Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Jangan Kira Saya Mengarang!

24 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir sebulan Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo larut dalam kesibukan barunya. Tapi satu hal mengganjal dia. "Pejabat resminya cuma satu, Menko Maritimnya saja yang ada SK-nya. Yang lain cabutan," kata Indroyono dari balik meja kerjanya.

Ruang kerja Indroyono terletak di lantai 3 Gedung I Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Ruangan itu tidak asing lagi baginya. Pada 1997-1999, ia bekerja sebagai Wakil Ketua BPPT untuk Pengembangan Sumber Daya Alam. Ruangan yang dipakainya adalah bekas ruangan Kepala BPPT Bacharuddin Jusuf Habibie, yang menjabat sampai 1998. "Tidak ada yang berani tempati ruangan ini. Pada takut," ujarnya berseloroh.

Indro memakai safari abu-abu, yang tampak kusut sedikit. Potongan rambutnya begitu konservatif: belah samping. Meskipun jarang tampil di televisi—tidak seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti—dialah sebenarnya aktor utama dari Kabinet Kerja. Pasalnya, kementerian yang dipimpinnya menjadi penanda besar perubahan yang hendak dilakukan pemerintah Joko Widodo.

Meski dunia maritim bukan hal baru bagi Indro—yang notabene direktur di lembaga pangan dunia, FAO, yang mengurusi aspek sumber daya perikanan—tetap saja tugasnya tidak mudah. Apalagi ia harus menyinergikan kementerian di bawahnya: Energi dan Sumber Daya Mineral, Perhubungan, Pariwisata, serta Kelautan dan Perikanan.

Berbicara selama dua jam kepada Qaris Tajudin, Heru Triyono, Ayu Prima, dan fotografer Pranoto dari Tempo di kantornya, Indro memaparkan terobosannya untuk sebuah visi "Menjadi Poros Maritim Dunia", Kamis dua pekan lalu. Untuk mewujudkan itu, ia pun meminta saran adik iparnya yang bekas Menteri Keuangan, Sri ­Mulyani. "Bagi-bagi tugaslah. Dulu dia, sekarang saya," katanya.

Sebelum wawancara dimulai, seorang anggota staf dari Kementerian Kelautan menunjukkan data di layar sabak elektronik. Mereka berbicara serius dan Indroyono lalu memberi sejumlah arahan.

Kalau boleh tahu, data apa yang baru saja Anda bicarakan?

Sini, saya tunjukkan. Ini adalah sistem yang sudah lama kita punyai. Ini adalah hasil pantauan satelit terhadap kapal-kapal penangkap ikan di seluruh Indonesia.

Selama ini pengawasan seperti ini sudah ada?

Alatnya dari Kanada—melalui satelit. Dulu data terkirim dulu ke Vancouver, kemudian mereka kirim faksimile ke kita. Sehari jadi. Sekarang monitoring dipusatkan data di Bali, yang memiliki antena radar untuk mengambil data itu langsung dari satelit. Dalam satu jam, data digital sudah siap. Desember nanti, pusat monitoring di Bali itu akan diresmikan.

Dari radar ini bisa dibedakan mana kapal ilegal dan yang legal?

Bisa. Bahkan data sudah sampai ke asumsi kerugian berapa rupiah dari setiap kapal itu. Dalam sehari, alat kita ini bisa memotret pagi dan malam hari. Sekali ­motret bisa menyapu 500 kilometer persegi.

Kapal ukuran berapa yang masuk radar ini?

Sampai ukuran 4 meter bisa terdeteksi. Satelit mengukur besar kapal, kemudian dikonversi ke dalam ton, lalu dari kapal sebesar itu bisa menampung berapa banyak ikan. Jadi bisa langsung dikalkulasi rupiahnya. Cuaca mendung bisa tembus juga. Ini sebenarnya sudah dilakukan pada 11 tahun yang lampau. Saya sendiri yang buat saat di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Lho, data kapal ilegal yang selama ini beroperasi di laut Indonesia itu ke mana dan apa tindak lanjutnya?

Datanya ada. Sekarang ini, ya, dioptimasikan.

Pemantauan dari satelit ini seperti kamera CCTV yang canggih bisa mengetahui maling yang masuk, tapi pasukan keamanannya kurang?

Polisi itu memiliki 460 kapal, tapi yang jalan sepertiganya dan cuma kuat bergerak beberapa jam dalam sehari. Kenapa? Bensinnya terbatas. Sama juga dengan Angkatan Laut, yang memiliki 150 kapal. Yang bisa patroli hanya 70-an kapal—tapi bensinnya hanya cukup untuk 12-13 kapal.

Bagaimana mau menindak illegal fishing tanpa bisa menggerakkan kapal-kapal itu?

Kami sudah lapor ke Pak Presiden dan DPR. Kami bilang kami perlu bahan bakar. Kalau kami bisa meningkatkan pendapatan negara bukan pajak dari perikanan dari Rp 250 miliar menjadi Rp 1,5 triliun, wajib dong kami didukung lebih besar. Fair, kerja keras, ada insentifnya.

Sebenarnya berapa sih nilai potensi sumber daya alam laut dan nilai ekonomi kelautan Indonesia?

Susah menghitungnya. Tapi saya kasih contoh sederhana. Anda tahu rumput laut? Panennya itu tiap 45 hari. Padi itu 90 hari. Padi harus dikasih pupuk, kalau rumput laut didiamkan saja jadi. Rumput kering harganya Rp 10 ribu per kilo. Kalau sudah jadi kapsul untuk obat-obatan itu sudah sekitar Rp 8 juta per kilo—pakai mesin. Bayangkan saja. Itu belum dihitung dari nilai wisata bahari kita.

Pemerintah Joko Widodo mematok target kunjungan wisatawan mancanegara dalam lima tahun mendatang menjadi 20 juta orang per tahun. Bagaimana menggenjotnya?

Kita mudahkan kedatangan mereka. Asalkan ada alam yang indah, masyarakatnya ramah, makanannya enak, aman, cendera matanya bagus, orang pasti akan mau datang. Kemarin sudah kami putuskan, pada 3 Desember 2014, ada penambahan negara yang diberi kebebasan visa. Kami juga membuka seluasnya untuk yacht (kapal pesiar) dan super-yacht ke wilayah Indonesia, bisa langsung masuk ke daerah. Agar dolar bisa masuk ke daerah.

Mana saja negara-negara tambahan yang diberi kebebasan visa?

Cina, Jepang, Rusia, Korea Selatan, dan Australia. Ini bebas visa untuk kunjungan jadi wisatawan. Mau terbang ke Bali, kemudian lompat ke mana saja di kawasan Indonesia, asalkan paspornya masih hidup, silakan.

Berapa tambahan wisatawan dari lima negara yang masuk ke Indonesia itu kira-kira?

Sekitar 450 ribu wisatawan. Rata-rata mereka akan membelanjakan uangnya sekitar US$ 1.200. Maka hitungannya akan ada pemasukan US$ 540 juta per tahun (sekitar Rp 6,5 triliun).

Anda optimistis sekali....

Memang. Silakan hitung. Cina itu dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 9 persen, dengan cadangan devisa Rp 1,3 triliun, kemudian penduduknya sebesar 1,3 miliar jiwa, amat berpotensi melakukan kunjungan ke sini. Di seluruh dunia, mereka jadi wisatawan.

Tapi bagaimana pengamanan terhadap wisatawan yang datang begitu mudahnya nanti ke Indonesia?

Sekarang ini era informatika. Kalau mereka datang, kemudian mendarat di bandara kita, pasti ditanya nomor teleponnya, dicocokkan dengan paspor. Mereka ke mana saja bisa dilacak. Paspor zaman sekarang sudah ada chip-nya. Semua terdaftar. Anda bayangkan jika US$ 25 per visa dikalikan 450 ribu wisatawan. Itu mencapai US$ 11,3 juta. Belum lagi pendapatan dari kapal yacht yang dipermudah tadi.

Berapa kapal pesiar yang masuk Indonesia dalam catatan Anda per tahun?

Sebenarnya banyak. Tapi selama ini mereka bergerak dari Darwin dan Perth, kemudian melipir langsung ke Pattaya, Phuket, dan Singapura, lalu masuk ke Eropa. Tidak masuk Indonesia karena susah izinnya. Bisa sebulan pengurusannya. Nanti akan dipersingkat. Target kita: bisa memasukkan sekitar 1.500 yacht super setiap tahun. Insya Allah, aturannya akan diputuskan oleh Pak Presiden. Peraturannya direvisi, paling lambat satu bulan.

Penyederhanaan perizinan kapal pesiar itu seperti apa formatnya?

Kementerian Luar Negeri saat ini sedang menguji coba. Kami akan membuka 16 pelabuhan sebagai pintu masuk. Uji cobanya sedang dilakukan lewat one stop service online. Itu kerja sama Kementerian Luar Negeri, Tentara Nasional Indonesia, dan Kementerian Perhubungan. Dalam rapat terakhir, Imigrasi dan Bea-Cukai juga sudah siap.

Apakah daerah juga siap dengan kedatangan kapal-kapal pesiar ini?

Itu sudah bukan tugas pemerintah pusat. Katanya otonomi daerah. Mari bertanding untuk menarik wisatawan sehingga membuka banyak lapangan pekerjaan. Daerah tujuan wisata nanti kami yang mengatur.

Ini bukan sekadar wacana, kan?

Sudah diputus. Jangan kira visi Menko Maritim mengarang. Kebijakan ini mengikat. Semua absensi saat rapat tanda tangan dan mengikat. Hasil rakor ini sebagai pegangan sebelum lapor ke Presiden. Tinggal di-follow-up.

Apa prioritas pertama dan utama yang harus segera dibereskan oleh Anda?

Masalah perizinan. Proses perizinan ini harus pendek, singkat, karena berdampak langsung terhadap investasi yang masuk. Kalau sistemnya diperbaiki, kita akan bisa membuka banyak lapangan kerja. Investor dari berbagai negara sudah antre untuk masuk. Presiden telah menerima 60 investor dari 20 negara. Uang yang dihimpun sekitar US$ 8 triliun.

Mereka akan investasi di bidang apa saja?

Perhubungan, infrastruktur, pelabuh­an, galangan kapal, jalan tol, pembangkit listrik. Dunia telah siap untuk kita. Tapi mereka minta dikasih kemudahan dalam perizinan.

Soal listrik, kita punya target, dalam lima tahun ini membangun pembangkit listrik yang bisa memasok 35 ribu megawatt. Apakah target ini bisa tercapai?

Itu harus. Kalau tidak, kita minus—karena pertumbuhan listrik hanya 8 persen. Komitmen kami adalah membangun 35 ribu megawatt di seluruh Indonesia. Di Jawa saat ini sudah ada 23 ribu megawatt. Kalau dalam sekian tahun tidak ada pertumbuhan, pada 2018 Jawa bisa byar-pet.

Bali dianggap sebagai daerah yang paling boros dalam menyerap subsidi listrik. Apakah kita menyubsidi orang yang sedang berlibur?

Begini. Jangan bilang pulau per pulau, tidak enak. Kalau masalah subsidi atau enggak, belum saya cek. Misalnya solar dengan diesel, itu bukan listrik bersubsidi. Kita mengupayakan ekonomi yang sehat itu ekonomi yang minim subsidi. Kita mengalihkan, jadi langsung ke masyarakat yang perlu disubsidi.

Apa rencana untuk Bali?

Di Bali itu ada pembangunan pembangkit listrik 380 megawatt di Buleleng. Sudah jadi semuanya. Untuk masuk ke jaringan itu, masih ada 11 warga yang belum sepakat. Kita bisa meniru Pak Jokowi saat menjadi Gubernur Jakarta. Beliau menyelesaikan pembebasan lahan seluas 1,7 kilometer untuk jalan tol dengan mengundang 42 keluarga makan siang, dan masalah selesai.

Apakah organisasi Kementerian Maritim sudah terbentuk?

Drafnya sudah disampaikan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, nanti dirapatkan dengan Presiden. Sekarang masih cabutan beberapa. Pejabat resminya cuma satu, ya, Menko Maritim ini yang ada SK-nya (surat keputusan). Saya sekarang memperkuat yang di sekretariat dulu.

Apakah Anda nyaman bekerja dengan Menteri Susi Pudjiastuti dan Menteri Ignasius Jonan, yang dikenal cepat?

Keduanya adalah mantan CEO (chief ­executive officer), jago-jago. Kalau saya birokrat tulen. Jadi mereka kebut, saya yang bilang tunggu dulu, ini peraturannya seperti apa. l

Indroyono Soesilo
Tempat dan Tanggal Lahir: Bandung, 27 Maret 1955 Pendidikan: Doktor geologi Universitas Iowa (1987), master pengindraan jauh Universitas Michigan (1981), sarjana teknik geologi Institut Teknologi Bandung (1979) Karier: Menteri Koordinator Kemaritiman (2014-2019), Direktur sumber daya perikanan dan akuakultur di badan dunia bidang pangan dan pertanian (FAO) (2012-2014), Sekretaris Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2008-2012), Direktur Jenderal Badan Riset Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2000-2008), Wakil Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi untuk Pengembangan Sumber Daya Alam (1997-1999)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus