Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Film Butuh Keterbukaan untuk Berkompetisi

15 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perfilman Indonesia seperti sedang berada di periode emas. Produksi film dalam negeri melonjak drastis dibanding dua dekade belakangan. Pada 2014, jumlah produksi film domestik mencapai angka tertinggi: 115 judul film. Angka itu jauh lebih banyak ketimbang produksi film mulai 1991 hingga 2001, yang total hanya 94 film.

Menggeliatnya dunia film ini mendapat dukungan dari pemerintah Joko Widodo melalui paket kebijakan ekonomi ke-10 yang diluncurkan Kamis pekan lalu. Salah satunya adalah mengeluarkan industri film dan bisnis peredarannya dari daftar negatif investasi, yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Pada Kamis pekan lalu, Tempo mewawancarai salah satu sineas tersukses Indonesia, Mira Lesmana, untuk menyikapi perkembangan tersebut. Mira juga menjelaskan berbagai hal lain yang menjadi isu di dunia perfilman nasional, seperti persoalan sensor, minimnya sekolah film, dan pengalamannya pertama kali menembus jaringan 21Cineplex. "Saya menemui langsung Sudwikatmono," kata perempuan 51 tahun itu.

Mira adalah produser film terlaris Indonesia sepanjang masa: Laskar Pelangi, dengan 4,7 juta penonton. Mira juga adalah motor gerakan Masyarakat Film Indonesia ketika mengembalikan Piala Citra ke panitia Festival Film Indonesia (FFI) pada 2006. Sejak itu Mira tak lagi mengikutkan filmnya di festival. Tapi sikap itu berubah pada 2014, ketika filmnya, Sokola Rimba, didaftarkan dan kemudian menyabet gelar Pemeran Wanita Terfavorit (Prisia Nasution) dan Pemeran Anak-anak Terbaik (Nang Kabau).

Dalam wawancara selama dua jam di kantor Miles Productions di kawasan Rempoa, Jakarta Selatan, Mira juga membagi cerita bagaimana film Ada Apa dengan Cinta? 2 kembali dibuat, juga tentang perubahan sikapnya terhadap Festival Film Indonesia. Berikut ini petikan perbincangannya dengan Tito Sianipar, Dian Yuliastuti, Moyang Kasih, dan fotografer Nurdiansah dari Tempo.

* * * *

Pemerintah mencabut industri film dari daftar negatif investasi (DNI). Apakah ini membantu sineas Indonesia?

Pasti membantu. Persoalan ini sudah lama dibicarakan. Pernah ada titik di mana semuanya against karena film sebagai produk kebudayaan. Ketika film diposisikan sebagai produk budaya, artinya tidak boleh ada intervensi asing. Lalu kita lihat ada kemajuan atau tidak bila film di-treat sebagai produk budaya? Ternyata tidak ada. Lalu di titik ketika film sebagai industri kreatif mulai dibicarakan kembali dan sekarang dicabut. Kita butuh keterbukaan untuk bisa berkompetisi agar maju seperti negara lain. Dengan dikeluarkannya film dari DNI, kita harus siap dengan semua perangkat lain yang bisa memastikan bahwa pemain lokal terproteksi dan tetap meraih keuntungan. Kalau negara pasti diuntungkan. Tapi bagaimana agar kita pemain tetap bertahan. Misalnya soal sekolah. Kita harus punya sekolah film agar kita bisa beraksi. Ini kadang-kadang yang terlupakan. Kita harus punya tameng untuk proteksi.

Apa keuntungannya pemain asing masuk di industri film nasional?

Yang paling menguntungkan adalah peluang terbuka. Ketika peluang terbuka, kompetisi akan hadir. Artinya, keinginan untuk belajar seharusnya juga tinggi. Harapan saya, itulah yang akan terjadi. Meski film dicabut dari DNI, itu tidak akan langsung terbuka drastis. Tapi pasti ada waktu untuk menyiapkan. Tapi jangan terlena juga. Kita harus standby dengan profesionalisme. Semua harus bergerak begitu dibuka.

Adakah dampak negatifnya?

Saya harus terus terang, saya sebenarnya belum ter-update seratus persen karena sedang sibuk. Tapi saya tahu persis teman-teman di Aprofi (Asosiasi Produsen Film Indonesia), di mana saya duduk sebagai penasihat, sudah menyiapkan. Saya pikir semua akan standby. Kalau sampai sesuatu terjadi yang sifatnya bisa melukai industri kita, pasti mereka akan bergerak. Sebagai dewan penasihat, terakhir yang saya katakan kepada teman-teman adalah jangan lupa bahwa kebijakan-kebijakan itu perlu untuk melindungi dan memastikan bahwa kita siap. Jangan sampai kita maju satu langkah ke depan, ternyata masih ada yang ketinggalan.

Kalau dikaitkan dengan era Masyarakat Ekonomi ASEAN, bagaimana nasib industri film dalam negeri kita?

Di sini sebenarnya dibutuhkan peran pemerintah dan kebijakan pendamping. Dan kita harus lihat prospek ke depan. Jangan sibuk sendiri dengan membatasi impor film Amerika, misalnya. Kita seharusnya bilang, "Oke deh, film Hollywood masuk, tapi film Indonesia juga harus masuk sana." Daripada sibuk berteriak jatah film Hollywood harus diturunkan, itu lebih susah. Soalnya filmnya bagus. Sekarang bagaimana kita bisa penetrate untuk keuntungan kita, termasuk ASEAN. Kita bisa bersatu menghadapi dunia besar di luar sana. Kalau mau, ASEAN bisa menghadapi sama-sama, misalnya sekian film Amerika masuk, tapi sekian film Thailand, film Filipina, dan film Indonesia juga harus masuk ke sana. Itu memperkuat bargaining power.

Bagaimana masa depan perfilman kita terkait dengan era keterbukaan informasi?

Kalau kita ngomong arus informasi, ada prediksi bioskop itu suatu hari nanti tidak akan sebesar sekarang. Untuk mengakses film, orang tak perlu susah-susah ke bioskop. Karena ada pilihan web series, film digital, dan sebagainya. Ini sesuatu yang sedang dialami oleh banyak negara. Ketika orang berpikir dunia sinema sudah berakhir dan semua akan beralih ke digital, ternyata bioskop masih bertahan, walaupun genre film yang diproduksi memang berbeda. Kalau kita lihat Hollywood, semua action dan mengandalkan CGI (computer-generated imagery), sementara kita untuk membuat yang seperti itu masih susah sekali.

Bagaimana sikap Anda terhadap pemblokiran Vimeo dan Netflix oleh pemerintah?

Vimeo menurut saya ada salah persepsi. Saya sempat dihubungi (Menteri Komunikasi dan Informatika) Rudiantara untuk dimintai pendapat. Menurut saya, Vimeo sebenarnya tidak seperti Netflix. Dia adalah media di mana orang sinema dari seluruh dunia berinteraksi. Kalau ada film yang mau diikutkan ke festival, tidak perlu jauh-jauh, tinggal upload videonya, kirim link-nya, dan ada password-nya. Kalau Vimeo ditutup, itu saya tidak sepakat. Netflix juga. Kalau Netflix malah bagus banget. Saya bukan orang yang anti-terbukanya arus informasi. Adanya Netflix membuat kita punya akses lebih untuk menikmati film-film bagus dengan cara yang benar. Ketimbang beli bajakan.

Jadi tidak setuju Vimeo dan Netflix diblokir?

Sama sekali tidak setuju.

Keberadaan Netflix tidakkah merugikan produsen film seperti Anda?

Memang dilematis soal keterbukaan ini. Selalu ada yang melihat dari kacamata berbeda, sama kayak sensor. Tidak mudah. Ketika kita tidak mau disensor, orang langsung bilang anarkislah, mau bikin film pornolah. Sangat sulit sekali menjelaskan apa manfaatnya dan apa dampak negatifnya. Yang dipusingkan menurut saya bukan soal apakah harus ditutup atau dibuka, tapi bagaimana jaminan keamanannya. Kalau dikhawatirkan bisa masuk hal-hal yang sifatnya tidak baik, seharusnya dipikirkan how we filter this. Kalau malas memfilter dan mencari cara gampang, akhirnya diblok semua.

Soal FFI, Anda sempat memboikot, lalu terakhir mengikutkan film Sokola Rimba. Apa yang terjadi?

Yang terjadi adalah Jokowi (Presiden Joko Widodo), ha-ha-ha.... Saya dulu meninggalkan FFI karena persoalan politik. Banyak yang salah melihat. Gerakan MFI (Masyarakat Film Indonesia) bukan gerakan melawan institusi FFI yang ketika itu memilih sebuah film yang tidak patut menang. Persoalannya terkait dengan Undang-Undang Film yang sudah kedaluwarsa dan ketinggalan jauh dari Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran. FFI cuma kebagian sebagai tempat menyatakan sikap menolak Undang-Undang Film itu. Dan kami sudah berhasil mengubah undang-undang itu melalui Mahkamah Konstitusi. Meski untuk urusan sensor kami kalah, Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan undang-undang itu tidak lagi sesuai dengan zaman dan harus diubah. Lalu DPR bergerak menghasilkan undang-undang baru, meskipun hasilnya masih sangat buruk.

Kaitannya dengan Jokowi?

Saya secara terbuka mendukung Jokowi. Dan, ketika Jokowi duduk sebagai kepala pemerintahan, saya harus membantu dan mendukung pemerintah tapi tetap dengan sikap kritis. Sekarang ikut serta terkait dengan pernyataan politik saya mendukung pemerintahan saat ini, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Berarti bukan karena ada perbaikan-perbaikan dalam tubuh FFI?

(Menghela napas) Perbaikannya masih panjang. Saya tidak pernah ada masalah dengan penjurian yang memang dari dulu diisi orang-orang yang bisa menilai. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Ketika sistem polling yang dipakai, waduh, ini gimana, sih? Kita belum matang sebagai satu masyarakat film. Di FFI seperti ada kebingungan; sempat ganti desain piala dan sekarang balik lagi. Itu enggak penting. FFI itu adalah ajang apresiasi film Indonesia. Zaman dulu ada excitement-nya dan masyarakat ikut serta. Saya ingat dulu waktu kuliah saya bela-belain ke Bandung ikut pertemuan dengan Teguh Karya dan lain-lain. Sepanjang satu minggu itu pesta film. Tapi sekarang FFI tidak lebih sebagai acara televisi. Bahkan pemberian hadiah bisa terpotong karena ada iklan. Ada martabat yang hilang. Memang ada perbaikan, tapi belum seperti dulu itu. Karena FFI itu adalah patokan yang punya prestige dan wibawa.

Untuk Undang-Undang Film yang Anda bilang belum memuaskan, selain sensor, apa lagi yang perlu jadi perhatian?

Masih sama seperti dulu. Misalnya persoalan distribusi dan tata edar yang belum rapi. Dan yang paling parah adanya aturan pidana dalam dunia perfilman. Masak, bikin film bisa masuk penjara? Bagaimana mau bicara dunia kreatif tapi dikurung dalam kerangkeng. Di situ kami terlambat bergabung bersama gerakan pembaruan Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pers untuk mengartikan apa itu kebebasan berekspresi. Hampir semua butir harus dilihat kembali dan disesuaikan dengan zaman.

Bukankah penyusunan ketika itu melibatkan insan film?

Bukan tidak melibatkan. Di dunia film ada berbagai kelompok yang memandang undang-undang secara berbeda-beda. Saya bicara seperti ini pasti ada juga yang tidak setuju. Ketika berkumpul duduk bersama tetap dengan agenda masing-masing, bukan untuk agenda bersama. Harus ada penengah.

Soal tata edar, apa yang perlu diperbaiki?

Pemain yang ada sekarang sedikit. Cuma Cinemax, 21Cineplex, Blitz, Independen, dan New Star. Tata edar tidak bisa dilihat dari satu sisi. Yang mendistribusikan seharusnya bukan kita sebagai produser dan bukan juga bioskop, melainkan perusahaan distribusi. Itu yang belum ada di Indonesia. Seharusnya posisi distributor di tengah, di antara ekshibitor dan filmmaker. Dia yang membeli film dari produser, bernegosiasi dengan bioskop. Di Hollywood, ada Fox, MGM, dan sebagainya. Sebelum reformasi, itu dimainkan oleh PT Perfin (Peredaran Film Indonesia). Mereka wakil negara yang menguasai distribusi film untuk semua bioskop seluruh Indonesia dan sistemnya beli putus. Kemudian terjadi masalah yang dinilai tidak fair oleh orang-orang film. Lalu film Indonesia mati pada 1990-an. Setelah itu jaringan 21Cineplex dan film Hollywood merajai. Tidak ada yang memprotes soal nasib film Indonesia, semua lari ke televisi. Lalu kami bikin film Kuldesak, dengan histori Eros Djarot dan Slamet Rahardjo membawa 21Cineplex ke pengadilan karena film Langitku Rumahku diturunkan dari bioskop hanya dalam jangka waktu tiga hari. Sewaktu bikin Kuldesak, kami bersama Riri Riza, Nan Achnas, dan Rizal Mantovani mikir-nya, "Kapan gue jadi filmmaker?" Kami juga pingin film kita berdampingan dengan film Tom Cruise. Kami datang dan berhadapan langsung dengan Sudwikatmono. Kami bilang, "Pak, kami mau film kami diputar di 21Cineplex!"

Bertemu di mana?

Di kantornya di Gatot Subroto. Itu tahun 1996. Segala cara kami tempuh untuk bisa menemui dia. Kami bawa VHS kecil untuk menunjukkan trailer kami. Mungkin dia waktu itu berpikir, "Waduh, ini anak-anak kecil siapa, sih?" Ha-ha-ha....

Bagaimana reaksi Sudwikatmono?

Dia bertanya apakah filmnya sudah jadi. Kami jawab belum dan yang kami bawa itu cuma pilot-pilotan. Lalu dia bilang begini, "Ya sudah, bikin saja dulu filmnya. Nanti kalau filmnya sudah jadi, bawa lagi ke sini." Habis itu kami kalang-kabut cari cara bagaimana filmnya jadi, ha-ha-ha.... Setelah filmnya jadi, di saat bersamaan reformasi terjadi. Dan dia (Sudwikatmono) sudah tidak ada dan diganti Harris Lesmana. Kami ceritakan janji Sudwikatmono dan akhirnya diputar. Dengan sok tahunya, waktu itu saya bilang, "Kalau sampai tidak ada penontonnya, silakan turunkan." Karena kita mendengar persoalan Slamet Rahardjo tadi. Hasilnya di luar dugaan kami dan 21Cineplex.

Kenapa film Ada Apa dengan Cinta? (AADC) akhirnya dibikin sekuel?

Tahun 2002 tidak pernah berpikir bahwa film itu akan berlanjut. Memang didesain untuk satu film. Tapi banyak orang minta dilanjutkan dan ada tawaran dari negara lain, seperti Malaysia dan Filipina. Tapi tidak kami ambil. Yang tidak saya sangka adalah setelah menjadi box office dan dicintai banyak orang, ternyata tidak luntur dimakan waktu. Sampai kemudian pada 2012, Nicholas Saputra (pemeran Rangga) ngomong ke saya "Mbak, kita sudah sepuluh tahun lho. Masak, kita enggak bikin sesuatu, sih?" Akhirnya bikin acara peringatan 10 tahun di PPH UI, Kuningan, Jakarta. Ketika itu saya melihat Dian Sastrowardoyo, Nicho, dan semua pemain lainnya menjadi menarik sekali. Sampai akhirnya Line datang bikin iklan, saya ngobrol dengan Riri Riza. Ada film-film yang menarik seperti Boyhood, di mana film mengikuti karakter sampai belasan tahun dengan aktor yang sebenarnya. Tantangan soal rentang waktu yang panjang malah jadi menarik. Kita juga semua masih ada, masih berada di dunia film. Let's do this!

Jadi dipicu oleh iklan Line itu?

Sebenarnya sudah sebelumnya, dari 2012. Sepuluh tahun sejak 2002. Kalau iklan Line 2014, dua tahun setelahnya. Mungkin Line juga melihat keramaian saat sepuluh tahun itu, masih tetap seru.

Apakah ini artinya Anda tunduk pada tren membuat sekuel film-film yang memang laris demi monetizing film?

Kalau saya tunduk, seharusnya saya sudah buat dari 2003, dong. Ada prinsip yang saya dan Riri anut bahwa kami tidak suka membuat sekuel. Tema begitu banyak, why do sequel? Ada terlalu banyak yang harus kita gali dan ceritakan. Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi berbeda karena itu sudah jadi satu kesatuan. Kita membuatnya sekaligus karena memang dua bentuk yang kita ambil untuk kita kerjakan: masa kecil Ikal dan masa remaja Ikal. Tapi, menurut saya, ini beda, AADC beda. Yes, of course it's a sequel, tapi ada jarak waktu yang sangat panjang. Film AADC 2 ini tentang mereka 14 tahun kemudian. Bukan sekuel setelah ditinggal lalu dilanjutkan. Rentang waktu 14 tahun ini yang justru menjadi tantangan lain. Soal monetize memang harus ada. Tapi prinsip utama tetap apa yang kita kerjakan harus yang kita mau. Bukan datang dari pasar. Kalau tidak punya gairah untuk membuat, kenapa harus kita paksa?

Untuk AADC, berapa jumlah penontonnya?

Sekitar 2,7 juta. Saat itu. Saya tidak tahu persamaannya saat ini berapa. Tapi jumlah layar pasti berbeda. Dulu juga masih pakai seluloid.

Kalau target sekarang berapa?

Waduh. Ngeri banget untuk mendahului pasar. Saya tidak bisa bayangkan. Sebab, kalau secara hitungan, bisa 1 juta saja sudah alhamdulillah. Soalnya jumlah produksi film Indonesia terus meningkat, padahal jumlah penonton terus menurun sejak 2009.Kalaupun ada yang meledak, itu bisa dihitung. Ketika penonton menurun, itu berarti ada rasa malas untuk menonton. Penonton menjadi sangat pemilih, kita kehilangan jejak apa sih sebenarnya yang mereka cari. Bagaimana penonton merespons AADC 2, saya tidak tahu. Tapi saya berharap bisa sukses.

Penonton menurun, tapi jumlah film masih banyak. Menurut Anda, kenapa hal itu terjadi?

Mungkin karena fakta bahwa ada film bisa mencapai angka 4,7 juta, yaitu Laskar Pelangi. Terus Habibie Ainun 4,3 juta dan Ayat-ayat Cinta 3,8 juta. Angka besar itu membuat rasa penasaran dan gairah filmmaker, sehingga makin banyak yang mencoba untuk terjun. Kalau di luar itu, saya juga kurang mengerti. Atau mungkin alasan kedua adalah dunia perfilman itu seksi. Pemain baru terus berdatangan. Paling seksi di antara dunia kreatif, hip dan asyik.

Mira Lesmana
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 8 Agustus 1964 Suami dan anak: Mathias Muchus, 2 anak Pendidikan: Lulusan Institut Kesenian Jakarta Jabatan: Pemilik dan pemimpin Miles Production (1996-sekarang), anggota Dewan Pertimbangan Asosiasi Produsen Film Indonesia (2013-sekarang) Film: Kuldesak (1998) Petualangan Sherina (2000) Ada Apa dengan Cinta? (2002) Eliana, Eliana (2002) Rumah Ketujuh (2003) The Year of Living Vicariously (2005) Gie (2005) Garasi (2006) Laskar Pelangi (2008) Sang Pemimpi (2009) Sokola Rimba (2013) Pendekar Tongkat Emas (2014) Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016) Emak (2016)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus