Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Andra Matin: Arsitektur dan Penghargaan dari Venesia

Arsitek pertama Indonesia yang meraih penghargaan di biennale arsitektur dunia. Ia memperkenalkan arsitektur vernakular Indonesia.

21 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Andra Matin: Arsitektur dan Penghargaan dari Venesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika mendapat undangan mengisi acara arsitektur paling bergengsi di dunia, Venice Biennale Architecture 2018, Isandra Matin sebetulnya diberi kebebasan oleh para kurator untuk menampilkan karya apa pun. Tanpa harus repot-repot membuat karya baru, arsitek yang populer dengan nama Andra Matin itu bisa saja menampilkan portofolio karya-karya terdahulu. "Beberapa peserta melakukan itu," ujar dia saat diwawancarai Praga Utama dari Tempo, Rabu pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi Andra memilih jalan "memutar" yang lebih sulit. Duit yang ia dapatkan dari panitia acara sebesar 16.500 euro (sekitar Rp 276,6 juta) malah digunakan untuk mengongkosi biaya produksi dan pengiriman karya instalasinya yang khusus dibuat untuk acara dua tahun sekali itu. Andra bahkan harus mengeluarkan uang dari koceknya sendiri untuk membiayai keberangkatan dia bersama timnya dari Jakarta ke Venesia, Italia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi jerih payah itu berbuah manis. Karya instalasi Andra yang berjudul Elevation mendapat penghargaan "Special Mention" dari dewan juri. Hal ini tentu saja menjadi prestasi istimewa. Selain menjadi arsitek pertama asal Indonesia yang mendapat penghargaan dalam acara itu, kini nama Andra sejajar dengan para arsitek internasional yang sejak dulu ia hormati.

Bagaimana ceritanya Anda diundang oleh panitia Venice Biennale?

Sebetulnya saya bukan arsitek pertama asal Indonesia yang diundang secara pribadi oleh panitia Venice Biennale. Dulu (tahun 1990) arsitek Krish Suharnoko berpartisipasi di sana, lalu (pada 2000) arsitek Eko Prawoto juga diundang ke Venice Biennale. Saya yang ketiga. Tapi memang saya yang pertama mendapat penghargaan "Special Mention".

Awalnya tak menduga akan mendapat undangan dari panitia. Undangan saya terima September tahun lalu. Mungkin mereka sudah memantau track record dan karya-karya saya. Mereka tanya apakah saya bersedia ikut? Saya sempat berpikir ini bercanda. Soalnya, acara ini kan ajang paling bergengsi di kalangan arsitek. Semua arsitek top dunia berkumpul di sana.

Kenapa Anda memutuskan menampilkan karya berupa instalasi?

Kurator memberikan tema "Free Space". Peserta diminta menginterpretasikan makna ruang kebebasan. Sempat terpikir untuk memamerkan karya-karya terdahulu, karena banyak arsitek lain juga melakukan itu. Mereka hanya membawa maket-maket kecil karya mereka untuk dipamerkan. Tapi saya berpikir ini kesempatan besar untuk membuat karya baru.

Bagaimana teknis pembuatan instalasi itu?

Para arsitek yang diundang mendapat fasilitas berupa area pameran seluas 5 x 5,5 meter, ditambah uang sebesar 16.500 euro. Kurator tak membatasi bentuk karya. Mereka meminta saya memaparkan konsep lebih dulu. Setelah berdiskusi dan mengirim konsep serta gambar rancangan instalasi saya, kurator menerima. Karena instalasi saya berbentuk ruang di mana pengunjung bisa masuk dan berkeliling di dalamnya, saya diminta menjelaskan soal aspek keamanan. Setelah gambar kerja dan struktur disetujui, barulah saya memulai produksi pada Desember 2017 dan selesai pada Januari 2018. Karena produksinya di Jakarta, saya harus mengirim instalasi dalam bentuk potongan-potongan untuk dirangkai ulang di Venesia, bobot totalnya sekitar 1,1 ton. Pengiriman memakan waktu selama sebulan.

Berapa biaya yang Anda keluarkan untuk berpameran di sana?

Kalau dihitung, mungkin biaya keseluruhan sekitar Rp 1,2 miliar. Tapi separuhnya sudah ditanggung oleh panitia melalui uang sebesar 16.500 euro. Itu saya pakai untuk biaya pengiriman instalasi dari Jakarta ke Venesia. Sebetulnya, kalau saya mau, ya saya bisa saja berpameran dengan biaya murah, sisa uang dari panitia bisa saya nikmati. Tapi kan ini saya sendiri yang mencari masalah, ha-ha-ha.

Badan Ekonomi Kreatif juga membuka paviliun di Venice Biennale. Anda tidak meminta sponsor dari mereka?

Tidak. Di biennale itu, ada dua jenis paviliun. Pertama, diisi para arsitek yang diundang. Kedua, paviliun bangsa yang diisi perwakilan negara. Bekraf berpameran di Paviliun Bangsa, mereka menyewa ruang seluas 375 meter persegi, biayanya sangat mahal. Saya sengaja tak menghubungi mereka karena, selain biaya yang mereka keluarkan juga besar, pasti mereka sudah sibuk.

Apa yang ingin Anda sampaikan melalui instalasi berjudul Elevation tersebut?

Ada dua hal. Pertama, memperkenalkan arsitektur vernakular Indonesia, karena sangat menarik. Tak ada negara di dunia yang arsitekturnya sebanyak dan sekompleks Indonesia. Dan tidak semua orang tahu. Yang menarik, ketinggian rumah pada arsitektur vernakular Indonesia beragam. Misalnya di Korowai, Papua, tempat tinggal di sana 15 meter di atas tanah. Sementara di suku lain di Papua menempel dengan tanah. Di Bali atau Jawa, ada dua level ketinggian, sekitar 60-30 sentimeter. Di Nias, sekitar 180 sentimeter. Di Sumba, 120 sentimeter. Rumah panjang di Kalimantan mirip dengan Toraja, 2-3 meter. Saya mengambil konsep perbedaan elevasi itu pada instalasi saya, agar pengunjung bisa merasakan, saat masuk, mereka naik perlahan-lahan. Di instalasi itu, mula-mula pengunjung berhadapan dengan peta Indonesia. Kemudian ke level paling rendah, saya beri nama nol-nol. Level kedua, naik 30-60 cm, inspirasinya dari rumah di Jawa dan Bali. Naik lagi mengikuti ketinggian rumah di Wae Rebo dan Sumba, lalu Nias, Rumah Pajang, dan paling atas Korowai. Di sana pengunjung bisa melihat area pameran dari atas.

Bagaimana Anda menghubungkan konsep tersebut dengan tema "Free Space"?

Instalasi ini menggambarkan kebebasan spasial. Ruang dirancang beragam, ada yang sempit gelap, ada yang tinggi, vertikal. Jadi, tidak terpaku dengan apa pun. Orang yang masuk ke instalasi saya bisa mendapat gambaran arsitektur vernakular Indonesia sekaligus Andra Matin Space, proyek saya. Lewat karya ini, saya juga ingin menampilkan teknik kerajinan khas Indonesia melalui material rotan. Material lain yang saya gunakan adalah kayu siyalti. Ini bukan kayu yang diambil dari hutan, tapi memang ditanam untuk industri. Bentuknya ditempel-tempel seperti kayu lapis, seratnya saling menguatkan. Saya ingin memberi pesan, kita bisa pakai kayu untuk bangunan tapi bukan kayu yang diambil langsung dari hutan, melainkan memang dirancang untuk produksi.

Juri memberikan nilai tinggi. Apa maknanya penghargaan itu bagi Anda?

Ini ajang prestisius, kurator memilih 71 arsitek dari seluruh dunia. Di sebelah paviliun saya, ada karya-karya para arsitek yang sejak dulu saya hormati. Ada David Chipperfield yang sempat masuk ke paviliun saya. Dia menyukai konsepnya dan takjub dengan material kayu yang saya pakai. Ada juga arsitek Peter Zumthor, kebetulan saya bertemu dengan dia di Swiss sebulan lalu. Dari sana saya menyadari bahwa saya sudah setara dengan mereka. Saya jadi tahu posisi biro arsitek kami ada di mana.

Kira-kira konsep apa yang bisa diambil dari desain vernakular dan diterapkan pada arsitektur saat ini?

Benang merah arsitektur vernakular Indonesia adalah respons terhadap iklim. Biasanya rumah dirancang sangat ringan, mudah menyesuaikan dengan gerakan tanah, udara dan cahaya mudah masuk dan mengalir. Tidak seperti di negara empat musim, di mana bangunan dibuat sangat tebal dan kokoh untuk menghalau hawa dingin dan panas. Konsep vernakular bisa dicoba diterapkan untuk bangunan modern, bangunan dirancang lebih ramah lingkungan. Tapi, untuk mengarah ke sana, harus ada insentif dari pemerintah dan penghargaan orang-orang yang mencobanya. Insentifnya bisa dalam bentuk koefisien bangunan, penambahan lantai bangunan, jika konsepnya green building. Karena tidak ada penghargaan, orang mengejar cara paling mudah dan murah. Padahal, kalau lihat Singapura, sekarang sudah banyak gedung tinggi yang ramah lingkungan, sehingga orang jadi ingin meniru. Saya sudah mencoba konsep ini di beberapa proyek, salah satunya bangunan AD Premiere di Simatupang, Jakarta Selatan. Di sana saya membuat jarak antara fasad dan kaca, sehingga ada bayangan untuk mengurangi panas di dalam bangunan. Dengan begitu, penggunaan pendingin ruangan bisa dikurangi. Saat ini kebanyakan bangunan tinggi di Jakarta semuanya memakai kaca. Tapi kalau kita perhatikan, kordennya tertutup semua saat siang atau sore hari untuk mengurangi panas. Ini kan artinya tidak efisien.

Dalam sebuah wawancara, Anda pernah menyatakan tak pernah ingin menggarap proyek pusat belanja (mal). Kenapa?

Karena saya melihat kecenderungan mal saat ini sangat gemar memasang reklame besar-besar di depan bangunan mereka. Ini polusi visual bagi saya, arsitektur tertutupi iklan. Dulu Jakarta pernah punya mal yang arsitekturnya bagus, EX Mall. Di sana sama sekali tak ada iklan, sehingga arsitekturnya menonjol. Waktu tinggal di Bandung, saya melihat banyak tempat usaha yang tak pakai plang reklame besar. Tanpa iklan, orang-orang sudah datang ke sana. Sekarang taman kota saja dipasangi tulisan besar-besar. Padahal tamannya sudah bagus, buat apa lagi ada tulisan besar. Konten jadi kalah dengan kemasan. Harusnya sebaliknya. Beberapa pemerintah daerah mulai berani menggunakan jasa arsitek. Anda juga sudah beberapa kali terlibat proyek di daerah. Ada misi khusus memperbaiki wajah kota-kota di Indonesia? Dulu banyak sekali proyek yang tak melibatkan arsitek, pemerintah sekadar bikin bangunan tapi tak memperhatikan estetika. Padahal bangunan itu berpotensi jadi kebanggaan daerah. Kita harus mengubah persepsi itu. Di mana pun kota-kota dunia, arsitektur menjadi ikon. Sydney Opera House, Menara Eiffel, Menara Petronas, Museum Louvre, itu kan arsitektur dan jadi ikon dunia. Sayang kalau pembangunan infrastruktur hanya dianggap proyek.

Daerah mana saja yang menurut Anda sudah "melek" desain?

Bandung, tentu saja. Lalu ada Banyuwangi dan Tulang Bawang Barat, Lampung. Di Bandung, saya terlibat dalam proyek revitalisasi Pasar Sukajadi. Di Banyuwangi, saya mendesain bangunan bandar udara baru mereka. Ceritanya cukup unik, pemerintah setempat tidak puas dengan desain sebelumnya yang terlalu modern, bangunannya semua dilapisi kaca. Maka, saya buat bernuansa arsitektur daerah dengan sentuhan konsep eco-friendly, atapnya dilapisi rumput.

Bagaimana dengan Jakarta?

Waktu gubernurnya Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), arahnya sudah bagus. Ahok menginisiasi pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) untuk 250 kelurahan. Proyek ini melibatkan banyak arsitek. Makanya, desain di setiap RPTRA berbeda-beda dan unik. Saya sendiri menggarap sekitar 27 lokasi RPTRA. Sayang sekali pembangunan RPTRA ini sekarang dihentikan.

Apa ambisi atau proyek prestisius Anda berikutnya?

Mengubah Taman Ismail Marzuki, Cikini. Kebetulan saya dulu memenangi sayembara desain baru TIM. Saya ingin mengembalikan TIM sebagai taman. Sekarang kan isinya mobil semua, jadi tempat parkir. Nanti mobil tak boleh lagi. Di dalamnya ada danau, banyak pepohonan, orang bisa duduk-duduk sambil membaca, anak-anak bermain, mahasiswa berlatih teater. TIM akan saya ubah menjadi oase di tengah kepadatan Cikini.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus