Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pesan Dagang dan Pesan Politik

Kritikus seni rupa Agus Dermawan T. membabarkan kisah tiga seniman Tionghoa terkenal: Lee Man Fong, Lim Wasim, dan Siauw Tik Kwie. Tergulung geger 1965.

15 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judul: Melipat Air: Jurus Budaya Pendekar Tionghoa
Penulis: Agus Dermawan T.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Edisi: 1, Februari 2016
Tebal: 307 halaman

SUATU kali, pada pertengahan 1960-an, Presiden Sukarno berseru kepada pelukis Lee Man Fong, yang lama tak tampak di lingkungan Istana. Bahasanya menunjukkan keakraban: "Hei, kau masih hidup? Kukira kau sudah mati, tenggelam api revolusi!" (halaman 180). Tapi, hanya beberapa tahun kemudian, "api revolusi" itu malah menggulung Si Boeng.

Geger politik 1965 di Indonesia menggulung pula nasib sejumlah seniman, tak terkecuali seniman Indonesia keturunan Tionghoa. Tiga nama dicatat khusus di dalam buku Melipat Air: Jurus Budaya Pendekar Tionghoa karya Agus Dermawan T. ini: Lee Man Fong (1913-1988), Lim Wasim (1929-2004), dan Siauw Tik Kwie (1913-1988). Man Fong adalah pelukis istana, memperoleh kewarganegaraan Indonesia dari Sukarno pada 1961 dan baru tampil lagi di medan seni di Indonesia pada 1980-an setelah "menghilang" pada akhir 1965 (halaman 19). Ia mendirikan Yin Hua, organisasi seniman Tionghoa, pada 1955—yang jarang dicatat oleh sejarawan seni rupa kita—yang cita-citanya adalah "mengindonesiakan para seniman Tionghoa".

Man Fong tidak lulus sekolah dasar. Bakat melukisnya yang menonjol mula-mula hanya melahirkan iklan kecil untuk koran dan majalah, sebelum ia hijrah ke Indonesia (1932) dan bekerja sebagai perancang di perusahaan terkemuka Kolff & Co di Jakarta. Kita ingat, perusahaan itu memiliki "balai pameran" bergengsi yang antara lain pernah memamerkan karya seniman Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1940.

Adapun Lim Wasim adalah asisten Man Fong di lingkungan Istana Presiden. Ia anak tukang masak restoran Hoa Seng di Bandung di zaman Belanda. Pada 1950, ia bertekad belajar seni rupa di Beijing dengan bekal Rp 800 dan masih harus membeli tiket kapal laut seharga Rp 600. Di sanalah, di Institut Seni Rupa Pusat, Beijing, ia memperdalam bahasa seninya: realisme. Bahkan kemudian ia mengajar di Shaanxi Provincial College of Fine Arts di Xian. Balik ke Indonesia, gajinya sebagai pelukis istana yang hanya Rp 4.000, yang setara dengan penghasilan tukang kebun, menyelamatkan hidupnya (halaman 178). Wasim keluar dari Istana pada 1968 tanpa surat pensiun. Situasi pasca-1965 mengubah nasibnya menjadi tukang roti dengan nama Hoa Sim sampai tampil lagi sebagai pelukis pada 1990-an. Rencana peluncuran buku koleksi seni Sukarno (jilid VI-X) pada 6 Juni 1966 yang memuat 500 lukisan pilihan Wasim bubar karena tragedi politik yang meminggirkan semua yang berbau Sukarno.

Siauw Tik Kwie—kemudian berganti nama menjadi Oto Swastika—adalah pelukis sejak era Bataviasche Kunstkring. Tik Kwie adalah pendiri Serikat Rakyat dan Buruh Tionghoa yang menyokong gerilyawan Indonesia dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surakarta pada 1946. Tapi Tik Kwie pasti lebih dikenal sebagai komikus ajaib yang melahirkan seri komik Sie Djin Koei, gabungan antara imajinasi komikus dan fiksi ketokohan yang terdiri atas 700 halaman dan digarap selama tujuh tahun (1954-1961). Ketika menggarap komik itu, ia belum pernah ke Tiongkok. Tik Kwie boleh disebut sebagai pelopor komik silat di Indonesia.

Komikus Ganes Th., yang melahirkan sejumlah adikarya komik dalam genre ini, tercatat sebagai anak didiknya. Sayang, gambar-gambar asli komik Tik Kwie itu, yang berukuran 1 plano, sudah lenyap dibakar oleh percetakan PT Keng Po pada 1966 karena rumor penggerebekan terhadap majalah Star Weekly yang memuatnya (halaman 108).

Kecuali narasi-narasi biografis yang tidak terlalu rinci dituliskan, ada "pesan dagang" dan "pesan politik" yang samar-samar bisa dipetik dari buku ini. Di masa silam, orang-orang Tionghoa, yang dikenal sebagai kolektor seni, menyandang status sebagai "tiga er", yakni "dokter", "mister", dan "anemer". "Kematian" habitus kekolektoran dengan "tiga er" inilah yang agaknya menjelma hiruk-pikuk pasar seni rupa kontemporer dewasa ini. Jika "kesempatan dagang adalah kunci dari tradisi orang-orang Tionghoa untuk bermain di wilayah seni rupa" (halaman 14), sejauh apa "pesan dagang" itu mempengaruhi estetikanya? Bahwa ada pelukis yang seakan-akan hanya tahu "melukis" dan berjarak dari politik praktis tentunya tidak bermakna bahwa "estetika" adalah sesuatu yang begitu "murni" dari politik. Kecondongan penulis pada gaya lukisan naturalis atau Hindia Jelita tentu saja sah. Yang kurang tajam adalah elaborasi "pembelaan" pada karya-karya itu untuk memperdalam paparan tentang karya. Kisah tentang pelukis adalah satu hal, pencapaian artistik tentunya adalah perkara lain.

Hendro Wiyanto, Kurator Seni Rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus