Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Hal Hill: Indonesia Tak Perlu Takut Globalisasi

Profesor Hal Hill menilai ekonomi Indonesia cukup maju, tapi masih kurang kompetitif dibanding Vietnam dan Thailand.

28 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI penulis buku The Indonesian Economy yang terbit pada 2000, Hal Hill melihat ekonomi Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo cukup maju karena membukukan pertumbuhan rata-rata 5,2 persen per tahun. Indonesia juga tidak ada dalam daftar negara berkembang yang diprediksi Dana Moneter Internasional (IMF) akan mengalami krisis utang. Namun, meskipun bagus secara makro, Hal Hill melihat ada masalah pada ekonomi mikro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Profesor ekonomi dari Australian National University yang meneliti Indonesia sejak muda itu menilai Indonesia tidak memanfaatkan peluang memasuki globalisasi. Akibatnya, ekonomi dan bisnis serta investasi Indonesia kurang kompetitif di Asia Tenggara. Dalam memberikan peluang investasi, Indonesia kalah oleh Thailand atau Vietnam. Dua negara itu menjadi tujuan investasi besar di Asia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi itu membuat Hal Hill memprediksi Indonesia bakal kehilangan potensi besar ekonomi global meski secara agregat tergolong negara dengan ekonomi maju. “Masalah Indonesia ada di ekonomi mikro, baik sosial, lingkungan, dan institusional,” katanya kepada Abdul Manan dan Iwan Kurniawan dari Tempo dalam sebuah wawancara online pada 15 Desember 2023.

Dalam percakapan selama lebih dari satu jam itu, dengan bahasa Indonesia yang fasih, ekonom 76 tahun ini menguraikan beberapa masalah ekonomi Indonesia sejak Reformasi 1998 hingga masa pemerintahan Presiden Jokowi. Dia menyoroti subsidi bahan bakar minyak, ruang fiskal yang terbatas, transisi energi, dan pendidikan.

Apa penilaian Anda terhadap ekonomi Indonesia di bawah Jokowi?

Pembangunan ekonomi Indonesia cukup baik. Tahun 1980-an, Bank Dunia menyebutkan Indonesia sebagai keajaiban ekonomi. Kami berdiskusi di Canberra dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Desember 2023. Dia benar, saat ini di seluruh dunia ada 60-an negara sedang berkembang dengan krisis utang. Jumlah yang diperkirakan IMF adalah 62 atau 63 negara. Indonesia tidak termasuk kelompok itu. Walaupun Indonesia punya cukup banyak masalah, ini bukan krisis ekonomi utang. 

Dari model pembangunan ekonomi, apa beda Jokowi dengan presiden sebelumnya?

Tidak banyak perbedaan. Saya lihat dua gambaran. Pertama, ekonomi makro. Di gambaran itu Indonesia maju banyak. Misalnya, ada Bank Indonesia yang profesional dan independen. Sekarang utang pemerintah sekitar 40 persen dari produk domestik bruto (PDB). Itu terbilang rendah dibanding negara-negara lain yang bisa lebih dari 100 persen. Masalahnya di ekonomi mikro, baik sosial, lingkungan, maupun institusional. Perspektif Jokowi tidak banyak berbeda dari Susilo Bambang Yudhoyono atau Megawati Soekarnoputri. Pemerintahan sebelum Megawati susah dibandingkan karena masih ada krisis moneter.

Jika dibandingkan dengan model pembangunan Orde Baru?

Ada perbedaan besar. Laju pertumbuhan ekonomi Orde Baru rata-rata 7,1 persen. Di era demokrasi, sekitar 5,2 persen. Ini semacam ironi atau paradoks bahwa di zaman yang politiknya sangat kurang bebas, ekonomi maju lebih cepat, tingkat kemiskinan merosot lebih cepat daripada di era demokrasi.

Hal Hill (kiri) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Molonglo Theatre ANU, Canberra, Australia, 12 Desember 2023. Kemenkeu Foto/ Biro KLI-Irfan Bayu

Mengapa?

Perlu disertasi doktor untuk mendapatkan jawaban itu. Tapi, yang mungkin penting, pada 20 tahun pertama era Soeharto komitmen pembangunan ekonomi kuat sekali. Kita tahu di bawah Soeharto ada Mafia Berkeley, yaitu Pak Widjojo, Pak Ali Wardana, dan lain-lain. Di era demokrasi, pembuatan kebijakan ekonomi jauh lebih susah. Dulu hanya ada satu orang yang penting, yaitu Soeharto.

Dari segi politik, demokrasi jauh lebih baik. Tapi proses politik jauh lebih susah, jauh lebih rumit karena ada lebih banyak veto player, yaitu pihak-pihak yang bisa menghalangi kebijakan. Contoh, subsidi BBM. Pemerintah memiliki ruang fiskal yang terbatas. Rasio pajak terhadap PDB 10 persen. Itu kecil sekali. Dari 10 persen itu sampai kadang-kadang 2-3 persen dipakai untuk subsidi. Defisit maksimum hanya boleh 3 persen. Sepertiga dari jumlah pendapatan pemerintah langsung ke pemerintah daerah. Karena itu, pengeluaran pemerintah pusat kecil sekali. Sekarang politik pembuatan kebijakan lebih rumit.

Apa yang krusial dari ekonomi mikro?

Globalisasi. Saya kira Indonesia boleh dikatakan kehilangan peluang (missing out). Lembaga industri dunia sekarang hampir semua di bawah jaringan produksi global. Komponen komputer Anda mungkin dibikin di sepuluh negara. Perakitannya mungkin di Cina. Negara yang betul-betul maju sekarang, selain Cina, adalah Vietnam. Ekspor dunia untuk barang-barang ini, persentase yang berasal dari Vietnam jauh lebih tinggi daripada Indonesia. Kita tahu banyak perusahaan multinasional pindah ke Vietnam.

Contoh lain adalah nikel. Kendaraan listrik terdiri atas banyak komponen. Salah satunya baterai. Di dalam baterai ada banyak komponen. Memang ada nikel, tapi banyak yang lain juga. Litium, misalnya. Indonesia tidak punya banyak litium. Maka, walaupun Indonesia punya nikel, kurang jelas bahwa itu sebagai dasar atau keuntungan kompetitif supaya Indonesia membangun industri kendaraan listrik yang kuat.

Saat Elon Musk datang ke ASEAN, dia pilih Malaysia. Perusahaan kendaraan listrik Cina yang paling maju adalah BYD. BYD memilih Thailand karena di Thailand ada head start (faktor kondusif yang membuatnya selangkah lebih maju), yaitu membuat industri otomotif yang berorientasi ekspor lebih cepat daripada Indonesia pada 1980-1989. Maka basis industri di Thailand untuk industri otomotif lebih besar dan lebih kompetitif daripada Indonesia. Maka saya khawatir missing out walaupun Indonesia sudah maju.

Mengapa Indonesia terlihat kurang menarik?

Partisipasi dalam jaringan produksi global bergantung pada lingkungan bisnis komersial. Misalnya komputer ini komponennya berasal dari 10 negara. Berarti harus bisa dijual lintas negara secara cepat. Berarti ini memerlukan logistik internasional yang sangat efisien. Kita tahu, menurut World Bank Indicator, indeks kinerja logistik Indonesia tidak begitu tinggi.

Artinya kurang kompetitif?

Ya. Misalnya dibanding Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Mereka lebih maju. Maka perusahaan-perusahaan multinasional, penanaman model asing, mungkin memilih lokasi yang sesuai dengan keperluan mereka untuk jaringan produksi global. Saya berbicara terus terang: Indonesia ragu tentang peran penanaman modal asing. Dua faktor itu mungkin menjelaskan kenapa Indonesia kehilangan banyak peluang bisnis yang baik. 

Bukan untuk mengkritik, saya sedikit khawatir tentang sektor pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Lihat perbandingan PISA (Programme for International Student Assessment) yang dibikin Organisasi untuk Kerja Sama Pembangunan Ekonomi (OECD). Hasil PISA terakhir, murid-murid di Vietnam lebih maju daripada murid di Indonesia.

Kalau pemodal mungkin membandingkan lokasi A, B, dan C. Mereka memilih lokasi yang memiliki pendidikan baik, logistik baik, infrastruktur baik, terbuka untuk investasi, dan iklim bisnisnya bersahabat. Indonesia memang oke, tapi tidak sekompetitif negara lain seperti Vietnam.

Sekarang banyak perusahaan multinasional di dunia takut kepada Cina. Artinya, ada perang dagang. Karena itu, perusahaan-perusahaan multinasional itu memulai proses diversifikasi, yaitu strategi China plus one. Mereka tetap di Cina, tapi juga memerlukan negara-negara lain. Banyak data tentang proses diversifikasi itu dan rupanya negara pertama yang perusahaan multinasional pilih, selain Cina, adalah Vietnam. Negara kedua adalah India, lalu Thailand.

Apakah pembangunan infrastruktur tidak cukup menarik bagi investor?

Saya setuju dengan Jokowi bahwa Indonesia mengalami defisit infrastruktur. Itu mungkin karena masih ada pengaruh krisis moneter akibat krisis keuangan Asia. Tapi saya hanya ingin tanya, mengapa masih ada subsidi BBM? Itu juga kembali ke masalah batasan ruang fiskal. Walaupun ada infrastruktur di sektor swasta dan khusus proyek besar biasanya dari pemerintah, kalau ruang fiskal terbatas untuk pemerintah pusat, akan ada kendala. Apalagi ada proyek raksasa Ibu Kota Nusantara (IKN).

Apakah ada faktor lain, seperti penegakan hukum, regulasi?

Saya kira, bagi investor asing, mereka selalu membandingkan beberapa negara. Mereka bisa dikatakan bikin semacam daftar periksa. Ada banyak faktor positif. Pertama, Indonesia punya stabilitas politik. Kedua, Indonesia negara raksasa. Indonesia, menurut beberapa estimasi, akan menjadi negara dengan ekonomi nomor empat pada 2050. Ketiga, ekonomi makro. Bank Indonesia dianggap salah satu bank sentral terbaik di dunia. Keempat, inflasi tidak terlalu tinggi.

Bagaimana dengan korupsi? 

Saya selalu memeriksa indeks persepsi korupsi dari Transparency International. Menurut indeks itu, risiko korupsi Indonesia agak tinggi. Jadi mungkin investor sedikit khawatir. Juga tentang pengadilan dan hukum. Kadang-kadang investor asing sedikit khawatir kalau ada sengketa hukum kemungkinan besar mereka akan kalah. Karena itu, kadang-kadang investor memilih hukum Singapura kalau bersengketa.

Faktor upah buruh juga?

Tingkat upah riil di Indonesia kira-kira sama dengan negara lain. Kecuali itu, Indonesia setelah era demokrasi mengalami perubahan dalam peraturan tenaga kerja, yaitu tingkat upah minimum naik. Itu berarti bahwa di pasar tenaga kerja ada dualisme antara yang menerima proteksi melalui peraturan dan yang di luar sistem itu, tanpa proteksi, yaitu sektor informal.

Menurut peneliti di sektor tenaga kerja, mereka khawatir disparitas antara tingkat upah di sektor yang diproteksi dan yang informal itu naik. Mungkin investor asing sedikit khawatir soal pembayaran pesangon. Itu topik yang sensitif. Dibanding Vietnam, tingkat upah Indonesia lebih tinggi. Tapi, jika produktivitasnya tinggi, tidak ada masalah dengan upah tinggi.


Hal Hill

Karier

  • Profesor Emeritus Australian National University, Australia
  • Anggota Komite Penasihat Internasional Journal of Southeast Asian Economies
  • ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura
  • Anggota Dewan Penasihat Monash University, Australia
  • Anggota Dewan Pengurus Australian National University, Australia
  • Presiden Council of the East Asian Economic Association, 2020-2021

Pendidikan

  • Master dari Monash University, Australia
  • Doktor dari Australian National University

Publikasi

  • The Indonesian Economy, 2000
  • Regional Dynamics in Decentralized Indonesia, 2014
  • Diagnosing the Indonesian Economy: Towards Inclusive and Green Growth, 2012 (co-author)
  • The Indonesian Economy in Transition: Policy Challenges in the Jokowi Era and Beyond, 2019 (co-author)

Bagaimana dengan ekspor yang didominasi komoditas, seperti sawit dan batu bara, yang dianggap tidak berkelanjutan?

Indonesia sebetulnya sama dengan Australia yang memiliki banyak sumber daya alam. Pertanyaannya, bagaimana mengelolanya? Apakah Indonesia mengalami kutukan sumber daya alam? Ada banyak diskusi tentang ini, yaitu paradoks bahwa negara yang punya banyak sumber daya alam pembangunan ekonominya tidak maju. Kuncinya adalah manajemen sumber daya alam. Yang penting adalah sistem pajak supaya masyarakat mendapat untung dari sumber daya alam itu. Kalau sistem pajak efektif, banyak dana yang bisa dipakai untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain.

Ketergantungan pada komoditas itu merugikan lingkungan hidup dan masyarakat adat. Anda setuju?

Salah satu contoh sektor hutan. Kalau saya baca hasil penelitian ahli sektor kehutanan, ada masalah deforestasi besar sekali, ada masalah korupsi. Mungkin Indonesia sekarang nomor tiga dalam jumlah luas area hutan tropis setelah Brasil dan Kongo. Indonesia mungkin tidak mendapat untung banyak dari sektor kehutanan. Apalagi sekarang, karena perubahan iklim, seluruh dunia meminta Indonesia, Brasil, Kongo, dan lain-lain jangan menebang pohon. Tapi, kalau Indonesia masih belum kaya, ya kalau negara kaya minta Indonesia jangan memotong pohon, mereka harus kasih kompensasi. Di COP28 di Dubai, negara berkembang meminta dana kerugian dan kerusakan dan sampai sekarang kemajuannya kecil sekali. 

Bagaimana menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan?

Sebetulnya tidak harus dipilih. Ada yang disebut ekonomi pembangunan hijau. Ada banyak contoh di dunia ekonomi yang maju itu ekonomi hijau. Kembali ke masalah subsidi BBM. Kalau harga bensin rendah sekali, ada insentif untuk memakainya. Tapi bagaimana misalnya kalau ada pajak untuk pemakaian bensin dan hasil pajaknya dipakai untuk subsidi kendaraan listrik? Supaya ada insentif untuk transisi dari energi fosil ke energi bersih. Tidak harus memilih antara melindungi lingkungan dan pembangunan ekonomi. Yang penting adalah kebijakannya supaya ada proses transisi. Contohnya industri batu bara. Indonesia dan Australia punya banyak batu bara. Sekarang sangat menguntungkan. Industri batu bara kuat sekali. Kuat politiknya. Di Australia, asosiasi perusahaan batu bara adalah salah satu asosiasi terpenting. Saya kira juga di Indonesia.

Apakah kuatnya industri batu bara yang membuat pemerintah enggan mempercepat transisi energi?

Di semua negara yang punya banyak batu bara, masalahnya sama.

Energi hijau masih lebih mahal dari energi fosil. Anda punya data lain?

Dalam ekonomi, untuk hal semacam ini kita memakai istilah eksternalitas, yaitu ongkos riil mungkin lebih tinggi daripada ongkos pasar. Misalnya, kalau saya naik kendaraan yang memakai bensin, ongkos untuk saya adalah harga bensin. Ongkos untuk lingkungan lebih tinggi, tapi saya tidak membayar ongkos itu. Namanya eksternalitas negatif. Kalau ada eksternalitas negatif seperti itu, berarti ada peran untuk pemerintah. Mungkin memakai pajak supaya ongkos riilnya lebih tinggi. Jadi mungkin lebih baik subsidi dihapuskan dan ada pajak supaya ada insentif untuk pemakaian kendaraan listrik daripada kendaraan yang memakai bensin.

Sering kali pertimbangan politik lebih dominan dalam hal subsidi BBM....

Memang. Semua kembali ke politik dan kepemimpinan politik. Mudah-mudahan presiden setelah Jokowi punya banyak visi. Tapi politik kadang-kadang susah juga. Contohnya soal subsidi itu. 

Apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia?

Bisa dari sektor pendidikan. Banyak perubahan dalam 20-50 tahun terakhir. Hampir semua orang Indonesia bisa membaca. Masalah sekarang adalah kualitas alih-alih kuantitas. Kalau saya lihat hasil penelitian di sektor pendidikan, 20 persen yang di atas itu bagus sekali kualitasnya. Mungkin yang 40 persen ke bawah ada masalah. Selain itu, infrastruktur penting, juga perbaikan kualitas institusional, penanganan korupsi, kolusi, nepotisme, dan sebagainya. Dan, ini lagi, saya kira Indonesia tidak perlu takut terhadap globalisasi. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Indonesia Tak Perlu Takut Globalisasi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus