Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Jangan 'Berjihad'di Indonesia

6 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan rambut merah dan senyum merekah, Umar Patek menyambut Tempo di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Surabaya di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Dari bilik nomor 1 Blok F, ia keluar dan menerima kami di ruang tengah blok itu pada Kamis tiga pekan lalu.

Narapidana terorisme yang punya banyak nama alias itu disebut-sebut ketika pemerintah berhasil membebaskan sepuluh warga negara Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina pada 1 Mei lalu. Umar, 49 tahun, mengatakan ia menawarkan diri membantu proses negosiasi kepada pemerintah Indonesia untuk pembebasan anak buah kapal Brahma 12 itu. "Saya ingin membantu karena prihatin sebagai sesama saudara warga Indonesia saja. Semuanya murni, tanpa syarat apa pun," kata pria yang punya nama asli Hisyam bin Ali Zein itu.

Umar pernah menjadi buron paling dicari oleh pemerintah Amerika Serikat dan Filipina. Bahkan Amerika menawarkan hadiah US$ 1 juta bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya. Ia akhirnya ditangkap aparat keamanan Pakistan di Abbottabad pada 25 Januari 2011 dan diekstradisi ke Indonesia pada 11 Agustus 2011.

Umar dihukum 20 tahun penjara setelah terbukti terlibat dalam Bom Bali I. Ia ikut merakit bom yang digunakan Imam Samudra dan kawan-kawan untuk meledakkan Paddy's Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, pada 12 Oktober 2002 itu.

Umar telah menjalani masa hukumannya selama lima tahun, tapi ia mengakui pola pikirnya tidak berubah. Ia masih mempercayai apa yang ia lakukan benar, kecuali saat Bom Bali I. "Saya begini kan melalui proses panjang, hasil membaca dan 'berjihad' langsung di luar negeri," kata Umar.

Ditemani Kepala Lembaga Pemasyarakatan Prasetyo dan beberapa anggota stafnya, wartawan Tempo Tika Primandari, Nur Hadi, dan fotografer Dian Triyuli Handoko menemui Umar. Dengan sorot mata yang masih tajam dan diselingi senda-gurau, Umar menceritakan ihwal strategi pembebasan sandera yang ia tawarkan kepada pemerintah, alasannya "berjihad", hingga pandangannya tentang ideologi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

* * * *

Anda diminta melobi kelompok Abu Sayyaf untuk membebaskan warga Indonesia yang disandera kelompok itu?

Bukan, saya tidak diminta, tapi saya yang menawarkan diri karena saya kenal dan memahami mereka berdasarkan kedekatan kami. Saya ingin mencoba melobi mereka agar para sandera dibebaskan. Saya yakin bisa membantu melobi karena tahu persis karakter dan sifat mereka. Adapun namanya tawaran, terserah mau diterima atau ditolak, kan?

Kabarnya, Anda minta pemotongan hukuman sampai sepuluh tahun sebagai imbalan karena membantu melobi?

Sama sekali tidak, itu fitnah. Saya ingin membantu karena prihatin sebagai sesama saudara warga Indonesia. Semuanya murni, tanpa syarat apa pun. Sepertinya yang menuduh saya minta dipotong hukumannya tak pernah datang ke sini. Beberapa kali utusan dari pemerintah datang untuk bertanya tentang faksi Abu Sayyaf. Tapi saya paham mengapa sampai ada fitnah begitu. (Umar Patek menjelaskan tapi meminta untuk tidak dikutip.)

Sedekat apa Anda dengan faksi yang kemarin menyandera warga Indonesia?

Saya bergabung dengan Abu Sayyaf ketika Al-Habsi Misaya (pemimpin faksi) masih bergabung dengan Moro National Liberation Front (MNLF). Setahun kemudian, baru dia bergabung dengan Abu Sayyaf. Jadi dia junior saya. Ditambah lagi ada Jim Dragon di sana. Saya kenal cukup dekat dengan Jim. Dia salah satu yang paling senior dan dituakan di faksi tersebut karena anak buahnya kebanyakan anak muda. Kemarin, saat beberapa utusan datang ke sini, saya beri tahu celahnya untuk mendekati mereka.

Seperti apa celahnya?

Al-Habsi Misaya itu berasal dari Parang, satu kampung dengan istri ketiga Nur Misuari (pemimpin MNLF). Jadi mereka dekat. Saya kasih masukan agar memanfaatkan celah itu, dekati istri ketiga Nur Misuari.

Apakah saran Anda dijalankan?

Kalau saya lihat alur cerita pembebasan, sepertinya dijalankan, karena lokasi pembebasannya di Parang.

Seperti apa karakter faksi tersebut?

Orientasi mereka hanya untuk meminta uang tebusan, jadi tidak akan melukai atau bertindak sadistis, kecuali kalau ada yang mencoba melarikan diri. Tapi tampaknya para sandera juga tak berani melarikan diri karena medannya sulit. Sewaktu berlatih kemiliteran di Filipina, saya sempat melihat kelompok mereka memperlakukan sandera, mereka tidak sadistis. Bahkan biasanya sandera makan apa yang mereka makan.Faksi ini memang jago mengambil orang dari tengah laut. Waktu itu pernah saya lihat mereka menculik warga Amerika Serikat dari Pulau Sipadan, Malaysia, untuk dibawa ke Sulu. Base camp mereka di Sulu karena kondisi geografis yang luas cocok untuk latihan militer.

Mengapa Anda "berjihad" di Filipina?

Untuk membantu perjuangan mereka merebut kembali tanah airnya yang diambil negara Filipina. Latar belakang masalah di Filipina sejarahnya mirip seperti di Palestina. Saya selalu ingin "berjihad" di Palestina. Saya mulai di Filipina pada 1992, setahun setelah dari Afganistan. Di sana saya bergabung dengan mujahidin Abu Sayyaf. Saya "berjihad", selain karena kesadaran, ingin mematuhi Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembukaannya ditulis bahwa penjajahan di muka dunia harus dihapuskan. Itu yang menjadi dasar saya "berjihad".

Setelah lima tahun dibina, apakah pola pikir Anda berubah?

Kalau pola pikir terkait dengan kepercayaan saya, tidak ada. Saya begini kan melalui proses panjang, hasil membaca dan "berjihad" langsung di luar negeri, dan saya masih mempercayai apa yang saya lakukan benar, kecuali saat Bom Bali I. Saya menyesal terlibat dalam Bom Bali karena banyak korban orang Hindu, Buddha, bahkan orang Islam. Kalau sudah begitu, siapa yang akan mempertanggungjawabkan di akhirat nanti? Di sini saya sering memikirkan pertanggungjawabannya nanti.

Anda selalu bilang tak setuju dengan Bom Bali I, tapi mengapa akhirnya tetap ikut serta?

Saat saya masuk, rencana ini sudah jalan 90 persen. Jadi, ada saya atau tidak, Bom Bali I tetap akan dilakukan. Keberatan saya ini juga sempat saya utarakan kepada kawan-kawan karena menurut saya aksi bom bunuh diri seperti itu pengecut. Motivasi mereka mengebom untuk membalas dendam karena pembantaian kaum muslimin di Palestina. Saya bilang, kalau mau balas dendam, seharusnya datang ke Palestina dan mengebom di sana.

Keberatan Anda itu tidak didengar?

Iya, mereka terus dengan rencananya dan saya mau tak mau ikut karena saat itu saya menghormati Mukhlas dan Dulmatin. Mereka senior saya yang banyak membantu. Menurut saya, saat itu lebih baik menembak langsung mereka yang menjadi target sehingga korban tidak meluas. Itu usul saya dari segi teknis, terlepas dari saya tidak setuju dengan kegiatan ini.

Apa peran Hambali dalam Bom Bali I? Benarkah dia ikut merencanakan dan mendanai peledakan bom yang menewaskan 202 orang itu? (Encep Nurjaman alias Hambali atau Riduan Isamuddin, 52 tahun, ditangkap di Thailand pada 14 Agustus 2003 dan ditahan di Yordania. Pada 4 September 2006, ia dipindahkan ke kamp tahanan militer milik Amerika Serikat di Guantanamo, Kuba.)

Saya tidak tahu. Saya tidak begitu kenal dengan dia. Saya sejak awal tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan. Mungkin saya dianggap tidak penting. Memang, beberapa hari sebelum peledakan, saya datang ke Bali. Namun persiapan peledakan sudah mencapai 90 persen.

Apakah Anda pernah bertemu dengan Hambali sebelum Bom Bali I?

Pernah bertemu satu kali di Jakarta pada Desember 2000, jauh sebelum Bom Bali I. Tapi waktu itu saya tidak tahu mana orang yang bernama Hambali. Belakangan, saya tahu setelah Dulmatin bercerita kepada saya.

Bagaimana hubungan Anda dengan Hambali? Seperti apa orangnya?

Tidak begitu dekat karena saya baru bertemu satu kali. Dalam pertemuan pada Desember 2000 di Jakarta, Hambali lebih banyak ngobrol dengan Dulmatin. Orangnya serius dan suaranya keras.

Bagaimana pandangannya tentang "jihad"? Siapa sasarannya?

Yang saya tahu, Bom Bali I sebagai balasan atas pembantaian kaum muslimin di Palestina. Kepada mereka, saya katakan sasaran peledakan terhadap orang bule itu tidak tepat. Orang bule itu bukan Israel dan tidak ada kaitannya dengan pembantaian kaum muslimin di Palestina.

Apakah Hambali sejalan dengan tiga penggerak utama peledakan Bom Bali I, yaitu Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra?

Iya. (Umar enggan menjelaskan lebih jauh.)

Apakah Anda sejalan dengan Hambali?

Dari awal saya tidak sepaham dan tidak setuju dengan Bom Bali I. Ketika bom meledak, saya merasa bersalah dan sedih karena tidak bisa mencegah dan menahan mereka.

Ketika Hambali ditangkap, Anda berada di mana?

Satu bulan setelah kejadian Bom Bali I, tepatnya November 2002, saya sudah berada di Filipina. Sebelum ke Filipina, beberapa hari setelah kejadian, saya datang ke Solo dalam pertemuan yang membahas evaluasi Bom Bali I. Saat itu Hambali sudah tidak ada.

Apakah Anda pernah menjalin kontak dengan Hambali setelah dia ditangkap?

Tidak. Saya mengetahui kabar tentang dia dari media.

Bagaimana awalnya Anda bisa ikut latihan militer di Afganistan dan Filipina?

Saya dari kecil sampai SMA di Pemalang (Jawa Tengah), kemudian kuliah di Yogyakarta. Setelah itu saya mau ke Malaysia untuk mencari kerja. Di sana saya ditawari Mukhlas, senior saya, untuk ikut latihan militer di Afganistan. Setelah Afganistan kemudian Filipina.

Bagaimana pendapat Anda tentang ISIS?

Tentu saya berbeda ideologi dengan yang pro-ISIS, tapi menurut saya ISIS sebaiknya tidak berkembang di Indonesia karena pemikirannya sangat berbahaya. Menurut saya, apabila mau "berjihad", jangan di Indonesia karena di sini tak ada yang harus diperangi.

Di LP ini ada tiga napi ISIS dan mereka tidak bergaul dengan kami karena memang kami dianggap kafir. Jadi mereka hanya mau bergaul dengan napi lain selain kami dan tidak mau salat berjemaah. Mereka biasanya melakukan salat setelah kami salat. Mereka benar-benar tak mau diskusi karena merasa paling benar dan tidak sopan, bahkan dengan orang yang lebih tua. Kami sebenarnya tidak setuju ada napi pro-ISIS di sini. (Di bangsal teroris hanya ada 10 narapidana.)

Anda bilang pemikiran ISIS sangat berbahaya, seperti apa pemikirannya? Apa yang membuat Anda tidak setuju dengan mereka?

ISIS itu Khawarij. Khawarij adalah paham atau kelompok Islam yang menganggap orang yang tidak sepaham dengan kelompoknya kafir dan halal dibunuh. Mereka memaksakan paham mereka. Bagi saya, jihad itu berperang di negeri-negeri kaum muslimin yang dizalimi oleh negara-negara penjajah. Misalnya di Palestina dan Afganistan. Tidak untuk Indonesia, karena umat Islam (di Indonesia) masih diperbolehkan beribadah.

Menurut Anda, apakah program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) efektif?

Mereka biasanya mengadakan diskusi, mengkaji buku, dan menonton film. Program deradikalisasi binaan BNPT, menurut saya, kurang efektif karena mereka hanya datang beberapa bulan sekali. Mereka tak tahu kami secara personal, yang tahu adalah petugas LP. Kalau ingin mengeluh, saya mengeluh ke mereka (petugas). Kalau saya sakit, mereka yang tahu. Curhat juga ke mereka. Justru yang paling mengubah saya adalah obrolan dengan sesama napi selain teroris. Saya jadi tahu ada begitu banyak cerita hidup dan tak melulu berpikir bahwa pendapatku yang paling benar.

Apa saja kesibukan sehari-hari Anda di sini?

Saya jaga kantin dan koperasi. Kantinnya menjual makanan berat, seperti sate dan sayur, serta barang kebutuhan sehari-hari, seperti sabun, pasta gigi, dan rokok. Karena aktif jaga kantin, saya jadi banyak mengobrol dan mendengar cerita-cerita dari napi lain. Ceritanya seru, terutama napi narkotik.

Apakah Anda jadi pengibar bendera lagi dalam upacara Hari Kebangkitan Nasional?

Tahun ini saya tidak menjadi pengibar bendera seperti tahun lalu karena kaki saya habis dioperasi untuk mengambil peluru. Tapi saya pasti ikut upacara karena juga menandai satu tahun saya berada di sini. Jadi ini anniversary saya. (Sebelumnya, Umar ditahan di Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.) Nanti, saat 17 Agustus, baru saya jadi pengibar bendera lagi.

Keluarga Anda rutin berkunjung?

Istri saya (Fatimah Zahra) sekarang tinggal di Surabaya dan masih rutin berkunjung. Kami belum punya anak. Saya menikah pada Juni 1998. Istri saya adalah anak pendeta Katolik di Filipina. Dia mualaf. Sewaktu acara pernikahan, keluarga istri saya yang nonmuslim datang ke kamp Abu Bakar Assidiq di Filipina. Saat itu mertua khawatir jika hadir akan dibunuh karena mereka Katolik. Saya yang menjamin keamanan mereka untuk hadir dan menginap. Biasanya, dalam acara pernikahan, ada tradisi salvo atau menembak ke udara. Tapi, demi keamanan keluarga istri, perayaan itu ditiadakan. Acara berlangsung damai, kami berfoto dan makan bersama, tak ada masalah walaupun beda agama.

Apa yang akan Anda lakukan kalau bebas nanti?

Kembali berkumpul dengan keluarga yang ada di Jawa Timur dan mencoba berdagang.

Umar Patek
Tempat dan tanggal lahir: Pemalang, Jawa Tengah, 12 Juli 1966 Pendidikan (formal dan lapangan): SMA Muhammadiyah 1 Pemalang, lulus 1986 | Kamp pelatihan militer Afganistan pada 1990-an | Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Mindanao, Filipina (1995) | Kamp militer Jamaah Islamiyah di Hudaibiyah, Filipina (1998)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus