Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kalau Dipojokin, Akan Saya Buka Semua

14 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI mana pun ditempatkan, Komisaris Jenderal Budi Waseso bagai tak henti membuat berita yang menyedot perhatian masyarakat. Begitu pula di posisinya sekarang sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Belum lama duduk di posnya tersebut--ia dilantik pada 8 September lalu--pernyataannya seputar rehabilitasi pengguna narkotik memancing polemik panjang. Terakhir, Budi melontarkan ide membangun penjara khusus bagi bandar narkotik di sebuah pulau terpencil yang dikelilingi sungai penuh buaya. "Saya serius. Bukan main-main," katanya.

Khalayak tentu ingat, ide dan tindakannya yang memancing reaksi keras banyak kalangan sudah ia lakukan sejak menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Salah satu yang dia lakukan saat itu adalah penetapan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai tersangka. Juga memidanakan penyidik KPK, Novel Baswedan, atas kasus yang terjadi beberapa tahun lalu.

Tak sampai di situ, Budi juga menetapkan dua anggota Komisi Yudisial, Taufiqurrahman Syahuri dan Suparman Marzuki, sebagai tersangka pencemaran nama hakim Sarpin Rizaldi. Dia juga berupaya menjerat aktivis antikorupsi Denny Indrayana, Adnan Topan Husodo, dan Emerson Yuntho. Bahkan sampai berpolemik dengan tokoh Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif.

Publik menengarai, semua tindak-tanduk Budi Waseso--yang kerap disapa Buwas--itu bermuara pada kedekatannya dengan satu nama: Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Wakil Kepala Polri ini pernah dijadikan tersangka korupsi oleh KPK dalam kasus saat dia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri 2003-2006. Tapi Budi Waseso membantah jika semua tindakannya itu disebut untuk membela Budi Gunawan. "Saya cuma meneruskan kasus-kasus yang tertunggak," ujarnya.

Selama dua jam, pada Kamis pekan lalu, Budi Waseso menjelaskan semua hal itu kepada wartawan Tempo Tulus Wijanarko, Tito Sianipar, Angga Wijaya, Raymundus Rikang, Husein Abri, fotografer Frannoto, dan videografer di kantornya di Cawang, Jakarta Timur. Gayanya tetap sama: ceplas-ceplos dan kerap memancing tawa.

* * * *

Apa instruksi khusus Presiden Joko Widodo ketika menunjuk Anda sebagai Kepala BNN?

Beliau bilang lakukan pekerjaan itu sesuai dengan bidang dan tanggung jawab serta lakukan yang terbaik. Presiden bilang narkotik itu masalah serius dan harus bisa diberantas.

Anda merasa disingkirkan sebagai Kepala Bareskrim karena sebelumnya banyak disorot saat berada di pos itu?

Enggak, saya tak merasakan itu. Saya disebut bikin gaduh padahal saya tak merasa bikin gaduh. Yang bikin berita itu wartawan. Pro dan kontra dalam penegakan hukum itu biasa. Memang penegakan hukum itu banyak yang tak suka. Jadi wajar kalau saya di-bully atau dimaki. Saya anggap itu risiko yang harus saya ambil.

Bagi saya, penggantian itu biasa dan sering terjadi.Yang penting, saya tak melakukan perbuatan salah. Dibilang (saya melakukan) kriminalisasi terhadap AS (Abraham Samad, pemimpin KPK waktu itu--red.), BW (Bambang Widjojanto, pemimpin KPK), Denny Indrayana (Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia waktu itu), dan Novel Baswedan (penyidik KPK). Apakah itu kriminalisasi? Tidak. Sebab, sekarang P-21 semua. Berarti kan benar. Buktinya, jaksa menerima (berkasnya). Kalau kriminalisasi itu adalah yang tidak ada diadakan.

(Dalam catatan Tempo, berkas yang sudah lengkap [P-21] baru kasus Abraham Samad dan Novel Baswedan. Kasus Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana belum P-21.)

Disebut kriminalisasi karena ketika itu Abraham, Bambang, dan Novel sedang menyidik kasus rekening gendut Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Sedangkan kasus mereka yang Anda selidiki adalah kasus lawas.

Itu karena ada keinginan yang mau membenturkan. Teman-teman di Tempo kan juga begitu. Tapi tidak apa-apa. Saya tidak sakit hati. Ketika memimpin Bareskrim, saya sadar bahwa 67 persen citra jelek polisi disumbang dari penyidikan. Nah, waktu itu penyidikan ada di tangan saya, maka saya harus bisa membalikkan (citra negatif) itu. Ketika melakukan evaluasi, ternyata saya sadar utang saya banyak. Lebih dari 1.000 kasus yang menjadi tunggakan Bareskrim. Jadi yang saya tangani bukan hanya kasus AS, BW, dan Novel. Yang lainnya itu tidak pernah menjadi konsumsi publik karena tidak berkaitan dengan kasus (Budi Gunawan) itu. Ini membenturkan KPK dengan Polri seolah-olah saya membela Budi Gunawan. Tidak! Saya murni penegakan hukum. Itu saya sampaikan kepada Presiden.

Salah satu indikasi kriminalisasi dalam kasus Novel adalah bahwa si pelapor juga polisi.

Bukan. Begini, salah satu dari keluarga korban itu adalah polisi. Pelapornya tetap si keluarga korban itu. Itu semua pengakuan dan alat buktinya ada. Ngapain merekayasa? Polisi yang terlibat pada saat itu diperiksa semua. Lalu kasusnya Novel ini mau ditutupi dengan memberikan santunan dan segala macam. Tapi ternyata belakangan tuntutan itu muncul kembali. Penegakan hukum tidak boleh pilih kasih. Harus dibuktikan benar atau tidak. Agar tidak menjadi ganjalan atau menjadi utang. Novel tidak usah takut kalau benar. Kalau ini kriminalisasi, dia seharusnya hadapi saja, nanti kan di pengadilan dibuktikan. Tapi, buktinya, di praperadilan dia kalah.

(Catatan: Novel Baswedan pernah mempertanyakan salah satu pelapor, Brigadir Yogi Haryanto, yang ketika kejadian penembakan masih berusia 18 tahun. Novel, yang ketika itu menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu, dituduh menembak tersangka pencurian sarang burung walet.)

Sampai sekarang Anda masih mengawal kasus Novel?

Saya tidak mengawal. Artinya, karena saya sudah menjabat di tempat lain, begitu ada serah-terima, ya sudah, itu tanggung jawab (Kepala Bareskrim) yang baru. Pembuktian yang menjadi bagian pekerjaan saya sudah selesai.

Anda sempat mendatangi Bareskrim dan Kejaksaan Agung meminta agar kasus Novel segera dilimpahkan.

Kata siapa? Ngapain? Saya tidak pernah ke Kejagung, tidak pernah ke Bareskrim. Ndak pernah saya. Boleh dicek. Ini karena orang melihat saya dari sisi negatif dengan mengisukan hal-hal seperti itu. Tapi saya tidak peduli. Biar saja, nanti akan dijawab sendiri oleh masyarakat.

Banyak kalangan beranggapan Anda satu kubu dengan Budi Gunawan. Benarkah?

Ini yang perlu saya jelaskan. Saya pernah menjadi anak buah Budi Gunawan. Di kala saya di Propam (Profesi dan Pengamanan), Pak Budi Gunawan Kadiv Propam (Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan)). Saya baru kali itu dinas bersama Pak Budi Gunawan. Pada waktu kasus Pak Susno Duadji, mulai muncul kasus rekening gendut. Salah satu yang menangani kasus rekening gendut adalah saya. Kasus Budi Gunawan bundelnya setebal ini (sembari menunjukkan jarak dengan dua tangannya sejauh 30 sentimeter). Waktu itu Kabareskrim Ito Sumardi mengajukan surat ke PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dari hasil pemeriksaan kami. Itu sudah clear.

Semua perwira tinggi itu clear? Termasuk Badrodin Haiti, Matius Salempang, dan Budi Gunawan?

Iya. Benar.

Bukankah ada transaksi-transaksi jumbo ke rekening perwira itu?

Soal transaksi itu contohnya begini: ada teman pengusaha yang merasa lebih aman menggunakan rekening polisi. Zaman itu seperti itu. Supaya apa? Ngaku-ngaku bahwa duit itu adalah duitnya bapak (polisi) itu. Seperti itu. Itu sudah kami telisik, ke bank, ke orang yang nyetor itu. Semua kami periksa.

Jadi maksud Anda semua itu adalah uang titipan?

Ada yang uang titipan, ada juga hasil penjualan warisan. Banyaklah. Jumlahnya besar, ada yang hampir setengah triliun. Tapi, dalam waktu yang sebentar, duit itu sudah hilang. Diambil dan ditransfer sama pemiliknya. Lalu muncul lagi transferan 100 miliar, 62 miliar, 30 miliar. Kami yang memeriksa juga terkaget-kaget. (Tapi) itu sudah kami klarifikasi semua. Ini kan sifatnya data intelijen yang belum bisa dikatakan bahwa ada pelanggaran hukum di situ. Bahwa ada rekening mencurigakan boleh-boleh saja. Saya ingat betul karena saya yang memeriksa itu.

Soal anggapan satu kubu dengan Budi Gunawan tadi karena Anda terlihat sangat mendukung dia sebagai Kepala Polri.

Sewaktu Budi Gunawan menjadi calon tunggal Kapolri, saya Kasespim (Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Polri). Saya anak buah langsungnya. Pada saat itu, siswa-siswa saya sudah selesai Sespimti dan Sespim. Ketika ada waktu kosong gitu, Budi Gunawan memanggil saya, "Mas, bantu untuk menyusun paper test." Saya jalankan tanpa ada pikiran aneh-aneh. Lalu, malam-malam ketika tengah menyusun bersama tim, tiba-tiba muncul status tersangka (Budi Gunawan) itu (dari KPK). Kami kaget. Apa-apaan ini? Ini rekening gendut yang mana?

Jadi saya merasa punya tanggung jawab sebagai pelaku yang pernah mengklarifikasi (kasus rekening gendut) itu. Saya melihat ini aneh karena bertepatan dengan Budi Gunawan dipilih oleh Presiden sebagai calon tunggal Kapolri. Jadi tidak ada kepentingan pribadi dengan Budi Gunawan. Saya harus meluruskannya sebagai orang yang bertanggung jawab atas kasus itu. Jadi soal itu hanya penegakan. Hanya karena menyangkut oknum pimpinan KPK, saya dihadapkan pada kepentingan antarlembaga.

Ketika di Propam, Anda sudah menyelidiki kasus rekening gendut dan memprotes ketika KPK memeriksanya kembali. Sedangkan kasus Novel juga sudah diperiksa Propam, tapi kemudian Anda selidiki lagi. Bukankah itu standar ganda?

Karena direkayasa. Ada upaya menutupi kasusnya Novel. Saya harus membuktikan itu karena kasusnya muncul lagi lantaran ada yang melaporkan. Ternyata, setelah ditelusuri, benar adanya. Saya tidak ada kepentingan. Tidak ada istilah benci.

Dengan semua tindakan Anda sebagai Kepala Bareskrim waktu itu, Anda dicap sebagai orang yang turut melemahkan KPK.

Tidak. Saya adalah orang yang concern. Saya pernah bilang, KPK, Polri, jaksa seharusnya satu kekuatan yang utuh dalam memberantas korupsi. Kalau untuk korupsinya harus kita hajar habis-habisan. Sudah saya buktikan ketika jadi Kabareskrim. Tapi teman-teman antikorupsi tidak pernah mendukung saya. Contohnya kasus Pelindo II, saya dituduh bikin gaduh, itu rekayasa, dan cari popularitas.

Dalam kasus Pelindo II, Dewan Perwakilan Rakyat sampai bikin panitia khusus....

Kalau itu, tanya sama DPR. Ini ada pandangan reaktif kalau gara-gara Pelindo itu saya dicopot. Bagi saya sendiri, tidak ada masalah. Saya baru menangani awal. Ada laporan, lalu periksa saksi. Kami geledah dengan izin dari pengadilan. Saya pimpin langsung karena anak buah saya ragu-ragu karena ini kasus besar. Kalau seandainya salah, biar saya ambil risiko. Tapi saya tidak merasa salah. Sampai hari ini pun (tidak terbukti) kesalahan saya apa. Penempatan saya di BNN bukan karena kasus Pelindo, tapi memang karena kontrak saya sebagai Kabareskrim sudah cukup.

Meskipun Anda baru menjabat delapan bulan sebagai Kabareskrim?

Satu hari saja sudah cukup. Yang penting sudah pernah menjadi Kabareskrim. Itu sejarah: pernah jadi Kabareskrim. Ha-ha-ha....

Tapi buktinya kasus Pelindo II belum ada perkembangannya?

Siapa yang bilang? Sampai sekarang saya masih memegang alat buktinya secara keseluruhan. Ada di saya.

Belum Anda serahkan?

Ada sebagian yang sudah disidik. Kalau itu tidak jalan, masih ada yang lain yang saya pegang. Besok-besok, kalau saya dituduh, saya buka. Apa lu? Saya enggak main-main. Saya itu (punya) 67 kasus yang saya sidik, luar biasa korupsinya. Yang 9 nilainya triliunan. Yang 23 nilainya ratusan miliar. Yang 35, miliaran.

Kasus Pelindo termasuk yang besar?

Tadinya tidak. Dia bukan yang kategori yang sembilan. Sekarang itu bukan kewenangan saya, silakan saja. Tapi, kalau besok saya dipojokin, akan saya buka semua.

Wah, Anda punya peluru banyak rupanya.…

Kebiasaan saya di Propam seperti itu. Sekarang saya masih menyimpan kasus-kasus yang memang penting. Kalau besok-besok saya dipojokin, eit nanti dulu!

Anda sempat melayat ke rumah Muhammad Riza Chalid ketika ibundanya meninggal. Sedekat apa hubungan Anda?

Kalau dibilang dekat, tidak. Kenal-kenal saja, sama seperti ketika ada teman wartawan yang kesusahan. Saya minta alamatnya, kemudian datang. Saya ini orang yang tidak ada kepentingan apa-apa dan tidak cari apa-apa kecuali bekerja. Seperti Pak Setya Novanto, saya kenal juga. Komisi Hukum DPR, saya kenal juga. Tapi ya cukup kenal begitu saja. Tapi, dalam hal orang kesusahan, saya datang enggak ada masalah, kan? Mau diomongin apa saja silakan.

Anda datang bersama Budi Gunawan ketika itu?

Iya, barengan. Waktu itu saya mau menghadap beliau, kebetulan beliau mau melayat. Ya, kebetulan sama, kami jadi bareng saja.

Santer kabar Anda akan besanan dengan Budi Gunawan.

Ha-ha-ha.... Kami sering kumpul-kumpul, misalnya dengan angkatan. Apalagi ketika saya di Lemdikpol (Lembaga Pendidikan Polri), sering ada kumpul-kumpul bersama. Anak-anak dan keluarga sering kami ajak, misalnya kumpul-kumpul kalau ada kegiatan di Puncak. Kalau di antara anak-anak kami ada yang taksir-taksiran, emang tidak boleh? Soal nanti jadi atau tidak, itu bukan urusan kami. Jangan langsung dihubung-hubungkan, "Ya, pantas aja calon besan, makanya dibela mati-matian." Emang seperti itu yang hendak diarahkan orang-orang itu. Ya, saya ketawa dan biarin sajalah.

Sampai sekarang mereka masih berhubungan?

Saya tidak tahu sampai sejauh mana, tapi hubungannya masih baik. Seperti itu. Tidak ada urusan saya. Urusan anak muda itu. Kita juga pernah pacaran, kok. Kalau saya pacaran (dulu), banyak pacar saya, ha-ha-ha....

Ihwal kasus hakim Sarpin Rizaldi, Anda memidanakan dua Komisioner Komisi Yudisial dan kemudian mendapat kecaman.

Tidak apa-apa. Itulah penegakan hukum. Penegakan hukum tidak boleh dipilah-pilah. Bukan karena ini Sarpin dulu pernah bantu Budi Gunawan, tidak begitu. Siapa pun yang lapor harus kami tindaklanjuti. Soal benar atau tidaknya tergantung bagaimana nanti. Jangan misalnya karena Novel anak baik terus kasusnya tidak boleh disidik. Juga karena AS Ketua KPK jangan disidik. Tidak seperti itu. Harus sama semua. Saya juga tidak kebal hukum. Saya bukan model pilih kasih.

Tempo sepertinya juga masuk daftar yang akan Anda periksa waktu itu?

Sebenarnya itu proses dalam pembuktian. Benar atau tidaknya nanti. Bukan karena Tempo terus memberitakan Budi Gunawan lalu dijadikan sasaran sama Buwas, tidak begitu. Saya bukan orang yang seperti itu. Lillahi taala. Saya hanya ingin membuktikan benar atau tidak.

Anda juga sempat berpolemik dengan Buya Syafii Maarif dan dilaporkan oleh Pemuda Muhammadiyah.

Tidak apa-apa. Ya, silakan diperiksa saja saya. Intinya, saya ingin diajak bicara saja. Jangan belum apa-apa sudah disuarakan (ke publik). Jadinya kan fitnah. Beliau bisa langsung menelepon saya. Pasti akan saya jelaskan. Setelah itu mau ngomong ke media, tidak apa-apa. Misalnya Pak Oegroseno yang ngomong mau tempeleng saya. Memang saya siapa mau main tempeleng-tempeleng? Saya hormati beliau. Saya bilang, "Pak, sudahlah, jangan cari-cari masalah. Memangnya hebat? Kita ini cuma manusia biasa." Saya sama senior biasa saja. Sering saya sampaikan bahwa kami tidak mau cari masalah. Saya cuma melaksanakan tugas sebagai Kabareskrim. Kalau ada yang tidak berkenan, silakan datang atau panggil saya.

Benarkah Anda berseberangan dengan Kepala Polri Badrodin Haiti?

Tidak, itu salah. Saya itu orangnya sering diskusi. Kadang-kadang kami berbeda pendapat. Itu wajar. Saya bilang, "Pak, ini fakta-faktanya. Kalau Bapak bilang seperti itu, dari mana (faktanya)?" Tapi orang lalu mengkonotasikan bahwa ini perlawanan atau berseberangan. Tidak ada itu. Wong, yang dukung beliau jadi Kapolri juga saya. Tanya saja beliau. Mana ada saya singgung-singgung beliau termasuk 17 rekening gendut itu? Tidak pernah. Intinya, kalau mau ngomong yang negatif tentang saya, silakan saja. Asalkan ada faktanya. Sebab, itu untuk koreksi diri saya juga. Saya kan manusia biasa, pasti ada kekhilafan. Kasih tahu saya supaya saya bisa berubah.

Bagaimana pekerjaan Anda sebagai Kepala BNN?

Tadinya saya berpikir masalah narkotik BNN ini lebih ringan daripada Bareskrim. Karena hanya satu permasalahan. Ternyata tidak. Total pecandu di Indonesia lebih dari 5 juta. Awalnya saya gencar pemberantasan. Dalam waktu tiga minggu, saya menyumbang 1.523 tersangka seluruh Indonesia.

Apakah benar Anda menolak rehabilitasi pengguna narkotik?

Tidak begitu. Rehabilitasi itu sudah ada di undang-undang. Pengguna ini orang sakit, jadi wajib (disembuhkan). Tapi pengguna juga punya tanggung jawab atas pidananya.

Soal rencana penjara yang dijaga buaya, apakah benar akan terealisasi?

Iya. Jadi bukan main-main. Bukan cari popularitas. Penjara buaya itu hanya untuk yang berat saja. Misalnya para bandar, terpidana hukuman mati, dan yang hukumannya berat.

Terakhir, Anda sudah melaporkan harta kekayaan?

Tim saya sedang bekerja. Karena salah satu yang sedang dihitung adalah senjata. Harga senjata yang tafsirkan harus dari pabriknya. Saya minta mereka yang tafsir. Karena saya mau fair.

Komisaris Jenderal Budi Waseso
Tempat dan tanggal lahir: Pati, 19 Februari 1961 Pendidikan: Akademi Kepolisian (lulusan 1984) Karier: Kepala Badan Narkotika Nasional (September 2015-sekarang), Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Januari-September 2015), Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri (2014-2015), Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri (2014-2015), Widyaiswara Utama Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (2013-2014), Kepala Kepolisian Daerah Gorontalo (Juli 2012-September 2013), Kepala Pusat Pengamanan Internal Markas Besar Polri (2010-2012), Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Tengah (2009-2010)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus