Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah menjalani pekan-pekan yang sibuk, tak terlihat gurat keletihan di wajah Wakil Ketua Umum Partai Golkar HR Agung Laksono, Jumat pagi, pekan lalu. Padahal, masalah yang dihadapi Ketua DPR ini tidaklah ringan. Dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang berlangsung pekan lalu, Partai Golkar dihadapkan pada urusan gawat: tetap mendukung pemerintahan atau menarik diri.
Pemicunya adalah pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lembaga itu dipimpin bekas Jaksa Agung Marsillam Simandjuntak. Petinggi Golkar mulai dari pusat hingga daerah seperti satu suara mengkritik keras pembentukan tim tersebut. Bahkan sejumlah daerah meminta Golkar mencabut dukungannya ke pemerintahan SBY-JK. Jumlahnya pun terus meningkat. Jika semula hanya sembilan daerah, belakangan 22 daerah meminta Golkar menarik diri dari pemerintahan.
Menghadapi gejolak itu, Agung mesti banyak berdialog dengan elite Golkar daerah untuk meredam ”hawa permusuhan” itu. Di sisi lain dia juga melakukan pertemuan dengan presiden guna mendialogkan dinamika yang terjadi di partainya. Dia juga mesti menongkrongi Rapimnas yang potensial menjadi muara tuntutan di atas.
Hasilnya, tarik-menarik di Partai Kuning itu diakhiri dengan pernyataan politik yang melunak. Salah satunya Golkar menuntut perombakan kabinet. Golkar juga meningkatkan posisinya menjadi mitra pemerintah, yang mengandung makna adanya kesejajaran. Sedang ide penarikan dukungan tak muncul satu huruf pun.
Posisi Agung dalam Partai Golkar memang unik. Selama ini, dia dikenal bukan sebagai orangnya Ketua Umum partai Golkar Jusuf Kalla, juga bukan orangnya bekas Ketua Partai Golkar Akbar Tanjung. Namun, justru karena itulah Agung kelihatan mulus berselancar” di antara pimpinan Golkar. Dia kini juga dikabarkan “dekat” dengan Presiden SBY.
Sehari setelah Rapimnas berakhir, pria kelahiran Semarang itu menerima Tulus Wijanarko, Akmal Nasery Basral, Budi Setyarso, Agung Rulianto, dan fotografer Cheppy A Mukhlis dari Tempo dalam wawancara di kantornya di Gedung Nusantara III DPR.
Salah satu butir pernyataan politik dari Rapimnas yang penting adalah tuntutan Golkar untuk merombak kabinet. Apa latar belakangnya?
Pernyataan politik itu lahir atas dasar aspirasi dan dinamika politik yang berkembang dalam masyarakat. Jadi tidak lahir begitu saja. Ada proses panjang yang dimulai dari Rapim 2005 sampai penutupan Rapim kemarin. Dari 17 butir, salah satu yang penting, adalah keinginan untuk tetap mendukung pemerintah, dengan posisi sebagai equal partner, mitra yang sejajar, two way traffic. Tapi sebenarnya pekerjaan mendukung dan menjadi mitra ini sama beratnya. Dalam kata-kata Ketua Umum (Jusuf Kalla–Red.), ”Berjuang untuk jadi itu berkeringat, mendukung setelah jadi pun jauh berkeringat.”
Apa artinya?
Kami meminta pemerintah lebih terbuka terhadap kritik yang datang dari mitranya, sehingga terawasi dan tidak bergerak terlalu jauh. Komunikasi yang terjadi harus lebih baik agar pemerintah juga tidak bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Kedua, agenda yang diusung adalah untuk memperbaiki kinerja. Tak ada agenda-agenda terselubung seperti menggeser apalagi menggulingkan pemerintah, karena Ketua Umum Partai Golkar adalah wakilnya (Presiden).
Sepertinya Golkar ingin terlibat lebih jauh dalam pemerintahan?
Dalam batas-batas yang proporsional seperti memberi masukan, saya kira itu hal yang sah-sah saja. Mitra itu mengandung makna tidak hanya memberikan dukungan, melainkan juga memiliki akses berkomunikasi secara intens. Misalnya, jika ada satu kebijakan (pemerintah), kita ingin diajak dialog dulu. Dalam Pernyataan Politik, kan, disebutkan ”mitra pemerintah”. Makna di balik itu adalah adanya ekualitas, komunikasi dua arah, dan tidak ada agenda lain.
Tetapi posisi semacam itu baru keinginan satu pihak, yakni Partai Golkar. Bagaimana sikap Presiden?
Oh, belum ada. Tapi sepanjang nawaitu-nya baik dan untuk kepentingan bangsa dalam melahirkan iklim politik yang kondusif, saya yakin Presiden tak akan keberatan. Beliau akan menerima.
Dengan menyatakan diri sebagai mitra pemerintah, tampaknya Golkar ingin meninggikan posisinya di atas partai politik lain.
Saya tak mengatakan seperti itu. Kami sadar yang menjadi pendukung pemerintah tidak hanya Partai Golkar. Ada banyak partai-partai lain yang juga mendukung.
Mengapa fungsi sebagai mitra ini perlu dipertegas?
Sebelumnya, kan, ada suara-suara keras dari daerah (untuk melepaskan dukungan terhadap pemerintah). Tadinya hanya sembilan daerah, lalu 16, dan menjelang Rapimnas menjadi 22 daerah. Lalu muncul kecurigaan, jangan-jangan ini di-create DPP. Padahal Partai Golkar punya pandangan dwi tunggal SBY-JK harus menyelesaikan tugasnya sampai selesai. Ini harus dijaga. Saya berharap ke depan tak muncul lagi suara-suara keras atau miring, meski Golkar tetap harus kritis kepada pemerintah.
Bagaimana implementasi hal itu dalam kenyataan politik sehari-hari?
Ya, kami tetap harus menampung suara-suara itu, yakni dalam rangka mendukung pemerintah dan tetap mengusahakan suasana dialogis.
Suara keras di daerah itu bisa diartikan soliditas interen partai sejatinya rapuh?
Soliditas partai sudah teruji. Partai Golkar tidak seperti kapal pecah. Ancmaman perpecahan sudah lama lewat, yakni pada Munas 1998 di Hotel Indonesia yang melahirkan beberapa partai baru. Yang ada sekarang hanya soal kualitas yang harus ditingkatkan. Namun itu bukan hanya tugas ketua umum, tapi juga ketua lain. Anggota DPP itu berjumlah 100 orang, baik yang memiliki lingkup tugas teritorial maupun fungsional. Tetapi memang, kualitas komunikasi pusat-daerah masih perlu ditingkatkan.
Anda banyak turun ke daerah. Peran merangkul daerah itu tampaknya Anda pegang?
Berdasarkan pembagian kerja yang ada di partai, para ketua memiliki tugas teritorial maupun fungsional. Sedangkan saya sebagai wakil ketua umum lebih bersifat cross sectoral.
Kurangnya komunikasi itu karena ketuanya terlalu sibuk?
Ya, mungkin. Kemarin itu sempat muncul istilah reshuffle DPP dan penambahan ketua pelaksana harian. Tapi istilah-istilah ini tidak dikenal dalam AD/ART, meski esensinya adalah peningkatan kinerja. Jadi kita tangkap saja esensinya tanpa harus menubruk aturan main. Reshuffle yang dibutuhkan itu adalah reshuffle kabinet, yang juga intinya para peningkatan kinerja. Ini yang menjadi rekomendasi kami sebagai mitra pemerintah.
Berapa banyak menteri yang mesti di-reshuffle?
Golkar tidak pernah mengatakan harus mengganti 11 menteri, atau 14 menteri. Golkar hanya menegaskan bahwa untuk meningkatkan kinerja pemerintah yang belum memenuhi harapan masyarakat, perlu dilakukan evaluasi terus menerus dan mengambil tindakan tegas mengganti menteri dan pejabat yang tidak mampu menjalankan visi dan misi pemerintahan SBY-JK. Tidak pernah ada soal angka.
Barangkali angka itu dimasukan lewat ’pintu lain”?
Ha, ha, ha ....
Bapak sudah mendahului menemui SBY untuk mendesakkan nama-nama itu?
Ah, ndak. Itu hanya omong-omong saja. Beliau, kan, juga mengundang sejumlah orang untuk bertemu, termasuk saya sebagai Ketua DPR selain Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Ada Muhaimin Iskandar juga. Ada ketua-ketua partai lain. Hanya omong-omong saja.
Dalam omong-omong itu menyangkut UKP3R juga?
(Tertawa sebentar) Kalau UKP3R itu tidak dibicarakan secara khusus, apalagi setelah Presiden menyatakan itu hanya sebagai fungsi staf. Kalau hanya staf, lurah saja punya staf, masak presiden tidak boleh?
Tapi sebelumnya Golkar terkesan mati-matian menolak UKP3R?
Ada figur dalam unit itu yang secara kesejarahan meninggalkan perasaan trauma pada Partai Golkar (Agung menyebut nama figur tersebut, namun off the recordred). Tapi saya mengimbau kepada kader Golkar untuk memberi kesempatan dan waktu kepada pemerintah untuk menjalankan konsep ini. Kita berharap berhasil.
Bagaimana menggambarkan hubungan Anda dengan Presiden?
Hubungan itu berlangsung dalam kapasitas saya sebagai Ketua DPR. Posisi ini menuntut adanya komunikasi intens dengan eksekutif. Dan DPR itu bukan monster politik bagi pemerintah, tapi mitra. Kedekatan itu berguna, misalnya, untuk mempercepat keluarnya draft sebuah RUU. Ini yang dibutuhkan untuk terobosan birokrasi. Tapi dalam fungsi sebagai wakil ketua umum tentu saya berkonsultasi dengan Ketua Umum Partai Golkar.
Kedekatan itu menimbulkan dugaan, Anda didekati Presiden untuk mengimbangi sepak terjang Jusuf Kalla.
(Terdiam sejenak) Saya tidak melihatnya seperti itu. Kalau mau dipanjangkan, ya dipanjangkan sendirilah… (tertawa kecil).
Secara personal, Anda merasa lebih dekat dengan SBY atau JK?
Dua-duanya saya kenal baik. Jusuf Kalla saya kenal cukup lama sejak di Kadin. Saya pengurus Kadin pusat dan beliau Kadin daerah. Kami juga pernah sama-sama menjadi anggota MPR. Hubungan kami tak pernah terputus. Setiap ada soal, saya bicarakan dengan beliau. Tentu tidak harus dengan foto-foto. Sementara dengan SBY, karena beliau Presiden tentu kesibukannya lebih tinggi. Jadi kalau patokannya frekuensi pertemuan, saya lebih sering ketemu dengan Jusuf Kalla. Apalagi beliau ketua umum partai dan saya wakilnya. Tapi saya kira tak bisa dibanding-bandingkan seperti itu.
Bagaimana persiapan Golkar menuju 2009, apakah konvensi tetap diadakan?
Memang muncul wacana konvensi tidak diperlukan lagi. Tetapi jika dalam Pilkada diberlakukan sistem konvensi, mengapa di Pusat tidak? Apalagi di perpolitikan nasional Partai Golkar menjadi pelopor konvensi. Tetapi memang sistemnya perlu disempurnakan. Ini akan dibahas lagi setahun menjelang 2009.
Ada komentar, perlu tidaknya konvensi tergantung pada Agung Laksono…
Ah, tidak seperti itu juga.
Anda lebih banyak ke daerah dibandingkan Jusuf Kalla, tentu nama Anda lebih mengakar...
Maksud pertanyaan ini apa? Ha-ha-ha… Begini, sebagai wakil ketua umum saya tidak bisa menduplikasi tugas-tugas ketua. Tugas utama saya adalah mendinamisasi partai. Itu sebabnya saya sering ke daerah. Kalau soal sektoral sudah diurusi para ketua yang lain. Jadi fungsi saya lebih memfasilitasi. Itu pun sudah pasti saya tak bisa ke semua kabupaten. Jadi setiap ada kesempatan akan saya lakukan, entah itu dalam bentuk safari ramadan, safari syawalan, atau tahun baru.
Berarti setiap kesempatan ke daerah menjadi?
Tetapi tidak saya lakukan dalam rangka itu. Ha-ha-ha. Semata-mata ini hanya melaksanakan amanat (Munas) Bali mewakili Ketua Umum.
Dari hasil kunjungan ke daerah, apa problem utama mereka?
Pilkada. Ini problem kami karena seringkali mendistorsi hasil kelembagaan dan organisasi. Ada Pilkada yang begitu selesai langsung memicu ribut antarpengurus. Dan Golkar memang belum memiliki format yang tegas untuk mengatasi kasus semacam ini.
Anda melihat ada upaya sistemik birokrasi untuk melemahkan Partai Golkar?
Mungkin by accident saja, bukan by design. Tidak sejahat itulah birokrasi saya kira.
Tetapi Golkar pasti lebih ahli-lah kalau mau dikerjain?
Ha-ha-ha…
Ada satu pertanyaan yang beredar sejak lama tentang hubungan Anda dengan Akbar Tanjung. Ada kesan setelah Anda menjadi Ketua DPR dengan ’bantuan” Akbar Tanjung, Anda malah meninggalkan dia…
Sebenarnya untuk ini butuh jawaban panjang. Yang jelas, untuk menjadi Ketua DPR saya juga berjuang. Di DPP Golkar, bukan hanya saya yang ingin menjadi Ketua DPR, total ada lima orang calon. Akhirnya dilakukan pemilihan terbuka di Hotel Hilton. Dari 75 suara, saya mendapat 49 suara, sisanya dibagi empat calon lain. Seingat saya waktu itu ada Mahadi Sinambela, Slamet Effendy Yusuf, dan Budi Harsono. Jadi ini bukan atas penunjukan pimpinan. Banyak orang salah melihat, seakan-akan keinginan Pak Akbar agar saya maju sebagai Ketua DPR. Bukan! Itu keputusan DPP.
H.R. Agung Laksono
Tempat/ tanggal lahir:
- Semarang, 23 Maret 1949
Pendidikan:
- Sarjana Kedokteran Umum UKI (1972)
Organisasi:
- Ketua Umum PPK Kosgoro 1957 (2001-sekarang)
- Ketua DPP Partai Golkar (1993-sekarang)
- Sekretaris Jenderal PPK Kosgoro (1990-1995)
- Ketua Umum DPP AMPI (1984-1989)
- Ketua Umum BPP HIPMI (1983-1986)
Karier:
- Ketua DPR RI (2004-sekarang)
- Anggota MPR RI Fraksi Utusan Daerah (1999-2004)
- Menpora Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999)
- Menpora Kabinet Pembangunan VII (1998)
- Direktur Utama PT Cakrawala Andalas Televisi/AN Teve (1993-1998)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo