Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RANCANGAN undang-undang berjudul Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan itu baru beredar di kalangan terbatas anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. "Tidak semua mendapat," kata politikus Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, Selasa pekan lalu. Arsul termasuk anggota Dewan yang sudah memegang rancangan tersebut.
Arsul menerima berkas itu dari anggota fraksi lain yang melobi dia agar mendukung rancangan tersebut masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2016. Lobi-lobi, menurut Arsul, juga dilakukan sejumlah hakim kepada anggota Badan Legislasi lain. "Saya menolak permintaan mereka," ujar Arsul.
Wakil Ketua Badan Legislasi dari Partai Amanat Nasional, Totok Daryanto, juga sudah menerima draf undang-undang tentang penghinaan pengadilan itu pada pertengahan tahun ini. Namun ia tidak buru-buru bersikap menolak ataupun menerima. "Nanti akan dibahas di Komisi Hukum untuk lebih detailnya," kata Totok.
Adapun Wakil Ketua Badan Legislasi dari Partai Golkar, Firman Subagyo, mengaku belum menerima rancangan undang-undang tersebut. Namun dia tahu pernah ada usul soal perlunya undang-undang tentang contempt of court dari Ikatan Hakim Indonesia pada medio tahun ini.
Sejumlah politikus di Senayan mengungkapkan pemimpin Badan Legislasi dari Partai Gerindra, Sarehwiyono, termasuk yang paling getol mengusung rancangan undang-undang contempt of court. "Dia rajin mendekati beberapa anggota Dewan untuk mencari dukungan," kata seorang politikus. Sebelum menjadi anggota DPR, Sareh menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Bandung.
Lobi-lobi pengusung rancangan undang-undang tersebut tampaknya mulai membuahkan hasil. Kamis pekan lalu, Badan Legislasi DPR menggelar sidang dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dewan menyerahkan 54 usul undang-undang yang akan dibahas dalam Program Legislasi Nasional 2016. Salah satunya rancangan undang-undang penghinaan pengadilan.
Dalam rancangan undang-undang contempt of court, sanksi pidana tak hanya berlaku bagi orang yang merusak barang, mengancam, atau mencemooh hakim dan lembaga pengadilan. Ibarat pukat harimau, rancangan ini bisa menjerat siapa pun yang dianggap mengganggu pengadilan, termasuk mereka yang mengkritik hakim atau memberitakan miring sebuah persidangan. Ancaman hukumannya tak main-main: bisa sampai sepuluh tahun penjara (lihat: "Dirancang Lebih 'Karet'").
Sejumlah kalangan mempertanyakan cakupan contempt of court yang begitu luas. Termasuk mereka yang mempersoalkan bahkan datang dari kalangan hakim. Salah satunya Koordinator Forum Diskusi Hakim Indonesia Djoe Hadisasmito.
Menurut Djoe, draf undang-undang contempt of court terkesan berat sebelah. Soalnya, rancangan itu hanya merumuskan sanksi bagi "orang luar" yang menghina pengadilan. "Padahal pelecehan juga bisa datang dari dalam," ujar Djoe, yang juga Ketua Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat, Kamis pekan lalu.
Djoe mencontohkan, hakim yang bertemu dengan pihak beperkara seharusnya bisa masuk kategori menghina pengadilan. Dia menyampaikan masukannya itu dalam diskusi penyusunan naskah akademik rancangan aturan tersebut pada Juni lalu.
USUL tentang perlunya hukuman bagi penghina pengadilan muncul ketika Undang-Undang Mahkamah Agung disahkan pada 1985. Gagasan serupa kembali mengemuka pada 2002, ketika Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung menyusun naskah akademik tentang kehormatan lembaga pengadilan.
Naskah akademik tersebut kemudian menjadi acuan penyusunan rancangan undang-undang penghinaan pengadilan, yang masuk Program Legislasi Nasional DPR pada 2003. Namun pembahasan rancangan tersebut surut di tengah jalan. Soalnya, waktu itu DPR memprioritaskan revisi Undang-Undang Mahkamah Agung dan pengesahan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Ide untuk mencegah contempt of court kembali menguat setelah insiden perusakan Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah, pada Februari 2011. Kerusuhan meletup setelah hakim menjatuhkan vonis lima tahun atas terdakwa penistaan agama Antonius Bawengan. Ratusan pengunjuk rasa tak hanya merusak mobil polisi dan kantor pengadilan. Ketika berkonvoi ke tengah kota, massa juga merusak tiga gereja.
Dalam rapat kerja nasional Ikatan Hukum Indonesia pada 2012, penghinaan terhadap pengadilan menjadi bahasan utama. Rekomendasi pertemuan itu antara lain meminta Mahkamah Agung menyusun rancangan undang-undang untuk menjaga wibawa pengadilan.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Basuki Rekso Wibowo menuturkan, pada 2015, lembaganya menyusun ulang naskah akademik contempt of court. "Kajian terbaru lebih komprehensif dari sebelumnya," kata Basuki, Kamis pekan lalu.
Sepanjang Juli-Agustus lalu, Mahkamah Agung pun menurunkan tim jajak pendapat ke sejumlah daerah. Menurut Basuki, tim Mahkamah Agung mewawancarai 756 orang—terdiri atas hakim, jaksa, pengacara, dan praktisi hukum—di 19 kota. Hasilnya, 85 persen responden menyatakan perlu aturan khusus tentang contempt of court dalam bentuk undang-undang. Namun Basuki tak merinci undang-undang seperti apa yang dianggap perlu oleh mayoritas responden itu.
Mahkamah juga mengundang beberapa praktisi hukum. Salah satunya Sarehwiyono.
Pada akhir April lalu, Sareh menjadi pemberi materi dalam diskusi yang digelar Mahkamah Agung di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Dia membawakan makalah berjudul "Urgensi Pembentukan Undang-Undang tentang Penghinaan dalam Persidangan (Contempt of Court) untuk Menegakkan Martabat dan Wibawa Peradilan".
Dalam naskah akademik yang dibuat Mahkamah Agung, ada lima kategori penghinaan terhadap pengadilan, yaitu berperilaku tercela di pengadilan, tidak menaati perintah pengadilan, menyerang integritas pengadilan, menghalangi jalannya peradilan, dan membuat pemberitaan yang menyerang pengadilan.
Meski menyusun naskah akademik, menurut Basuki Rekso Wibowo, Mahkamah Agung tidak terlibat dalam perumusan pasal-pasal rancangan undang-undang penghinaan pengadilan. Naskah akademik pun tidak menjabarkan sanksi bagi pelanggar. Pasal-pasal dalam rancangan undang-undang disusun Ikatan Hakim Indonesia, yang juga beranggotakan para hakim agung. "Karena itu, sudah lebih teknis," kata Basuki.
Naskah akademik yang disusun Tim Penelitian Mahkamah Agung sebenarnya gamblang menjelaskan bahwa contempt of court jangan sampai "mendewakan" hakim. Kajian itu, misalnya, menyebutkan pemberitaan persidangan diperbolehkan sepanjang berdasarkan fakta dan bukan fitnah atau berita bohong. Di dalam penelitian itu juga dijelaskan contoh publikasi wartawan di beberapa negara.
Nah, ketika dijabarkan dalam rancangan undang-undang, menurut Arsul Sani, cakupan penghinaan pengadilan menjadi sangat luas. Di bagian penjelasan pun tak ada pembatasan rinci atau pengecualian dari berbagai kategori penghinaan. Di samping bisa memicu banyak penafsiran, menurut Arsul, "Aturan seperti itu berpotensi salah sasaran."
Pasal 24, misalnya, menyebutkan setiap orang yang mempublikasikan berlangsungnya suatu persidangan dan bertendensi mempengaruhi hakim bakal dipenjara sepuluh tahun atau denda Rp 1 miliar. Di bagian penjelasan pasal tersebut hanya tertulis "cukup jelas". Walhasil, "Hakim jadi terlihat superior, tidak ada rambunya," kata Arsul.
Selebihnya, menurut Arsul, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan itu banyak "menjiplak" Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Saat ini DPR sedang membahas revisi kitab induk perkara pidana tersebut.
Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, aturan soal contempt of court tercantum dalam bab "Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan", yang terdiri atas 23 pasal. "Saya menolak rancangan contempt of court karena akan merusak pembahasan revisi KUHP," ucap Arsul.
Ketua I Ikatan Hakim Indonesia Suhadi membenarkan jika rancangan undang-undang penghinaan pengadilan disebut datang dari mereka. Naskah akademik rancangan tersebut juga sudah dikirim ke Dewan. Namun Suhadi membantah ada lobi khusus ke Senayan. "Semangatnya harus ada aturan penyelenggaraan peradilan yang baik, dihormati, dan aman," kata Suhadi, yang juga hakim agung, menjelaskan motif pengajuan undang-undang itu.
Adapun Ketua Badan Legislasi DPR Sarehwiyono mengakui mendorong aturan soal contempt of court agar segera disahkan karena sudah tertunda sejak masa sidang 2014. Dia pun menuturkan rancangan tersebut disusun Ikatan Hakim Indonesia yang prihatin terhadap banyaknya pelanggaran hukum selama proses persidangan.
Sareh mengelak jika undang-undang penghinaan pengadilan disebut akan membatasi kebebasan berekspresi. "Bukan kami mau membatasi. Tapi, kalau ada yang enggak bener, ya harus diatur," katanya. "Malu juga saya kalau di sidang ada orang berdiri di atas meja tapi tidak dipidana."
Syailendra Persada, Fransisco Rosarians, Angelina Anjar Sawitri
DIRANCANG LEBIH 'KARET'
SEBELUM dibahas di Indonesia, undang-undang yang mengatur penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) telah berlaku di berbagai negara, dari Asia hingga Eropa. Beberapa di antaranya memiliki ciri khas, sesuai dengan sistem peradilan tiap negara. Di Indonesia, pasal-pasal penghinaan pengadilan tampaknya dirancang agar bisa "mulur- mengkeret" dengan hukuman yang jauh lebih berat.
Indonesia
Pasal Pembeda:
Inggris
Pasal Pembeda:
India
Pasal Pembeda:
Istman M.P. | Berbagai sumber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo