Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah Anda selalu menghadiri perayaan di Istana Negara setiap 17 Agustus?
Tergantung kondisi tubuh. Kalau kuat, biasanya saya hadir. Kehadiran di Istana selalu membawa berbagai perasaan: terharu, gembira, sedih. Banyak kenangan dari masa lalu melintas begitu saja. Saya bahagia karena undangan itu menandakan rasa hormat kepada jasa-jasa Bung Karno.
Kapan terakhir kali Anda berdiam di Istana?
Saya menempati paviliun Istana Bogor. Keluar dari sana, setelah Bapak tidak lagi menjadi presiden. Melihat Istana Bogor mendatangkan terlalu banyak kenangan. Di sana saya pertama kali diperkenalkan sebagai istri Bung Karno. Di sana pula saya melahirkan Bayu dan Taufan. Kehidupan di Istana Bogor akan menjadi bagian dari buku yang kini sedang saya siapkan.
Bagaimana hubungan Anda dengan putra-putri Bung Karno dari Ibu Fatmawati pada masa-masa itu?
Sebagai orang tua, sebisa mungkin kita bersikap bijaksana. Hubungan dengan anak-anak Bu Fat biasa saja. Kita harus tahu bagaimana menempatkan diri. Itu adalah suatu rahasia hidup yang harus dijalani dengan ikhlas.
Bahagiakah Anda menjadi istri Bung Karno?
Saya sangat mencintai suami saya. Saya bahagia, kendati banyak suka-dukanya. Bung Karno, dia laki-laki yang sangat gentle. Ia selalu mengingat dengan detail setiap peristiwa penting dalam hidup kami: ulang tahun saya, ulang tahun perkawinan, hari lahir anak-anak. Di mana pun ia berada, selalu menulis secarik telegram atau kartu pos.
Bagian mana yang terasa paling berat dari perkawinan dengan Bung Karno?
Yang paling berat? Dia sangat mencintai keindahan, dan juga keindahan dalam kecantikan wanita. Cintanya kepada wanita yang cantik adalah beban bagi saya. Tapi saya sudah belajar menerima dia sebagaimana adanya, bukan bagaimana dia seharusnya. Saya sangat sadar bahwa dia presiden yang dimiliki oleh semua orang.
Bagaimana Anda belajar mengatasi beban perasaan karena Bung Karno begitu populer di kalangan wanita?
Itu bukan hal mudah. Saya belajar mengatasi hal itu, sediki demi sedikit. Marah, cemburu, itu biasa karena saya hanyalah manusia normal. Saya sangat mencintai dia, dan saya kawin dengan Bung Karno dengan "biaya" yang sangat mahal.
Seberapa "mahal"?
Woman's sacrifation. Saat saya memasuki pernikahan dengan Bung Karno, sudah ada Ibu Fatmawati. Dialah first lady. Melalui pengalaman, saya belajar, kalau saya protes kepada Bung Karno, dia semakin menjauh. Saya harus belajar untuk menyenangkan suami saya dan menerima dia apa adanya. Saya perlu belajar selama tiga tahun untuk bisa menerima Bung Karno apa adanya.
Bila pengorbanannya seberat itu, mengapa Anda terus bertahan?
Ini takdir Tuhan. Dan Tuhan itu Mahaadil. Kalau kekuatan saya ibaratnya senilai 10 perak, saya juga akan dianugerahi kesenangan senilai 10 perak. Akan selalu ada keseimbangan. Itu falsafah hidup yang saya yakini. Sebagai istri Bung Karno, saya mengalami banyak kesenangan dan kesulitan. Namun, saya tidak bisa menceritakan hal ini kepada semua orang. Saya harus mengambil sikap sebagai seorang ratu. Dan ratu yang sejati harus menyimpan diam-diam semuanya di dalam hati.
Berarti hampir tak pernah ada konflik terbuka selama berumah tangga dengan Bung Karno?
Tentu, kami pernah ribut sebagai suami-istri. Tapi, kalau mau ribut, kita selalu masuk ke dalam kamar. Berat, memang.
Benarkah Bung Karno mudah jatuh cinta?
Benar. Dia sangat mencintai keindahan, dari lukisan yang bagus hingga kecantikan wanita. Mungkin, karena waktu mudanya dikekang, tidak ada waktu untuk berpacaran. Dia hanya belajar dan mengurusi politik. Di masa tuanya, dengan ada uang, pangkat, ya, lepas. Jadi, lebih baik orang itu bebas dan nakal di usia muda. Di masa tua, dia sudah bosan akan semua kesenangan itu.
Apakah Anda tahu setiap kali Bung Karno jatuh cinta?
I just know it. Saya tahu dari matanya. Kelebihan saya ada pada indra keenam. Kalau saya lantas diam, Bapak tahu bahwa saya cemburu kendati saya selalu menyimpan perasaan itu diam-diam. Tapi suatu ketika saya tunjukkan bahwa saya marah.
Dengan cara bagaimana?
Kan setiap kali Bapak datang selalu menyambut dengan ciuman. Tapi tidak kali itu. Waktu Bapak datang lalu mengetuk pintu kamar. Katanya, "Tien, saya datang." Tapi saya diam saja. Selama satu jam saya tidak keluar kamar. Bapak lantas pulang ke Jakarta. "Celaka ini," pikir saya. Seluruh Bogor dan Indonesia tahu bahwa Ibu Hartini cemburu. Waktu itu saya kapok.
Kok, seluruh Bogor bisa tahu?
Kan jadwal Bapak di Bogor adalah datang hari Jumat, kembali (ke Jakarta) hari Senin. Namun, hari itu, Bapak langsung kembali ke Jakarta setelah satu jam. Sejak itu saya kapok. Kalaupun marah atau cemburu, saya diam. Tidak dikatakan, tidak diceritakan ke mana-mana.
Pernahkah Anda menyesal menjadi istri Bung Karno?
Tidak sekali pun. Mengapa harus ada yang disesali? Saya merasa sudah memberi beliau yang terbaik sebagai istri. Selalu menyambutnya, membukakan jasnya. Kalau mau mandi, saya sediakan air mandi, handuk, baju, sikat gigi, kaus dalam, segala-galanya. Saya menyediakan makanan, mengupaskan mangga, mengulekkan sambel, mendengarkan dia bercerita. Saya sadar bahwa saya bukan satu-satunya istri Bung Karno. Apa yang saya miliki belum tentu dimiliki Ibu Fatmawati. Begitu pula sebaliknya.
Di mana Anda pertama kali bertemu Bung Karno?
Waktu itu Bapak mau ke Yogya, meresmikan Masjid Syuhada. Beliau mampir di Salatiga untuk makan siang. Rumah saya di Jalan Kuntang 6, Salatiga. Tapi pertemuan kami berlangsung di rumah wali kota sewaktu berlangsung acara makan siang. Waktu itu, saya bersama ratusan ibu-ibu bekerja di rumah wali kota, menyiapkan makan siang untuk Presiden dan rombongan. Setelah makan siang, semua ibu-ibu berdiri dan Presiden menyalami kami satu per satu. Itu pertama kalinya Bapak melihat saya. Then, the story goes.
Setelah pertemuan itu, apakah Anda langsung memutuskan menerima lamaran Bung Karno?
Itu bukan keputusan yang mudah. Lama saya memikirkan dan menimbang-nimbang. Saya bicara kepada orang tua saya tentang lamaran itu. Mereka menyerahkan keputusan kepada saya. Namun, mereka bilang, "Nduk (panggilan kepada anak perempuan di Jawa Tengah), dimadu itu berat. Apa kamu kuat? Tanyakan hatimu. Apa pun keputusanmu, kami memberi restu."
Lalu, apa jawaban yang Anda berikan kepada Bung Karno?
Ketika lamaran itu disampaikan Bapak, saya bilang saya akan jadi apa, karena sudah ada first lady. Berkali-kali saya menolak lamaran tersebut. "Saya tidak mau, Pak, meski saya hidup senang. Nanti saya dibilang merebut suami orang," begitu jawaban saya. Tapi Bung Karno bilang. "Tien, I can't work without you. Meski kamu istri kedua, kamu tetap istri saya yang sah. Biarpun kamu tidak tinggal di Istana Negara, kamu tetap seorang ratu. Kamu akan menjadi ratu yang tidak bermahkota di Istana Bogor."
Apa benar, saat itu Anda masih terikat dalam perkawinan pertama?
Tidak benar. Bila ada yang mengatakan seperti itu, sama sekali tidak benar. Kemudian saya minta waktu kepada beliau. Tiga bulan setelah itu, saya memutuskan menerima lamarannya.
Bagaimana Anda menghadapi opini publik yang menyebut Anda merebut suami Ibu Fatmawati?
Saya tidak bisa berkomentar soal rebut-merebut. Yang saya tahu, pernikahan itu saya terima dengan penuh pertimbangan dan "biaya" yang sangat mahal. Namun, saya sudah membayar "dosa" saya, juga dengan cara yang sama mahalnya.
Maksud Anda?
Benar, sudah ada Ibu Fatmawati, sang first lady, ketika saya menikah dengan Bung Karno. Tapi, setelah saya, juga ada Dewi. Dan kalau saya dikatakan merebut Bung Karno dari Ibu Fat, bukankah Ibu Fat juga merebut Bung Karno dari Ibu Inggit, dan Ibu Inggit merebutnya dari Ibu Tari Cokroaminoto? Lalu, setelah Dewi, bukankah masih ada lagi Haryati, Yurike, dan belum pacar-pacar yang lain? Jadi, semuanya sama. Yang membedakan, hanya ada satu first lady. Saya tidak merebut Bung Karno. Saya menjalani takdir yang digariskan hidup.
Bagaimana Anda menghadapi suatu situasi tatkala Anda bertemu dengan para istri Bung Karno yang lain?
Baik-baik saja. Hubungan kita biasa, tentu saja tidak terlalu dekat. Bagaimanapun, kita ini kan istri orang besar. Kita tidak bisa cakar-cakaran. Kita harus tahu menempatkan diri. Sewaktu Bung Karno meninggal, misalnya, saya bilang, biar Bu Fat datangdan saya yang pergipada saat peti ditutup untuk memberikan penghormatan terakhir. Tapi Ibu Fat tidak datang.
Bagaimana Anda melihat sosok Bung Karno sebagai suami?
Dia adalah suami dan ayah yang baik. Sangat penuh perhatian pada saat saya sakit. Ketika saya kegugurankami seharusnya memiliki empat anak, bukan hanya duasemua dokter dipanggil. Ia juga penuh perhatian pada Taufan dan Bayu. Suatu ketika, saat Taufan naik kelas, ia menanyakan hadiah apa yang diinginkan Taufan. Saya berbisik pada ayahnya agar Taufan dibelikan mobil. Daripada kasih mobil ke pacar, mendingan ke anaknya. Sorenya ada mobil kecil, sebuah Fiat, untuk Taufan.
Benarkah Anda satu-satunya istri Bung Karno yang berada di sampingnya pada saat terakhir?
Benar. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan bahwa saya diberikan kesempatan itu. Sewaktu Bapak sakit di Wisma Yaso, saya setiap hari mengurus beliau. Perawatnya ada empat tapi Bapak hanya mau ditunggui sama Bu Hartini. Beliau sangat sedih, putus asa. Perlakuan terhadap Bung Karno dulu dan Pak Harto sekarang bagaikan bumi dan langit. Tidak boleh menerima tamu, tidak boleh ke mana-mana. Kesehatan Bapak terus menurun karena dia tidak mau diopname sampai meninggal pada 21 Juni 1970. Sudahlah, Jeng (panggilan kepada wanita yang lebih muda dalam bahasa Jawa halus), kita bicara yang lain saja (matanya memerah, berkaca-kaca).
Bagaimana Anda menghadapi kematian Bung Karno?
Saya berdoa kepada Tuhan agar segala dosanya diampuni. Saya menangis tanpa air mata selama satu tahun. Seperti saat Taufan meninggal, selama tiga tahun saya tidak menangis karena kehabisan air mata.
Tentang peristiwa 65. Apa yang dipercakapkan Bung Karno dengan Anda setelah kejadian itu?
Saya tanya, "Pak, apa Bapak masih jadi presiden?" Bapak tidak menjawab. Ia hanya mengatakan, "Saya hanya teken surat (Surat Perintah 11 Maret). Isinya pengamanan saya serahkan kepada Soeharto." Mestinya, kalau sudah aman, kekuasaan itu dikembalikan. Tapi dia bermain patgulipat. Dia sendiri jadi presiden dan Bapak kalah.
Jadi, itu sesuatu yang tidak disangka Bung Karno?
Tentu tidak. Surat kepada Pak Harto itu kan tidak menyerahkan hak kepresidenan, tapi hanya menyangkut keamanan.
Apa yang terjadi sebelum Bung Karno menandatangani surat itu?
Ketika akan meneken SP 11 Maret, Bapak tanya ke Pak Leimena (Dr. J. Leimena, Wakil Perdana Menteri II Kabinet Dwikora, 1964) "What do you think about this?" Leimena bilang, "No comment". Adapun Subandrio (Wakil Perdana Menteri I Kabinet Dwikora 1964) mencegah Bapak menandatanganinya karena, menurut dia, surat itu suatu jebakan. Bapak bingung. Dia kemudian sembahyang. Setelah itu, dia tanda tangan. Jika tidak, habislah rakyat Indonesia dibantai. Maka, Bapak teken saja surat itu.
Setelah peristiwa 65, ada tuduhan bahwa Bung Karno anggota PKI. Apa komentar Anda?
Saya yakin, Bapak bukan PKI dan tidak pernah jadi anggota PKI. Dia Muhammadiyah dan amat nasionalis. Apa untungnya dia masuk PKI? Kekeliruannya adalah Bapak kurang jeli melihat kelicikan PKI. Selain itu, Bapak juga sangat adil. Dia tidak membedakan manusia berdasarkan partai atau agama. PKI, PNI, komunis, beragama, semuanya sama di hadapan Bapak karena semua orang punya hak yang sama membangun negara.
Kabarnya, salah satu kelemahan Bung Karno yang membuat dia jatuh adalah gampang termakan pujian. Benarkah?
Memang itu salah satu kelemahannya. Dia cepat percaya bila dipuji orang. Tapi bukankah manusia tidak ada yang sempurna? (berkaca-kaca.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo