Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Semoga Semester Depan Bisa Tatap Muka Penuh

Ternyata bukan semata turunnya angka infeksi Covid-19 yang membuat pemerintah menerapkan pembelajaran tatap muka. Ada yang lebih gawat.

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Jumeri di Semarang, Jawa Tengah, 28 Oktober 2021/TEMPO/ Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Pendidikan mendorong pembelajaran tatap muka terbatas meski penularan Covid-19 di sekolah tinggi. masih bermunculan.

  • Pembelajaran jarak jauh selama pandemi menurunkan capaian belajar siswa.

  • Kementerian Pendidikan menerjunkan ribuan mahasiswa untuk membantu memulihkan pembelajaran siswa.

MUNCULNYA kasus positif Covid-19 di berbagai sekolah tidak membuat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menghentikan pembelajaran tatap muka. Kementerian tetap menerapkannya secara terbatas yang sudah berlangsung di sedikitnya 72 persen sekolah sejak Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Jumeri mengatakan sekolah secara tatap muka dengan guru adalah pembelajaran yang ideal. "Peran guru belum tergantikan," kata Jumeri, 58 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 28 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 22 September lalu, situs Kementerian Pendidikan mencantumkan data 1.303 sekolah yang menjadi kluster penularan Covid-19. Jumlah itu adalah 2,77 persen dari 47.005 sekolah yang mengisi survei. Sebanyak 7.287 guru dan 15.456 siswa tercatat terjangkit virus corona.

Sekolah-sekolah di Pulau Jawa mendominasi temuan tersebut dengan kluster penularan Covid-19 terbanyak dijumpai pada jenjang sekolah dasar, yakni sebanyak 583 sekolah. "Ketika kami mengeluarkan data 1.300-an kluster itu kan bikin geger," tutur Jumeri seraya menegaskan bahwa angka tersebut adalah hasil rekapitulasi sejak awal masa pandemi.

Pemerintah terus mendorong penerapan sekolah tatap muka karena makin banyak daerah mencapai level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) 1-3. Jumeri mengatakan pembelajaran jarak jauh selama masa pandemi mempengaruhi capaian belajar siswa, yang menurun.

Pembelajaran jarak jauh tidak ideal karena hanya sekitar 30 persen siswa yang dapat menjangkau teknologi. Selebihnya, terutama siswa di perdesaan, menghadapi kendala berupa keterbatasan kepemilikan gawai dan akses Internet.

Di sela lawatannya ke Semarang, Jumeri berbincang dengan wartawan Tempo, Sapto Yunus dan Mahardika Satria Hadi, melalui konferensi video. Pria yang mengawali karier sebagai guru dan kepala sekolah ini menceritakan antara lain rencana pemerintah menggelar pembelajaran tatap muka penuh, rendahnya skor literasi dan numerik siswa, serta kesiapan mengantisipasi kluster Covid-19 di sekolah.

Bagaimana evaluasi pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas?

Kami melihat pembelajaran jarak jauh atau belajar dari rumah itu sekoci. Ibaratnya kapal sedang oleng, kami turunkan sekoci, penumpang dinaikkan ke sekoci itu. Tentu sangat tidak nyaman berada di sekoci dan sangat tidak ideal. Memang ada platform daring yang bisa dipakai. Tapi anak-anak kita yang betul-betul bisa menjalani pembelajaran secara daring kan sangat terbatas.

Berapa banyak sekolah yang dapat menggelar PTM terbatas?

Sekarang sudah makin banyak. Sudah hampir 70 persen sekolah yang menggelar PTM.

(Berdasarkan data Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana yang dikoordinasi oleh Kementerian Pendidikan, per 31 Oktober 2021, 72 persen sekolah di daerah dengan level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat 3, 2, dan 1 telah menyelenggarakan pembelajaran tatap muka terbatas. Persentase PTM terbatas dan pembelajaran jarak jauh dihitung dari pelaporan 288.122 sekolah atau 53,5 persen dari total sekolah serta laporan dari dinas pendidikan provinsi, kabupaten, dan kota.)

Bagaimana Kementerian Pendidikan menindaklanjuti temuan lebih dari 1.300 kasus kluster Covid-19 di sekolah?

Itu akumulasi dari tahun lalu. Dalam setiap rapat koordinasi penanganan Covid-19, daerah-daerah yang terdapat kluster selalu dilaporkan. Ada kluster dangdutan, kluster pengantin, kluster sekolah. Lalu Pak Luhut (Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi merangkap koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan) biasanya menegur daerah-daerah itu. Kemendikbud juga sering ditegur, seperti ketika kami mengeluarkan data 1.300-an kluster itu. Kan, bikin geger. Kemendikbud dimaki-maki dalam rapat itu. Jadi ini proses memberi warning kepada daerah karena diumumkan.

Mengapa menggelar PTM terbatas ketika anak-anak berusia 12 tahun ke bawah belum divaksin?

Anak-anak berusia 12 tahun ke bawah paling banyak mengalami kesulitan belajar. Mereka terus dibiarkan di rumah, sedangkan orang tua kesulitan, sarana dan prasarana belajarnya kurang. Anak-anak juga toh bermain ke sana-kemari. Di sekolah sebenarnya relatif lebih terkontrol selama anak-anak diberi penyuluhan dan diminta terus memakai masker. Tentu anak-anak tidak bisa terus dikunci di rumah. Pasti keluyuran karena memang mereka selalu ingin ke luar rumah. Meski belum divaksin, anak-anak berusia di bawah 12 tahun secara umum masih relatif aman.

Bukankah sebagian besar kasus Covid-19 selama PTM terbatas justru terjadi di sekolah dasar?

Karena jumlah murid yang paling banyak adalah sekolah dasar. Ada 25 juta murid. Sekolah menengah pertama hanya 15 juta. Sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan sekitar 11 juta siswa. Kasus di sekolah dasar memang banyak, tapi tidak masif. Secara umum anak-anak yang terjangkit kondisinya sehat, tidak ada yang bergejala.

Apa kendala pelaksanaan pembelajaran jarak jauh?

Jumlah satuan pendidikan yang bisa menjalaninya secara ideal baru 30-an persen. Ironisnya, saat kami berkeliling Jakarta, masih ada siswa yang sambat (mengeluh) tentang akses Internet. Bagaimana di daerah? Belum lagi keterbatasan kepemilikan gawai, kemampuan guru yang belum merata. Di salah satu SMP di Jakarta, siswa justru membantu gurunya membuka akses Internet. Itu kondisi kita. Apalagi guru-guru yang sudah sepuh, mungkin penguasaan teknologi informasinya masih kurang.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Jumeri meninjau pertemuan tatap muka terbatas di SMP Negeri 2 Banda Aceh, 6 Oktober 2021/Dok: Ditjen PAUD, Dikdas dan Dikmen/Jilan

Di luar persoalan akses teknologi, bagaimana peran orang tua?

Misalnya orang tua harus bekerja. Sekarang berapa persen orang tua yang punya kemampuan membimbing anaknya di rumah? Apalagi PAUD (pendidikan anak usia dini), muridnya tidak mungkin belajar sendiri. Orang tua, kakak, embahnya harus menjadi teman bermain. Sebab, bagi anak-anak PAUD, bermain di sekolah itulah belajar. 

Apa dampak dari menumpuknya masalah tersebut selama masa pandemi?

Kami menemukan beberapa penurunan capaian belajar. Hasil ujian tulis berbasis komputer pada 2020 dibanding pada 2019 rata-rata menurun.

Apakah tren penurunan capaian belajar ini terjadi merata di semua daerah?

Penurunan terbesar ada di perdesaan. Yang di kota relatif tidak turun, mungkin karena mampu menggelar pembelajaran daring. Bisa dibayangkan, ada mata pelajaran yang diajarkan langsung oleh guru saja anak itu belum tentu mudeng (paham). Apalagi jarak jauh yang komunikasinya terbatas. Saya sebagai sarjana pendidikan saja menghadapi anak saya yang SMA sudah enggak mampu. Saya guru. Apalagi yang bukan guru. Saya senang ketika semua pihak ada dalam satu frekuensi bahwa pembelajaran tatap muka penting untuk segera dibuka. Tapi tetap harus aman.

Sejak kapan Kementerian Pendidikan mendorong penyelenggaraan PTM terbatas?

Sebenarnya kami mendorong PTM sejak Januari 2021. Saya tidak menutup mata banyak sekolah yang nyolong-nyolong (diam-diam) tetap menggelar PTM, terutama sekolah swasta. Saya sadar kehidupan sekolah swasta bergantung pada iuran anak-anak. Kalau muridnya di rumah, mungkin tidak membayar iuran. Lalu bagaimana honorarium gurunya, operasi sekolahnya? Banyak sekolah yang kolaps. Permasalahannya sangat kompleks. Tidak sesederhana yang kita bayangkan. Ketika sekolah tutup, dampaknya multidimensional.

Seberapa penting faktor kesehatan menjadi pertimbangan dalam keputusan menggelar PTM terbatas?

Kesehatan anak didik, guru, dan orang tua tetap nomor satu. Tapi kondisi psikologis anak dan capaian belajar juga harus dipertimbangkan untuk dipenuhi. Karena itu, dalam surat keputusan bersama empat menteri, yaitu Menteri Pendidikan, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan, ada lampiran prosedur operasi standar penyelenggaraan pembelajaran tatap muka yang aman di satuan-satuan pendidikan. Kami juga mengeluarkan panduan khusus untuk PTM di PAUD, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah supaya sekolah-sekolah bisa menyelenggarakan pembelajaran dengan aman, walaupun kami tidak menutup mata bahwa masih ada penularan-penularan di sekolah.

Bagaimana mekanismenya jika dijumpai kluster baru Covid-19 seperti di Solo beberapa waktu lalu?

Kami punya kesepakatan dengan Menteri Kesehatan yang dieksekusi oleh dinas-dinas kesehatan di daerah untuk melakukan surveilans. Ada pengetesan acak bulanan terhadap sekolah-sekolah yang sudah menggelar PTM. Apabila di sekolah itu terjadi penularan, ada anak atau guru yang terjangkit, mereka diisolasi mandiri jika belum ada kontak erat dengan guru dan siswa lain. Lalu kami tracing juga keluarganya, dites, kemudian diwawancarai oleh petugas satuan tugas Covid-19. Kalau memang hanya satu anak yang terkena dan tidak ada kontak erat, ruangan kelas didisinfeksi dan sekolah jalan terus. Tapi, jika ada beberapa penularan dan terjadi kontak erat dengan teman-teman atau gurunya, sekolah itu ditutup.

Siapa yang bertanggung jawab memastikan prosedur operasi standar PTM dijalankan secara benar?

Dinas pendidikan setempat, karena mempunyai aparat pengawas. Kami juga berkolaborasi dengan kepolisian yang mengadakan patroli untuk memeriksa sekolah-sekolah. Kami terbantu oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI, dinas kesehatan, pusat kesehatan masyarakat setempat yang ikut mengawasi pelaksanaan PTM. Mereka memberikan penyuluhan, melakukan pemeriksaan kesehatan, dan bersama dinas pendidikan mengontrol kesiapan sekolah.

Apa sanksinya jika dinas pendidikan tidak melakukan pengawasan dengan benar?

Kami tidak bisa memberi sanksi kepada pemerintah daerah karena itu di luar kewenangan kami. Sekolah di bawah pemerintah daerah. Itu tugas Kementerian Dalam Negeri. Kami berkoordinasi. Ada edaran Menteri Dalam Negeri kepada pemerintah daerah untuk bisa membantu pembelajaran tatap muka dan mengendalikan agar tetap aman.

Dengan masih munculnya kluster Covid-19 di sekolah, apakah Kementerian Pendidikan akan tetap melanjutkan kebijakan PTM?

Iya. Bahkan kami sedang merancang pembelajaran tatap muka penuh untuk daerah berstatus level 1, daerah yang betul-betul sudah masuk zona hijau. Ini sedang dikaji secara bertahap. Kami pasti akan mematuhi saran-saran dari epidemiolog dan satgas Covid-19 nasional karena kami ada di dalamnya.

Kapan pembelajaran tatap muka penuh mulai dijalankan?

Sembari membaca peta Covid-19, kami berharap semester depan sudah bisa tatap muka penuh.

Ihwal capaian belajar yang menurun, apa ukurannya selain hasil ujian tulis berbasis komputer?

Kami sedang mengadakan asesmen nasional untuk mengukur tingkat literasi dan numerasi anak-anak. Itu yang kami pakai. Kemudian ada juga survei-survei yang kami buat untuk mengukur perubahan-perubahan yang terjadi. Misalnya sekarang banyak laporan anak kelas II sekolah dasar belum bisa membaca. Itu artinya memang selama di rumah belum tentu orang tuanya bisa ngajari membaca. Atau mungkin dibiarkan orang tuanya. Kemudian ada survei yang dilakukan lembaga internasional RICE (Research Issues in Contemporary Education) yang menyebutkan di beberapa kota yang peran orang tuanya tinggi selama masa pembelajaran jarak jauh tidak terjadi penurunan capaian belajar siswa.

Contohnya di daerah mana?

Di Bukittinggi (Sumatera Barat) dan Yogyakarta justru capaian belajar selama masa pandemi sedikit naik. Setelah kami verifikasi ke lapangan, ternyata di kedua kota itu tingkat perhatian orang tuanya tinggi. Orang tua punya tradisi mendampingi putra-putrinya belajar di rumah. Kami baru mengukur untuk sekolah dasar. Kami masih menunggu hasil asesmen nasional secara menyeluruh di Indonesia.


JUMERI

• Tempat dan tanggal lahir: Boyolali, Jawa Tengah, 10 Mei 1963 • Pendidikan: Diploma III Pendidikan Guru Kejuruan Pertanian Institut Pertanian Bogor (1984); S-1 Teknologi Pangan dan Gizi Universitas Widya Mataram, Yogyakarta (1999); S-2 Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah • Karier: Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Bawen, Kabupaten Semarang (2017-2019); Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah (2019-2020); Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (sejak Juli 2020) • Penghargaan: Kepala Sekolah Terbaik Tingkat Nasional (2013)


Apa solusi untuk mengatasi turunnya capaian belajar anak di banyak daerah lain?

Kami akan melakukan intervensi atas dasar situasi riil yang terjadi. Kami harus punya data yang sangat valid karena kami harus memikirkan nasib 50 juta lebih murid. Setelah tahu baseline dari hasil asesmen, kami akan melakukan intervensi di daerah-daerah yang sangat rendah capaian belajarnya. Kami akan mengambil langkah pemulihan pembelajaran.

Bagaimana bentuk intervensinya?

Kami mengirimkan "kopassus" ke daerah-daerah yang capaian belajarnya rendah. Kami mempunyai program Merdeka Belajar untuk membantu satuan-satuan pendidikan memulihkan pembelajaran.

Siapa yang diterjunkan?

Mahasiswa terbaik dari perguruan-perguruan tinggi. Mereka berasal dari program Kampus Mengajar. Kami kirim selama tiga-empat bulan di sekolah-sekolah untuk membantu kepala sekolah mengelola sekolah itu dan memulihkan pembelajarannya. Ini sudah tahap ketiga. Tahap pertama 10 ribu mahasiswa, tahap kedua 20 ribu mahasiswa. Nanti terus ditambah. Kami mencari sekolah-sekolah yang "bermasalah" dari sisi pembelajaran. 

Para mahasiswa itu sudah diterjunkan ke daerah mana saja?

Merata di seluruh Indonesia. Fokusnya sekolah dasar dengan akreditasi C dulu karena dianggap masih berat kondisinya. Kemudian untuk SMP kami mengejar persiapan PISA (Programme for International Student Assessment) guna meningkatkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains.

Benarkah pembelajaran jarak jauh turut memperparah skor PISA Indonesia yang selama ini sudah sangat rendah?

Kira-kira begitu. Makanya kami mengukur tingkat literasi dan numerasi selama September-November ini. Nanti kami lihat. Selain membantu kepala sekolah dan guru, mahasiswa mengajarkan kebiasaan membaca dan berhitung kepada anak-anak. Dua kemampuan itu penting untuk bekal kehidupan mereka. Kami mengakui skor PISA kita rendah. Bank Dunia meramalkan skor PISA secara dunia juga akan menurun.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus