Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan diduga mengabaikan laporan soal mafia alat kesehatan..
Modus kejahatannya mengubah sistem lelang elektronik menjadi manual.
Berjejaring hingga ke lembaga yudikatif dan eksekutif.
DUA pegawai hilir-mudik di lantai 1 dan 2 gedung Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, pada 28 September lalu. Mereka tengah mencari laporan lembaga swadaya masyarakat Pembela Rakyat (Perak) tentang mafia alat kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasilnya nihil. Kepala Seksi D Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Adri Kaimuddin mengatakan pihaknya tak menemukan dokumen aduan itu. “Masukkan saja lagi laporannya. Kami juga tak tahu apakah laporan itu sudah ada tindak lanjut atau tidak,” ujarnya kepada Tempo, sehari setelah pencarian tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raibnya laporan itu membuat Ketua LSM Perak Sulawesi Selatan Adiarsa berang. Ia makin pesimistis permainan korupsi pengadaan alat kesehatan di berbagai rumah sakit Makassar akan terbongkar. “Laporan kami mandek dua tahun di kejaksaan,” tuturnya.
LSM Perak melaporkan dugaan korupsi di RSUD Haji Makassar ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada awal Januari 2019. Menurut laporan Perak, dugaan korupsi terjadi dalam lelang pengadaan alat kesehatan dengan nilai total Rp 23,6 miliar. Dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
Dalam pelaksanaan lelang, para aktivis LSM Perak menduga ada penggelembungan harga di sejumlah barang hingga merugikan negara miliaran rupiah. Menurut Adiarsa, penyelewengan bermula sejak awal prosedur tender yang tak sesuai dengan mekanisme yang tercantum dalam rencana anggaran biaya (RAB).
Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar, 10 November 2021/TEMPO/ Didit Hariyadi
Sejumlah pengadaan alat kesehatan yang seharusnya dilelang lewat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), menurut Adiarsa, diubah menjadi tender manual. Artinya, panitia mengabaikan kewajiban menggunakan sistem pengadaan barang lewat e-Katalog.
Contohnya pengadaan alat pemeriksa lambung atau laraskopi. E-Katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sudah mendaftarkan laraskopi seharga Rp 1,7 miliar di situsnya. Tapi panitia lelang manual RSUD Haji memilih produk lain yang harganya Rp 3,7 miliar.
Ada pula pengadaan tiga ventilator seharga lebih dari Rp 800 juta per unit, lebih mahal dibanding ventilator buatan Jerman yang hanya Rp 600 juta dan produk Cina Rp 500 juta. Menurut Adiarsa, perubahan ini terjadi karena persekongkolan panitia dan pengusaha.
Pemenang tender proyek pada 2018 ini adalah PT Naura Permata. PT Naura mengikuti berbagai proyek alat kesehatan di Sulawesi Selatan sejak 2014. Dalam akta perusahaan, pemegang saham mayoritas perusahaan Isywari dengan nilai Rp 12 miliar. Sisanya dipegang Ida Yulianti dan Sunarti masing-masing Rp 1,5 miliar. Bidang bisnisnya puluhan, salah satunya perdagangan alat kesehatan.
Pada Januari 2019, LSM Perak menggelar konferensi pers dan mengundang Wakil Direktur Penunjang Medik, Pendidikan dan Pelatihan, serta Penelitian dan Pengembangan RSUD Haji kala itu, Ahdy Syafar. Mereka menyorot dugaan korupsi proses lelang pengadaan alat kesehatan. Ahdy mengaku dipaksa menjadi kuasa pengguna anggaran dalam proyek tersebut.
Saat proses lelang berjalan, dia menjelaskan, ia pernah didatangi utusan Imelda Obey, 43 tahun, seorang pengusaha. Ahdy mengatakan Imelda merupakan sosok di balik PT Naura Permata Nusantara. Dihubungi kembali untuk menceritakan kesaksian itu, Ahdy menolak berkomentar. “Saya memang pernah ditemui seseorang kala itu. Tapi kini semua sudah selesai,” ucapnya.
Kejaksaan pun tampaknya akan tutup buku. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menerbitkan pendapat hukum yang menyatakan perubahan tender elektronik menjadi tender manual sah secara aturan. Dasarnya adalah poin nomor 2 huruf (b) dan (h) Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 30 Tahun 2015 tentang pembelian lewat e-Katalog. Disebutkan dalam aturan itu bahwa pembelian lewat e-Katalog tidak diwajibkan jika harga barangnya lebih mahal atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.
Direktur Eksekutif Lembaga Anti Corruption Commitee Sulawesi Kadir Wokanubun menilai opini hukum Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan hanya akal-akalan panitia dan pengusaha. Soalnya, rentang waktu pendapat hukum dengan kedatangan barang lelang di RSUD Haji berdekatan.
Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan terbit pada 29 Juni 2018, sedangkan laraskopi dan barang hasil lelang tiba di RSUD pada 16 Juli 2018, atau berselang 18 hari. “Harusnya legal opinion dikeluarkan di awal tender, bukan mendekati kedatangan barang,” ujar Kadir.
Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara kepada pimpinan RSUD Haji untuk menjawab pelbagai tudingan ini. Seorang anggota staf Bagian Hubungan Masyarakat RSUD Haji, Muhsin, mengatakan tidak berani menjawab pertanyaan tentang tender itu.
Ia memang menjadi pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dalam pelaksanaan tender 2018. Tapi ia enggan berkomentar. “Saya hanya PPTK, masih ada pejabat lain di atasku,” katanya.
Imelda Obey tak merespons surat permintaan wawancara yang dikirim ke rumahnya. Ditemui saat mendatangi rumah makan di Makassar pada Kamis, 11 November lalu, ia menolak menanggapi pertanyaan Tempo ihwal tender alat kesehatan di RSUD Haji Makassar dan RSUD Labuang Baji. “Saya tidak mau berkomentar. Jangan kaitkan nama saya dengan kejaksaan,” ucapnya sambil melangkah pergi.
Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar, 10 November 2021/TEMPO/ Didit Hariyadi
Kepala Seksi D Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Adri Kaimuddin mengatakan pendapat hukum kantornya merupakan balasan atas surat RSUD Haji. “Memang dimungkinkan begitu. Kalau barang tak ada dalam e-Katalog, tetap bisa dilelang,” tuturnya.
Selain LSM Perak, Yayasan Bantuan Hukum Mitra Indonesia Mandiri melaporkan dugaan korupsi lain yang terjadi di RSUD Labuang Baji Makassar. Tahunnya juga sama: 2018. Lelangnya mirip, yakni mengubah lelang elektronik ke manual.
Pemenang tender di RSUD Labuang Baji kala itu adalah PT Inaho Jaya Lestari. Nilai proyeknya mencapai Rp 48 miliar. Lagi-lagi, Imelda Obey tercatat sebagai komisaris perusahaan ini. Nama Imelda muncul ke publik ketika ia diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam perkara suap mantan Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah.
Kadir Wokanubun mengatakan Imelda berperan besar dalam setiap pengadaan alat kesehatan di rumah sakit pemerintah. “Dia dekat dengan petinggi lembaga yudikatif dan eksekutif,” ujarnya.
Saking dekatnya, kata Kadir, Imelda mampu mengubah skema tender elektronik menjadi manual. Karena kedekatan itu, Kadir menambahkan, Imelda bisa menekan panitia dan lembaga pelaksana lelang. Imelda, menurut Kadir, bahkan bisa mempengaruhi pejabat jika ada panitia tender yang menolak diajak “bekerja sama” memenangkannya.
Pimpinan RSUD Labuang Baji tak mau membalas surat permohonan wawancara Tempo. Anggota staf Bagian Humas RSUD Labuang Baji, Zainuddin, mengatakan surat permintaan wawancara sudah ia terima. Namun hingga Sabtu, 4 Desember lalu, surat itu tak direspons. “Kami tak berani berkomentar,” kata Zainuddin.
Sekretaris Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan Bachtiar Baso menjelaskan pencegahan korupsi oleh mafia alat kesehatan dikelola sepenuhnya oleh setiap rumah sakit. “Mereka yang bertanggung jawab. Dinas kesehatan hanya menerima laporan kegiatan,” tuturnya. “Kami tak tahu ada dugaan korupsi.”
DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo