Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia dikenal sebagai menteri empat presiden. Dan menjadi Menteri Pertahanan bukan hal baru baginya.
Kita kenal tokoh ini, Juwono Sudarsono, kini 64 tahun, mungkin sejak ia masih seorang dosen jurusan politik dan program pascasarjana Universitas Indonesia. Ia memang doktor yang lulus dari sekolah beken di Inggris, London School of Economics (LSE). Juga lulus dengan predikat cum laude pada 1978.
Dunia akademis adalah dunia yang luas, tapi Juwono dibutuhkan oleh sesuatu yang lebih luas. Mulanya Soeharto menempatkan dia sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Lalu, tiap-tiap presiden?kecuali Megawati Soekarnoputri dan ayahandanya dulu?memakainya. Presiden B.J. Habibie mendudukkan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Presiden Abdurrahman Wahid mengangkatnya jadi Menteri Pertahanan. Di sana, dialah orang sipil pertama.
Juwono bekas dosen, mantan diplomat, tapi bukan purnawirawan jenderal. Dan ia punya agenda khusus: restrukturisasi bisnis tentara. Termasuk membuat semua unit usaha TNI bernaung di bawah satu induk perusahaan, kemudian sahamnya dijual secara terbuka. Dengan dunia luar ia harus bekerja keras, paling tidak membereskan dua hal: soal pencabutan embargo senjata Amerika Serikat, dan hubungan pertahanan RI-Australia.
Berikut wawancara wartawan Tempo Rommy Fibri dan Nurdin Kalim, serta fotografer Hendra Suhara, dengan Juwono Sudarsono. Wawancara berlangsung pada Rabu siang pekan lalu di kantornya, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Sebetulnya, masalah apa saja yang kini dihadapi Departemen Pertahanan?
Menteri Pertahanan sebelum saya kan sakit dan tidak bisa melaksanakan tugasnya. Nah, dalam situasi seperti ini pembagian kewenangan menjadi tidak jelas. Ada tumpang tindih kewenangan antara Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI, terutama dalam pembelian alat-alat sistem pertahanan.
Lalu apa fokus utama yang akan Anda benahi?
Tugas utama saya hanya menyiapkan sistem. Sehingga, siapa pun pengganti saya, sistem kelembagaan sudah berjalan. Apalagi pada waktu mendatang Mabes TNI melekat dengan Departemen Pertahanan.
Bagaimana dengan bisnis TNI, Anda juga akan menertibkannya?
Harus ada restrukturisasi bisnis TNI. Saya sudah melakukan pertemuan dengan Menteri BUMN, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Panglima TNI untuk membicarakan sejumlah bisnis yang bernaung di bawah bendera TNI. Kita berkesimpulan, yang paling tepat adalah semua bisnis itu dinaungi oleh perusahaan induk, kemudian dijual sahamnya secara terbuka. Dengan begitu akan menjadi lebih transparan.
Apa sebetulnya tujuan restrukturisasi itu?
Selain untuk menutup defisit anggaran pertahanan, kebijakan itu juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan para prajurit. Contoh yang cukup bagus adalah Thailand. Mereka mempunyai konsep manajemen yang baik. Ada perusahaan pengelola bank dan televisi yang sahamnya dimiliki tentara. Di Indonesia sudah ada Artha Graha, tapi pengelolaannya harus lebih transparan. Keuntungan pun dibagikan kepada mereka yang berpangkat rendah, bukan hanya bagi para pensiunan perwira tinggi. Jadi, yang penting harus transparan, manajemennya bagus, dan untuk prajurit berpangkat rendah.
Apakah para perwira siap menjalankan kebijakan itu?
Para perwira yang sudah pensiun sangat mendukung. Mereka menyadari dividen dan keuntungan yayasan-yayasan itu harus diberikan kepada para prajurit. Nah, yang perlu diyakinkan adalah para perwira yang masih menjabat. Masalahnya, permainan semacam ini sudah terjadi berpuluh-puluh tahun. Tapi giliran mereka, kok malah tidak kebagian jatah.
Bagaimana Anda mengantisipasi hal itu?
Akan saya tantang mereka untuk menjadi pelopor reformasi tata pemerintahan yang baik dan benar. Mereka juga harus lebih memikirkan prajurit berpangkat rendah. Dan yang paling penting, kalau mau profesional, harus bebas dari kepentingan bisnis.
Anda yakin itu akan berhasil?
Ini memang berat, karena para senior mereka sudah menikmati terlebih dulu. Tapi saya dengar hal ini sudah sejak 20 tahun lalu. Masak, hingga kini masalahnya masih sama juga. Memang tidak langsung drastis, melainkan dieksekusi secara bertahap.
Ini soal pembelian peralatan militer. Kewenangannya kan sudah sangat jelas diatur dalam UU Pertahanan Negara, tapi kenapa prakteknya masih selalu terjadi silang sengketa antara Departemen Pertahanan dan TNI?
Bulan lalu saya dan Panglima, serta kepala staf, sudah berkumpul dan sepakat membuat jalan baru soal kewenangan semacam ini. Di masa depan, paling tidak dua tahun lagi, pengadaan untuk setiap angkatan bakal jelas mekanismenya. Semua harus lewat satu pintu, mulai dari perencanaan, pengajuan, hingga keputusan pengadaannya.
Selama ini, baik Departemen Pertahanan maupun setiap angkatan mengajukan sendiri-sendiri. Kesannya, semua bisa merencanakan dan membeli sendiri peralatan militernya. Ini perlu kita tertibkan demi terciptanya akuntabilitas, rasionalitas, dan efisien.
Kenapa harus menunggu hingga dua tahun?
Karena proses ini memakan waktu untuk penyesuaian. Sekarang saja Mabes TNI tidak tahu persis tiap-tiap angkatan maunya apa. Misalnya pengadaan pesawat tempur maupun kapal tempur, apa yang ada di Mabes berbeda dengan yang dirancang di Angkatan Laut. Selama ini semrawut dan jalan sendiri-sendiri.
Kami ingin semua berada dalam satu garis komando. Nah, kalau bisa dilaksanakan lebih cepat, justru lebih baik. Tapi saya perkirakan perlu waktu transisi hingga dua tahun. Dan sebetulnya surat keputusan menteri sudah ada. Kita tinggal mengawal proses transisinya di tiap-tiap angkatan dan jajaran Departemen Pertahanan.
Jadi, sebetulnya siapa yang memiliki kewenangan dalam menentukan pembelian peralatan militer itu?
Departemen Pertahanan menjadi penentu dan pemutus kebijakan terakhir dari semua pengadaan dan pengeluaran negara di bidang pertahanan.
Bagaimana dengan banyaknya pihak ketiga yang selama ini terlibat dalam bisnis peralatan militer? Apa langkah Anda untuk mengantisipasinya?
Betul, mereka terlalu banyak. Bahkan pejabatnya pun banyak yang terlibat. Masing-masing sudah punya rekanan sendiri. Seharusnya prosedur pembelian itu melihat kebutuhan dan daya perawatan. Misalnya, jika kita membeli pesawat, perlu kita lihat apakah kita memang memerlukan, cocok dengan kondisi Indonesia dan segala peralatan militer lainnya, dan juga pabriknya masih bertahan dalam waktu lama. Kalau barangnya hampir punah, kenapa harus kita beli? Lebih baik cari barang yang awet dan pabriknya masih bertahan dalam jangka panjang.
Saya sudah minta Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan dan Mabes TNI untuk menelaah siapa saja pejabat yang memiliki koneksi erat dengan para pialang. Saya tahu ada dari mereka yang berkomunikasi intensif dengan para pialang. Ini sedang kita benahi.
Termasuk memangkas mark-up yang kerap terjadi dalam pembelian peralatan militer?
Mudah-mudahan. Karena ini perang antara kemampuan efektif pemerintah dan ?penggiuran? dari para pialang.
Beberapa waktu lalu, Anda terkesan begitu semangat menyerahkan berkas kasus Scorpion ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Apa target Anda?
Saya ingin menunjukkan bahwa pejabat pemerintah harus memperlakukan anggaran keuangan dengan sebaik-baiknya, karena ini uang rakyat. Saya ingin membangun seluruh angkatan (bersenjata) sesuai dengan peran yang sesungguhnya, yakni memberikan layanan publik dalam sudut pandang pertahanan negara. Ini juga demi mendukung keamanan negara.
Sekarang soal hubungan bidang pertahanan antara Indonesia dan Amerika. Sebetulnya, bagaimana posisinya?
Sebenarnya hubungan kita baik, hanya masih ada beban masa lampau. Pertama, kejadian di Timor Timur (sekarang Timor Leste) pada September 1999, ketika para perwira kita dituduh melakukan pelanggaran hak asasi berat. Yang kedua, peristiwa Timika pada Agustus 2002, tatkala ada warga negara Amerika yang tewas dan diduga dilakukan oleh TNI.
Itu yang membuat Amerika hingga kini belum mencabut embargo untuk peralatan militer?
Untuk alat-alat dan persenjataan yang mematikan, mereka masih mengembargo. Tapi, jika pelatihan dan kerja sama lain yang sifatnya tidak termasuk alat-alat mematikan, mereka sudah merevisi hubungan. Saya merencanakan datang ke sana pada Maret 2005 untuk meyakinkan Amerika bahwa tentara kita tidak seperti yang dituduhkan. Hanya karena kejadian di Timor Timur, semua tentara dipukul rata. Tidak boleh begitu, dong.
Seberapa besar ketergantungan kita terhadap Amerika?
Kalau peralatan militer yang ada kaitan dengan sistem avionik, kita masih sangat tergantung.
Pemerintah gencar dikritik terlalu sulit berpaling dari Amerika. Apakah memang sesulit itu mencari kiblat lain?
Sistem di Amerika mengharuskan adanya cek dan perimbangan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, terutama soal jenis senjata yang dijual ke sekutu atau kawan. Nah, karena kita bukan aliansi, kita tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan Thailand maupun Singapura. Tapi akan saya katakan kepada mereka, jangan karena soal pelanggaran hak asasi berat yang dituduhkan, TNI secara korps tercederai.
Apakah di mata Amerika TNI itu memang sudah tercoreng?
Saya juga akan bertanya, sampai kapan TNI masih dijelek-jelekkan. Kebanyakan lembaga swadaya masyarakat di Amerika yang deras mengkritik TNI. Mereka kan sudah terlibat suatu industri, namanya ?industri hak asasi?, ?industri lingkungan hidup?, dan ?industri minoritas?. Pada satu titik, perjuangan LSM itu bagus, tapi ada saatnya sangat terjebak kepentingan donor asing yang penuh agenda.
Anda tampaknya begitu optimistis dengan langkah tersebut....
Yang penting saya jalani saja dulu. Saya kan bukan orang yang punya dolar (uang), sehingga harus bagi-bagi ke mereka. Akan saya katakan, saya ini orang sipil yang dipercaya pensiunan jenderal militer untuk mengatur urusan pertahanan. Mereka harus tahu, inilah dinamika demokrasi Indonesia yang baru.
Tapi hingga kini pemerintah memang tak mencoba melirik pasar lain yang lebih bagus?
Ada sih pasar lain, tapi pasar gelap. Itu mahal dan banyak yang mengambil keuntungan. Pasar gelap ini berdasarkan permintaan, sehingga mereka bisa main. Banyak yang main dari Singapura, Afrika, Timur Tengah, dan tempat lain. Malah, ketika acara pameran Indo defence bulan lalu, saya kedatangan banyak salesman. Termasuk duta besar ada juga yang jadi salesman.
Saya ingin membangun sistem pertahanan dengan memakai hitung-hitungan yang sehat. Jangan karena emosi sesaat. Kita harus pandai membuat kalkulasi soal untung-ruginya menjalin kontak dengan negara selain Amerika. Jangan sampai terjebak rayuan negara-negara yang hanya ingin mengambil keuntungan dari buntunya hubungan kita dengan Amerika.
Lalu, hubungan kita dengan Australia, kenapa selalu mengalami pasang-surut?
Sebetulnya tidak ada masalah krusial. Karena Australia tahu bahwa efektivitas peralatan militer kita rendah dan lebih diarahkan pada pertahanan dalam negeri.
Belakangan ini, terutama setelah kasus bom dan terorisme, banyak negara luar yang mencoba membantu, bahkan setengah memaksa mau mencampuri kebijakan pertahanan dan keamanan Indonesia. Sebagai Menteri Pertahanan, bagaimana Anda menyikapinya?
Sudah saya katakan, prakarsa untuk menindak pelaku teroris harus dilakukan pemerintah Indonesia. Dan itu bukan atas suruhan atau perintah dari Washington, Canberra, maupun London. Masalah terorisme ini akarnya bersumber dari ketidakadilan yang terjadi di dalam negeri, yakni korupsi dan manipulasi. Dan mereka membawa pesan yang hakiki, yaitu keadilan. Tapi mereka memanipulasi dan menggunakan ajaran Islam secara salah, sehingga membenarkan tindakan kekerasan untuk mendatangkan keadilan di Indonesia.
Apakah keinginan negara luar untuk mengintervensi itu bukan karena aparat penegak hukum dan keamanan kita dinilai lemah?
Lebih baik kita salah dan melakukan langkah mundur tapi karena keinginan sendiri, daripada melakukan sesuatu yang besar tapi karena perintah Amerika. Kalau untuk bantuan yang sifatnya nonmiliter, tidak jadi masalah. Asal jangan mengirim pasukan masuk ke Indonesia.
Indonesia kini telanjur dicitrakan negara-negara Barat sebagai sarang teroris. Apakah tak ada upaya klarifikasi?
Kita mengatakan, Indonesia juga salah satu korban terorisme. Hampir tiga kali bom besar meledak di Indonesia. Ini menunjukkan Indonesia bukan tempat aman dari terorisme. Tapi kita juga sadar bahwa akar terorisme adalah ketidakadilan.
Juwono Sudarsono
Lahir:
- Ciamis, Jawa Barat, 5 Maret 1942
- Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Jurusan Publisistik UI, Jakarta (1965)
- Institute of Social Studies, Den Haag, Negeri Belanda (1969)
- Universitas California, Berkeley, AS (MA, 1970)
- London School of Economics, Inggris (PhD, 1978)
- Universitas Georgetown, Washington, DC, AS (1985)
- Guru Besar Universitas Indonesia (1988-sekarang)
- Dekan FISIP UI (1988-1994)
- Wakil Gubernur Lemhannas
- Menteri Negara Lingkungan Hidup Kabinet Pembangunan VII Presiden Soeharto (1997-1998)
- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Reformasi (Mei 1998-Oktober 1999)
- Menteri Pertahanan Kabinet Persatuan Nasional (Oktober 1999-Agustus 2000)
- Duta Besar RI untuk Inggris ( 2003-2004)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo