Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahasa Indonesia sedang menghadapi dua masalah sekaligus. Kedua masalah itu bersumber dari faktor internal (baca: penggunanya), bukan dari faktor eksternal. Masalah pertama terkait dengan ancaman kepunahan. Kata dan ungkapan yang pernah populer sebelumnya, perlahan namun pasti, mulai hilang. Bukan menghilang, tapi sengaja dihilangkan. Aktor penghilangnya, mengutip pernyataan Dodi Ambardi (kolom Bahasa! Tempo edisi 23-29 Mei 2016), tidak lain adalah kelompok penemu teknologi, para pengiklan, dan kaum profesional sekolahan.
Mereka kini menguasai panggung bahasa. Mengalahkan para birokrat dan pejabat tinggi. Sengaja atau tidak, masih kata Dodi, mereka meminggirkan bahkan membunuh kata dan ungkapan khas sebelumnya yang telah hadir bertahun-tahun. Ungkapan khas "ahli bikin gigi" tergusur oleh istilah orthodontic, periodontic, dan endodontic. Ungkapan "harga melawan" juga sudah masuk kotak, tergantikan oleh ungkapan baru yang konotasinya lebih bergengsi: sale, great sale, super discount, dan 50% off for selected items.
Masalah kedua yang dihadapi bahasa nasional sama sekali tidak berkaitan dengan ancaman kepunahan, tapi terkait dengan pembolak-balikan penggunaan kata dan istilah. Begitu sering kita jumpai pemakaian kata dan istilah yang tidak pas. Salah kaprah. Yang membuat prihatin, kesalahan itu tidak hanya dilakukan oleh awam, tapi juga oleh kalangan terdidik, pejabat, sampai lembaga resmi pemerintahan.
Ketika arus listrik di rumah-rumah berhenti mengalir, penghuni rumah secara refleks akan berteriak: "Waduh, lampunya mati." Ungkapan spontan itu masih sering terdengar di lingkungan kita. Bahkan bukan tidak mungkin kita juga masih mengucapkan ungkapan yang sama. Pertanyaannya: sejak kapan lampu punya nyawa sehingga bisa mati? Karena bukan benda hidup, istilah yang tepat untuk lampu bukan "mati", melainkan "padam". Maka kita harus berterima kasih kepada PT PLN yang sudah menggunakan kata "pemadaman" (bukan "mematikan") dalam pengumuman setiap kali akan ada kegiatan menghentikan sementara aliran listrik.
Kebalikannya, ketika aliran listrik normal kembali, sekonyong-konyong warga akan bersorak: "Horeee, lampunya sudah hidup." Sekali lagi, meski sistem kerja setrum mengalir, listrik tetap merupakan benda tak bernyawa. Jadi penggunaan istilah "menyala" lebih benar daripada "hidup" untuk menyebut setrum yang kembali mengaliri lampu.
Contoh lain, kita juga masih sering mendengar suara "tes… tes… tes…'' mengaum dari sound system. Biasanya hal seperti itu terjadi ketika acara akan dimulai. Kalau bukan kru sound system, pasti pembawa acara yang melakukannya. Kadang juga dari mulut penyanyi yang ragu akan kualitas mikrofon di tangannya. Ketika saya buka lema "tes" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, muncullah arti "1 ujian tertulis, lisan, atau wawancara untuk mengetahui pengetahuan, kemampuan, bakat, dan kepribadian seseorang". Jadi, kata "tes" untuk mencoba mikrofon dan sound system sangat tidak tepat. Untuk arti "tes" yang kedua ("2 percobaan untuk menguji kelaikan jalan suatu kendaraan bermotor umum") kelihatan agak tepat. Tapi itu khusus untuk kendaraan bermotor umum, bukan untuk perangkat penghantar suara. Maka yang lebih pas para MC atau kru sound system mengulang-ulang kata "cek… cek… cek…".
Kekacauan penggunaan istilah juga dilakukan lembaga resmi pemerintahan. Kekacauan istilah itu sudah sangat lama terjadi. Namun tidak pernah ada upaya untuk merevisi atau menggantinya dengan istilah yang benar. Hingga kini, masyarakat yang menyetir kendaraan harus membawa SIM: surat izin mengemudi. Kalau tidak membawa, harus siap-siap ditilang oleh polisi lalu lintas. Bagi yang punya SIM, silakan ambil dari dompet. Keluarkan. Perhatikan dengan saksama benda bernama SIM itu. Dari bentuk fisiknya, SIM yang kita punya itu lebih tepat disebut "surat" atau "kartu"? Kartu, bukan? Maka seharusnya pihak Polri segera mengganti SIM dengan KIM (kartu izin mengemudi). Kalau Polri keberatan dan keukeuh menggunakan istilah SIM, konsekuensi bahasanya, SIM jangan dirupakan kartu, tapi diganti dengan lembaran kertas, sesuai dengan namanya: surat izin mengemudi. Jamaknya, yang namanya surat itu ditulis di lembaran kertas, bukan di kartu.
Polri jangan malu meniru Kementerian Dalam Negeri yang menerbitkan KTP, yang sesuai dengan namanya, kartu tanda penduduk, dicetak dalam bentuk kartu. Jangan "surat izin mengemudi" dicetak dalam bentuk kartu. Namun sejatinya Kementerian Dalam Negeri idem ditto dengan Polri: melakukan kerancuan istilah. Selain di KTP, nama setiap warga negara harus tercantum dalam "kartu keluarga", yang lazim disingkat KK. Sekali lagi saya ajak, mari bersama-sama memeriksa ulang, seperti apa bentuk fisik KK yang kita miliki. Ternyata bentuknya lembaran, bukan? Berupa secarik kertas, bukan kartu. Lebih tepat disebut "surat keluarga" (SK) daripada "kartu keluarga".
Penggunaan kata dan istilah yang rancu memang tidak akan sampai menimbulkan kepunahan. Namun, dengan menggunakan kata dan istilah secara benar, kita ikut memagari marwah bahasa nasional. Tak terkecuali lembaga-lembaga negara, jangan ragu dan malu untuk mengganti kata atau istilah yang salah dalam produk kebijakannya. l
Samsudin Adlawi (Wartawan Jawa Pos, penyair)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo