Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti kebanyakan orang, Mayta Meliala hampir tidak pernah membaca kolom kandungan nutrisi pada makanan dan minuman kemasan yang ia beli di supermarket. Perempuan 33 tahun ini hanya berkonsentrasi pada komposisi bahan baku, tanggal kedaluwarsa, dan label halal. Dia tak pernah tahu berapa banyak kadar gula, garam, dan lemak total yang ia konsumsi dari makanan itu. "Enggak terlalu ngerti aku," kata Mayta, yang tinggal di Batam.
Hal ini sesuai dengan temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kepala Subdirektorat Standardisasi Produk Pangan BPOM Yusra Egayanti mengatakan label halal adalah perhatian utama masyarakat Indonesia. "Di bawahnya secara berurutan adalah waktu kedaluwarsa, nama produk, dan komposisi makanan," ucapnya pekan lalu. Adapun kandungan nutrisi atau gizi hampir tak pernah ditengok.
Padahal mengetahui kandungan nutrisi pada makanan dan minuman penting untuk mencegah penyakit degeneratif, seperti diabetes, yang belakangan meningkat. "Indonesia jadi peringkat kelima penderita diabetes terbesar di dunia," ujar Profesor Nam H. Cho, Ketua Federasi Diabetes Internasional (FDI) untuk kawasan Asia-Pasifik, dalam acara peringatan Hari Diabetes Sedunia pada 13 November lalu. Ini adalah peningkatan yang cukup signifikan karena tahun lalu Indonesia masih di peringkat ketujuh.
Data IDF sebenarnya tidak berbeda jauh dengan temuan Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan terjadi kenaikan jumlah penderita diabetes di perkotaan, dari 5,7 persen pada 2007 menjadi 6,8 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun lalu. Untuk pedesaan, datanya baru ada tahun lalu, tapi sekali muncul langsung menyalip penderita diabetes di perkotaan, yaitu 7 persen. Tahun ini diperkirakan 9,1 juta orang hidup dengan diabetes di seluruh Indonesia.
Kata Nam Cho, hampir 90 persen penderita diabetes yang ada sekarang adalah penderita tipe dua. Ini adalah tipe yang muncul sejak pasien dewasa. Bukan karena kelainan genetik, melainkan gaya hidup yang salah. Semakin kaya dan berkembang sebuah negara, gaya hidup penduduknya cenderung lebih banyak dilakukan tanpa gerak (sendentari) dan konsumsi makanan tidak sehat jadi lazim. Mengkonsumsi makanan tinggi kalori menaikkan risiko terkena diabetes ini.
Di sinilah letak penting tabel kandungan nutrisi pada bungkus makanan. Banyak yang tidak sadar kandungan gula atau kalori yang telah kita konsumsi sesungguhnya melewati batas. Contohnya minuman bersoda. Dalam satu kaleng minuman bersoda terdapat sekitar 40 gram gula. Padahal kebutuhan harian kita akan gula hanya 50 gram.
Artinya, dengan mengkonsumsi satu kaleng saja kita sudah hampir memenuhi kecukupan gula. Padahal, dalam sehari, kita tidak hanya mengkonsumsi sekaleng minuman berkarbonat. Kita juga makan nasi, mungkin minum kopi atau teh manis, atau makan kudapan, yang semuanya menambah tumpukan gula dalam tubuh. Karena itu, Yusra Egayanti menyarankan, "Bacalah label kandungan nutrisi pada kemasan pangan."
Label informasi bagi penderita diabetes diakui Ketua Umum Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Profesor Dr dr Achmad Rudjianto, SpPD-KEMD, punya peran penting. Musababnya, untuk menangani diabetes perlu pengaturan diet yang benar. "Jadi apa yang dimakan dapat diperhitungkan dengan pasti," ujarnya dalam jawaban surat elektronik.
Masalahnya, seperti kasus Mayta di atas, tidak mudah bagi orang awam membaca label tersebut. Guna mempermudahnya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang label makanan untuk kandungan gula, garam, dan lemak serta pesan kesehatan. Nanti, pada 2016, di bungkus makanan dalam kemasan dan makanan siap saji akan tertulis khusus kandungan gula, kalori, dan natrium.
Itu saja tidak cukup karena konsumen butuh angka pembanding. Maka akan ada juga tulisan: "Konsumsi gula lebih dari 50 gram, natrium lebih dari 2.000 miligram, atau lemak total lebih dari 67 gram per orang per hari berisiko terkena hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung". Maka, ketika misalnya mengkonsumsi minuman berkarbonat dalam kaleng, konsumen tahu gula yang dikandung minuman itu adalah 40 gram dan maksimal dia boleh mengkonsumsi 50 gram.
Kementerian akan memulainya dari pangan siap saji. Restoran waralaba yang memiliki lebih dari 250 gerai akan diwajibkan mencantumkan tiga kadar gizi utama itu dalam menu mereka. Adapun untuk usaha makanan menengah ke bawah akan dibuat lebih fleksibel dengan buklet. Ada rambu, tentu ada sanksi. Pelanggar akan dihukum berdasarkan tingkat kesalahannya. Ancamannya dari pembinaan hingga pencabutan izin produksi. "Kami sedang menyusun pedomannya," ucap Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan dokter Ekowati Rahajeng dalam acara "Edukasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak" di Balai Kota Jakarta, 19 November lalu.
Setidaknya, dengan label makanan, masyarakat sudah bisa mengetahui berapa besar yang ia masukan ke tubuhnya. Ekowati berharap, dengan mendapat informasi yang benar, masyarakat bisa memilih makanan mereka dengan lebih baik. "Kalau tidak terus-terusan diingatkan, nanti tidak bisa mengatur apa yang dimakan," katanya.
Tentu efektivitas program pencegahan diabetes tak bisa digantungkan pada kemasan belaka. Achmad Rudjianto mengatakan perlu faktor pendukung lain, seperti pengetahuan konsumen tentang diet yang baik dalam keadaan sakit ataupun sehat dan kemauan untuk berubah pola makan yang berimbang.
Kementerian sebenarnya sudah punya langkah untuk usul tersebut. Pada 2011, Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Penyakit Tidak Menular dibuat. Ini semacam pos pelayanan terpadu untuk orang dewasa. Pengunjung yang datang bisa dicek kadar gula darah, kadar tekanan darah, berat badan, dan pap smear untuk kanker payudara.
Pos ini penting mengingat lebih dari separuh (53 persen) penderita diabetes ternyata tidak terdiagnosis. "Orang yang terkena penyakit ini memang tidak merasakannya dalam jangka pendek," ujar Profesor Hasbullah Thabrany, guru besar Universitas Indonesia, dalam kesempatan yang sama. Penderita baru tersiksa ketika status diabetes memburuk dan sudah membuat komplikasi ke organ lain, seperti ginjal dan jantung.
Hingga akhir 2013, baru terdapat 7.225 Posbindu di seluruh Indonesia. "Sebentar lagi akan ditandatangani aturan untuk keberadaan di setiap daerah," kata Ekowati tanpa menjelaskan kapan. Jika sudah dapat persetujuan menteri, setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan uji-uji tersebut secara gratis. Termasuk penjelasan pengaturan diet dari tenaga kesehatan bagi mereka yang sudah terdiagnosis berisiko terkena diabetes. "Ini seperti deteksi dini," ujarnya.
Profesor Achmad menambahkan, dengan data tersebut, bisa diidentifikasi mereka yang memiliki faktor risiko. Pengunjung dengan tekanan darah di atas 140/90 mmHg, memiliki indeks massa tubuh di atas nilai 25, dan punya riwayat keluarga diabetes harus menjalani tes lanjutan, yaitu uji glukosa atau HbA1c. Di Posbindu, Ekowati mengatakan, sudah ada anjuran untuk pengecekan gula darah saban tiga-enam bulan bagi yang berisiko dan tiap bulan untuk penderita diabetes.
Dianing Sari
Penderita Diabetes Tipe Dua
Ini adalah tipe yang muncul sejak pasien dewasa. Bukan karena kelainan genetik, melainkan gaya hidup yang salah. Semakin kaya dan berkembang sebuah negara, gaya hidup penduduknya cenderung lebih banyak dilakukan tanpa gerak (sendentari) dan konsumsi makanan tidak sehat jadi lazim.
Banyak yang tidak sadar kandungan gula atau kalori yang telah kita konsumsi sesungguhnya melewati batas. Contohnya minuman bersoda.
Kebutuhan harian kita akan gula maksimal hanya <---- 50 ----> Satu kaleng minuman bersoda mengandung gula sekitar: 40 Artinya, dengan mengkonsumsi satu kaleng saja kita sudah hampir memenuhi kecukupan gula.
Tumpukan gula dalam tubuh semakin bertambah karena dalam sehari kita tidak hanya mengkonsumsi sekaleng minuman berkarbonat. Kita juga makan nasi, mungkin minum kopi atau teh manis, atau makan kudapan.
Nanti, pada 2016, di bungkus makanan dalam kemasan dan makanan siap saji akan tertulis "Konsumsi gula lebih dari 50 gram, natrium lebih dari 2.000 miligram, atau lemak total lebih dari 67 gram per orang per hari berisiko terkena hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo