Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Cincin

Alkisah, adalah seorang gembala yang menemukan cincin ajaib.

21 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cincin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alkisah, adalah seorang gembala yang menemukan cincin ajaib. Hari itu ia sedang berada di sebuah bukit, ketika tiba-tiba hujan lebat turun, gempa mengguncang, dan bumi retak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ingin melihat lebih jauh apa yang ada dalam retakan itu, si gembala masuk ke celah itu. Ia temukan sebuah gua. Ia temukan sebuah patung kuda yang terbuat dari tembaga. Patung itu gerowong, dengan beberapa jendela di dindingnya. Ketika mengintip ke dalam, ia lihat sebatang mayat berukuran besar. Di jarinya seraut cincin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia pun melepaskan cincin itu, mengenakannya di kelingkingnya, lalu melangkah ke luar, kembali ke gembalaannya. Ajaib: tiap kali ia putar mata cincin itu ke dalam, orang-orang di sekitarnya tak bisa melihatnya. Ia baru kembali kasatmata jika mata cincin itu ia putar ke arah sebaliknya.

Sejak saat itu, Gyges (ejaan Inggris untuk ), nama gembala itu, sadar betapa besar kemampuan yang ia miliki. Dengan menghilang, ia bisa masuk ke istana Raja, dan dengan keajaibannya ia bisa memikat hati Ratu. Mereka berzina. Tak hanya itu: Gyges membunuh Raja, dan dengan kemampuannya untuk menghilang, ia menguasai kerajaan.

Dalam kitab Politeia yang dengan menarik disusun Plato pada abad ke-4 sebelum Masehi, cerita ini dikisahkan kepada Sokrates, ketika pada suatu hari ia bersama beberapa kenalannya bertamu dan berdiskusi di rumah Cephalus. Yang berkisah Glaucon, sebagai ilustrasi ketika ia mengemukakan gagasannya tentang keadilan.

Bagi abang kandung Plato ini, keadilan tak datang dari sifat dasar seseorang. Andai kata ada dua bentuk cincin sakti, katanya, yang satu dipakai seseorang yang adil dan yang lain dikenakan seseorang yang tak adil, tak seorang pun dari mereka akan bersemangat menjaga keadilan. Keduanya akan melakukan hal-hal yang selama ini dianggap sewenang-wenang. Perbuatan adil dilakukan hanya karena dipaksa. Orang tak akan berbuat baik dalam ruang privatnya. Keadilan hanyalah laku yang dipaksakan dari luar dirinya.

Adeimantus, adik Glaucon, menegaskan: orang bukan memujikan keadilan karena keadilan itu sendiri, melainkan karena nama baik yang didapat. Pamrih ini juga, dan terutama, berlaku dalam hubungannya dengan dewa-dewa. Mereka mengharapkan karunia. Dan Adeimantus mengutip apa yang dikatakan orang, baik dalam puisi maupun prosa, bahwa keadilan, sementara dipujikan, adalah hal yang sulit dan penuh susah payah; sementara itu, sikap yang tak adil gampang dilakukan. Ia hanya memalukan dalam anggapan umum dan undang-undang.

Tampak bahwa Glaucon dan Adeimantus adalah suara yang ragu terhadap kebaikan batin manusia. Sinisme ini mungkin lazim dalam suasana krisis di Athena di abad ke-4 sebelum Masehi. Tapi mungkin juga mereka hanya ingin mendengar bagaimana Sokrates mengalahkan sinisme itu. Meskipun mereka ragu.

Keadilan, dalam pendapat kakak-adik ini, sama sekali tak kuat, sebab tak punya akar yang tahan waktu dan ruang. Sebaliknya perilaku yang tak adil. Cincin Gyges agaknya perumpamaan yang tepat untuk argumen mereka. Dalam keadaan tak terlihat, seseorang tak bisa dikuasai orang lain, sebab melihat adalah setengah menguasai. Dalam keadaan tak kasatmata, ia terlepas dari nilai-nilai-apabila nilai-nilai itu tak secara alamiah tertanam dalam dirinya.

Bagi Glaucon, pamrih itu alamiah, hati nurani tak pernah ada. Dewa-dewa tak menjaganya. Di takhta Olympus, mereka bisa disuap. "Para dewa... dapat dibujuk oleh doa-doa, oleh korban dan janji lembut," ujar Adeimantus mengutip puisi Homeros.

Berabad-abad kemudian, terutama sejak abad ke-19 Eropa, pandangan Glaucon-Adeimantus bergema dengan kuat. Marx tak menganggap ada sesuatu yang universal-juga nilai-nilai, juga kodrat manusia. Kodrat manusia, dalam pandangan Marxis, selamanya ditentukan formasi sosial dalam sejarah. Tak ada yang tertanam secara hakiki, tak ada hati nurani. Juga Freud melihat hati nurani lebih sebagai ekspresi rasa bersalah, ketika ego seseorang bertentangan dengan "super-ego", di mana mengendap larangan-larangan yang datang dari masyarakat untuk mengendalikan dorongan dasar insting manusia. Lacan, yang merevitalisasi theori Freud, menyebut "Sang Lain", l'Autre, yang merumuskan ukuran dan aturan.

Jika demikian, mungkinkah manusia dan masyarakatnya selamat dari cincin Gyges? Mustahilkah semboyan yang dalam bahasa Jawa dirumuskan sebagai "Sepi ing pamrih, rame ing gawe"?

Di celah-celah sinisme, yang menarik ialah bahwa perbuatan adil tak putus-putusnya dilakukan-dan kita akan sia-sia mempersoalkan, di manakah pamrih, di manakah keikhlasan. Keadilan dalam arti yang murni mungkin perlu dikemukakan sebagai sesuatu yang tak henti-hentinya ditegakkan sebagai model. Sokrates berkata kepada Glaucon: "Kita, seperti pemburu, harus mengelilingi apa yang menutupnya...." Sebab pada akhirnya, keadilan sejak mula berada di dekat kita-mungkin lebih dekat dengan urat nadi kita.

Goenawan Mohamad

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus