Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bagaimana Dinasti Hun Sen Mengusai Kamboja

Hun Sen kembali ke pemerintahan Kamboja setelah partainya menang besar dalam pemilihan umum Senat.

3 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMILIHAN anggota Senat Kamboja pada Ahad, 25 Februari 2024, menjadi titik balik Hun Sen, orang terkuat di Kamboja, dan menguatnya dinasti politik Hun. Presiden Partai Rakyat Kamboja (CPP) itu mencoblos di tempat pemungutan suara di Pusat Pelatihan Guru Daerah Hun Sen, yang ia dirikan saat menjabat perdana menteri, di Takhmao, Provinsi Kandal, 11 kilometer dari Phnom Penh, ibu kota negara itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hun Sen, yang berkemeja dan celana hitam, datang bersama istrinya, Bun Rany. Politikus 70 tahun itu tampak mencium surat suaranya sebelum memasukkannya ke kotak suara dan melambaikan tangannya kepada masyarakat dan awak media, yang mengabadikan peristiwa itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemilihan anggota Senat di Kamboja tidak sama dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia. Pemilihan Senat digelar setiap enam tahun dan dilakukan dengan hak pilih nonuniversal karena hanya anggota Majelis Nasional—Dewan Perwakilan Rakyat negeri itu—dan sekitar 11 ribu anggota dewan-dewan komune lokal yang dapat memilih.

Perdana Menteri Kamboja Hun Manet di Putrajaya, Malaysia, 27 Februari 2024. Reuters/Vincent Thian

Ada 62 kursi di Senat, tapi pemilihan ini digelar hanya untuk memperebutkan 58 kursi. Dua senator lain akan ditunjuk langsung oleh Raja Kamboja dan dua sisanya ditentukan Majelis Nasional. Kali ini ada empat partai yang berkontestasi, yakni CPP, Funcinpec, Partai Kekuatan Nasional, dan Partai Kehendak Khmer.

Komisi Pemilihan Umum (NEC) mengumumkan hasil sementara pemilihan itu pada Kamis, 29 Februari 2024. Hasilnya, CPP menang mutlak dengan 10.052 suara dan Partai Kehendak Khmer berada di posisi kedua dengan 1.394 suara. Hun Manet, Perdana Menteri Kamboja dan Wakil Presiden CPP, menyatakan, berdasarkan hasil sementara itu, CPP meraih 55 dari 58 kursi Senat, Partai Kehendak Khmer mendapat tiga kursi, dan dua partai lain tak beroleh kursi sama sekali.

Sebagai Presiden CPP, Hun Sen diperkirakan akan menjadi Presiden Senat. Posisi ini cenderung bersifat seremonial karena kebijakan negara dan regulasi diputuskan di Majelis Nasional. Namun Presiden Senat juga menjabat wakil kepala negara jika raja berada di luar negeri.

Kembalinya Hun Sen ke jabatan pemerintahan akan melapangkan jalan baginya untuk terlibat dalam urusan dalam negeri dan internasional Kamboja. Dia rupanya tak ingin sekadar berada di belakang layar dengan memimpin partai terbesar negeri itu ketika menyatakan lengser dari pemerintahan setelah berkuasa selama 38 tahun.

“Saya mengumumkan bahwa saya tidak akan terus menjadi perdana menteri,” kata Hun Sen saat masih menjabat perdana menteri pada 26 Juli 2023. Pengumuman itu dia sampaikan tiga hari setelah NEC menyatakan CPP menang mutlak dalam pemilihan umum parlemen. Dia menyatakan akan menyerahkan kewenangan membentuk pemerintahan baru kepada putranya, Jenderal Hun Manet, saat itu 45 tahun. Sang putra menjabat Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Kerajaan Kamboja sebelum terjun ke politik sebagai anggota Majelis Nasional dari daerah pemilihan Phnom Penh. Dua pekan kemudian, Raja Norodom Sihamoni menunjuk Hun Manet sebagai perdana menteri.

“Meski saya bukan lagi perdana menteri, saya akan tetap mengendalikan politik sebagai ketua partai yang berkuasa,” ujar Hun Sen. “Saya akan menjadi bapak perdana menteri setelah 2023 dan kakek perdana menteri pada 2030-an,” tuturnya dalam sebuah pertemuan CPP pada 2023.

Menurut Khmer Times, Sok Eysan, juru bicara CPP, membenarkan kabar bahwa Hun Sen nanti akan mengambil alih kursi Presiden Senat. Dengan jabatan barunya ini, dinasti politik Hun Sen akan menguat.

Saat ini Hun Manet, putra sulung Hun Sen, telah menjadi perdana menteri, jabatan eksekutif tertinggi di sana. Hun Manet kemudian mengangkat Hun Many, adik bungsunya yang juga Menteri Aparatur Sipil Negara, menjadi wakil perdana menteri dengan alasan mendorong reformasi birokrasi pada 21 Februari 2024. Adapun Hun Manith, adik Hun Manet, saat ini bertugas sebagai Kepala Departemen Intelijen Kementerian Pertahanan.

Menurut Japhet Quitzon, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Hun Sen tetap berpengaruh di Kamboja karena ia mengarahkan keluarga dan koneksinya ke semua lapisan atas politik dan bisnis sebagai cara mempertahankan diri. “Keluarga Hun mengkonsolidasikan kekuasaannya atas institusi Kamboja melalui pernikahan dinasti dan posisi strategis anggota keluarga. Makin lama keluarga tersebut berkuasa, makin aman Hun Sen dan warisannya,” tulis Quitzon di situs CSIS pada Jumat, 1 Maret 2024.

Human Rights Watch juga mengkritik transisi kekuasaan semu dari Hun Sen ke Hun Manet. “Transisi politik ke Perdana Menteri Hun Manet hanyalah memasukkan ‘anggur lama ke botol baru’ jika menyangkut hak asasi manusia dan kebebasan demokratis di Kamboja,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Asia di Human Rights Watch, dalam siaran pers lembaga tersebut. “Mitra perdagangan dan bantuan Kamboja harus mengirimkan pesan yang jelas bahwa keterlibatan dengan pemerintah di masa depan akan mencerminkan apakah upaya sungguh-sungguh sedang dilakukan untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di negara tersebut.”

Human Rights Watch mencatat bahwa Kamboja, yang menyebut dirinya negara demokrasi, tak mencerminkan hal tersebut dalam kenyataan. Dalam World Report 2024 yang baru mereka rilis, organisasi hak asasi manusia internasional itu mencatat Kamboja pada dasarnya adalah negara dengan partai tunggal yang menggelar pemilihan umum yang tetap dan terkendali serta kekurangan media independen, juga ada campur tangan partai yang berkuasa dan kendali atas semua lembaga negara, kontrol politik terhadap peradilan, serta pembungkaman secara sistematis terhadap kritik dari oposisi politik dan masyarakat sipil.

Kamboja makin tenggelam ke dalam otoritarianisme sejak pemilihan umum 2018. Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), oposisi utama CPP, dibubarkan Mahkamah Agung pada 2017. Sebanyak 118 anggota seniornya dilarang berpolitik selama lima tahun dan 55 kursi Majelis Nasional yang mereka raih malah dibagi-bagikan kepada anggota CPP. Kem Sokha, pemimpin CNRP, dituduh berkonspirasi dengan pemerintah asing untuk menggulingkan pemerintah dan ditahan dengan alasan pengkhianatan dan spionase. Sam Rainsy, musuh politik utama Hun Sen, terpaksa eksil ke Prancis.

Sekarang praktis CPP mendominasi politik Kamboja. Namun Kamboja adalah negara kerajaan dan Hun belum dapat menguasai kerajaan. Menurut DW, salah satu alasan Hun Sen ingin menguasai Senat adalah kerajaan merupakan institusi terakhir yang belum sepenuhnya dikuasai dinasti Hun. Sebagai Presiden Senat, Hun Sen akan bisa mengontrol kebijakan raja dari dekat.

Raja Sihamoni sering pergi berobat ke Cina setiap kali pemerintah akan meloloskan rancangan undang-undang kontroversial. Dengan absennya raja, Presiden Senat berwenang mengesahkan undang-undang itu. Presiden Senat juga duduk di Dewan Kerajaan, yang berhak memilih Raja Kamboja.

Dewan Kerajaan terdiri atas sembilan anggota, yakni Perdana Menteri, Presiden Majelis Nasional, Presiden Senat, dua Wakil Presiden Majelis Nasional, dua Wakil Presiden Senat, serta dua pemimpin ordo Buddha, yakni Moha Nikay dan Thommoyutteka Nikay. Dewan akan memilih raja di antara keturunan Raja Ang Duong. Sejauh ini, Dewan hanya sekali bersidang pada September 1993 ketika mengesahkan kembali Norodom Sihanouk sebagai raja.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit dengan judul "Dinasti Hun Makin Meraja".

 
 
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus