistem uang kuliah tunggal sebenarnya diterapkan untuk menyederhanakan uang kuliah dengan banyak pos. Uang kuliah tunggal membuat mahasiswa tak perlu membayar uang pangkal, uang laboratorium, uang gedung, bahkan uang wisuda. Meski begitu, biaya kuliah disesuaikan dengan fakultas dan jurusan. Untuk jurusan dengan kebutuhan praktek dan laboratorium lebih banyak, biayanya jelas lebih tinggi.

Akreditasi perguruan tinggi juga turut menentukan. "Esensinya begini. Makin tinggi kualitas pendidikan pastinya akan semakin mahal," kata Ainun. Meski begitu, menurut Ainun, aturan ini sangat fleksibel. Jika mahasiswa merasa besaran uang kuliah tunggal yang ditetapkan kampus dirasa terlalu tinggi, siapa saja boleh mengajukan permohonan banding. "Ini terjadi di mana-mana dan selesai, kok," ucap Ainun.

Lantaran tak ada uang yang boleh dikutip dari mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah memberikan biaya operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) setiap tahun. Masalahnya, jumlah BOPTN yang cair fluktuatif lantaran menyesuaikan dengan anggaran negara. Selain itu, jumlah perguruan tinggi negeri yang terus bertambah membuat jumlah bantuan biaya operasional mengecil.

Ketua Majelis Rektor Nasional Herry Suhardiyanto mengatakan dalam empat tahun terakhir perguruan tinggi negeri mengalami penurunan pendapatan. Biaya yang diharapkan tertutup dari BOPTN tak sesuai dengan harapan. Herry menilai karakter BOPTN berbeda dengan dana dari mahasiswa yang fleksibel. "BOPTN cairnya harus mengikuti APBN dan sudah rinci kegunaannya," kata Herry, yang juga menjabat Rektor Institut Pertanian Bogor.

Ia mengusulkan BOPTN ditetapkan sesuai dengan kinerja universitas dua tahun sebelumnya. Maka penetapannya bisa lebih cepat dan tepat waktu. Saat ini, kata dia, majelis rektor tengah mengajukan transparansi formula BOPTN, yang selama ini terdiri atas alokasi dosen, alokasi kinerja, dan alokasi firmasi penugasan pemerintah untuk menerima mahasiswa miskin.

Adapun uang kuliah tunggal, Herry menilai belum cocok untuk diterapkan di Indonesia karena belum ada data pembanding untuk memverifikasi data mahasiswa. Berdasarkan pengalaman selama ini, IPB hanya memverifikasi mahasiswa yang dekat dan terjangkau petugas verifikasi. Ia mengusulkan harus ada sensus ekonomi siswa kelas XII sekolah menengah atas untuk pengumpulan data.

Pada awal penetapan uang kuliah tunggal, beberapa perguruan tinggi sudah menduga akan mengalami masalah cash flow. Namun Ainun yakin hitungan keseluruhan uang kuliah tunggal, biaya kuliah tunggal, dan BOPTN bisa menutup masalah itu. Lagi pula, kata dia, pihak kampus diperkenankan mengajukan perubahan uang kuliah tunggal setiap tahun. Hanya, keputusan tetap berada di Kementerian Pendidikan Tinggi.

Ainun menambahkan, sistem uang kuliah tunggal akan terus dievaluasi dan ditingkatkan kualitasnya. Salah satu masalah yang masih mengganjal adalah belum adanya data lengkap untuk dijadikan patokan verifikasi. Toh, ia mengatakan, ini bukan masalah pokok yang bisa menghalangi penerapannya. "Jangan sampai karena enggak punya data lalu enggak menerapkan UKT. Kan, malah kacau," kata Ainun.

Belum sempurnanya sistem uang kuliah tunggal meninggalkan berbagai masalah. Di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, misalnya, mahasiswa menilai sistem uang kuliah tunggal bukannya meringankan biaya kuliah malah justru sebaliknya. Di beberapa jurusan eksakta UGM, contohnya, biaya di kelompok tertinggi ada yang Rp 5,5 juta, Rp 7,5 juta, dan bahkan ada yang lebih dari Rp 14 juta. "Rumusan UKT harus ditinjau ulang," kata Faiq Hilmi Yoga, Menteri Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa UGM.

Menurut Faiq, BEM banyak menerima laporan adanya mahasiswa yang harus membayar uang kuliah lebih tinggi dari kemampuan ekonomi orang tuanya. Di sisi lain, ada pula orang tua yang tergolong sangat mampu tapi uang kuliah anaknya masuk kelompok lebih rendah.

Di Universitas Padjadjaran, Bandung, kondisinya tak jauh berbeda. Lebih dari 300 mahasiswa terancam tak bisa membayar uang kuliah. Kepala Departemen Advokasi dan Pelayanan Mahasiswa BEM Unpad Laura Irawati mengatakan para mahasiswa itu adalah yang masuk golongan lima atau tertinggi. "Karena faktor perubahan ekonomi keluarga, mereka akhirnya meminta keringanan," ucap Laura.

Walau banyak mahasiswa yang terbebani, Wakil Rektor Unpad Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Sistem Informasi Arief Sjamsulaksan Kartasasmita mengatakan tahun ini Unpad tidak punya rencana menurunkan besaran uang kuliah tunggal. Namun Arief berjanji mahasiswa yang tidak mampu membayar uang kuliah tunggal akan diberi kesempatan menerima beasiswa.

Guru besar Institut Teknologi Bandung, Satryo Brodjonegoro, berpendapat murah atau mahalnya uang kuliah tergantung prioritas masing-masing. Keluarga kaya belum tentu mau menyisihkan banyak uang untuk pendidikan. Sebab, masih banyak orang Indonesia yang menganggap pendidikan sebagai beban. "Padahal, kalau dianggap investasi, ya, pasti mau keluar uang banyak," kata Satryo.

Sedangkan soal penerapan sistem uang kuliah tunggal, Satryo menganggap kurang tepat karena terlalu administratif. Data yang belum komprehensif bisa menjadi celah bagi masyarakat untuk mengakali kebijakan tersebut. Akibatnya, seperti dikatakan Faiq, ada anak orang kaya yang membayar uang kuliah rendah.

Satryo menyarankan semestinya pemerintah menetapkan biaya kuliah yang dibayar sama rata oleh siapa pun yang masuk perguruan tinggi negeri. Jika ada yang tak mampu, boleh mengajukan keringanan. Di posisi inilah negara hadir. "Bukan seperti UKT, yang biayanya berbeda-beda menurut kemampuan ekonomi," ujarnya.

Tri Artining Putri, Anwar Siswadi, Muh Syaifullah, Edwin Fajerial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus