Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERDIRI sejak 22 Desember 1971 di Paris, organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang kesehatan, Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas, hampir selalu hadir di zona konflik dan di negara yang terkena penyakit endemis. Tahun lalu, MSF memiliki operasi cukup besar di tiga negara yang sedang berkonflik dan dilanda penyakit endemis: Sudan Selatan, Republik Kongo, dan Yaman.
Presiden Internasional MSF Joanne Liu, 53 tahun, khawatir terhadap situasi Yaman karena perang yang melanda sejak 2015 dan belum ada tanda akan berakhir. Ia menyebutkan sistem perawatan kesehatan di negara berpenduduk 29 juta jiwa itu benar-benar hancur. Sekitar 50 persen fasilitas medisnya lumpuh karena banyak tenaga kesehatannya terluka sehingga tak bisa bekerja atau lantaran bangunannya dibom.
Di Asia, operasi terbesar MSF adalah menangani warga Rohingya yang terusir dari Myanmar dan kini mengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh. MSF beroperasi di Cox’s Bazar sejak 1992 dan kini memiliki lebih dari 3.000 personel yang mengoperasikan 4 rumah sakit dan 13 fasilitas medis. Ia berharap Indonesia dan negara lain di Asia Tenggara tak menutup mata dan berpura-pura tidak terjadi sesuatu di Myanmar. “Faktanya, di dunia ini sangat jarang terjadi kekerasan yang menyebabkan perpindahan penduduk sebesar di Myanmar,” kata Liu dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Abdul Manan dan Angelina Anjar, di Jakarta, Kamis, 2 Mei lalu.
Operasi di wilayah konflik menimbulkan bahaya yang mengancam nyawa personel MSF. Pada 3 Oktober 2015, pesawat tempur Amerika Serikat AC-130U mengebom Pusat Trauma Kunduz, Afganistan, yang dioperasikan MSF. Sebanyak 42 tenaga medis dan pasien meninggal. Sepuluh tahun sebelumnya, MSF keluar dari Afganistan karena lima personelnya terbunuh. MSF kembali beroperasi di negeri itu pada 2009.
Di tengah kesibukannya mengunjungi wilayah operasi MSF di seluruh dunia, awal Mei lalu, perempuan asal Kanada itu ke Jakarta dalam kunjungan tiga hari. Setelah bertemu dengan pejabat ASEAN pada hari pertama, Liu menemui Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Abdurrahman Mohammad Fachir. Pada hari ketiga, ia mengunjungi ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management.
Apa misi utama kunjungan Anda ke Indonesia?
Indonesia negara penting. Pertama, kantor pusat ASEAN bertempat di Jakarta. Saya bertemu dengan Sekretaris Jenderal ASEAN. Selain itu, saat ini Indonesia menjadi salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bulan ini, Indonesia pun memegang peran sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB. Indonesia bisa membawa isu-isu penting, seperti konflik Yaman dan Gaza, di PBB. Saya ke sini juga untuk mendiskusikan hal itu.
Seperti apa peran yang bisa dimainkan Indonesia?
Indonesia bisa menjadi pemeran utama dalam beberapa isu sensitif. Misalnya, dalam krisis Rohingya, Indonesia dapat memastikan Myanmar menjunjung tinggi hak asasi manusia di sana. Indonesia pun bisa memastikan orang-orang Rohingya, yang memang ingin kembali ke negaranya, kembali atas dasar kesukarelaan serta mendapat kehidupan lebih layak. Kita pun harus memberikan perlindungan bagi mereka.
Tapi ASEAN memiliki kebijakan tidak mengintervensi politik dalam negeri sebuah negara….
Menurut saya, itu bukan intervensi. Itu hanyalah sebuah pengingat akan standar yang harus dilaksanakan. Kita tidak bisa berpura-pura tidak terjadi sesuatu di Myanmar. Faktanya, di dunia ini sangat jarang terjadi kekerasan yang menyebabkan perpindahan penduduk sebesar di Myanmar. Yang terakhir adalah genosida di Rwanda. Tidak mungkin penduduk pergi dari tempat tinggalnya secara besar-besaran kecuali mereka berpikir bahwa nyawa mereka sedang dipertaruhkan. Yang terjadi pada orang-orang Rohingya mengerikan. Jadi, kalau ingin melakukan rekonsiliasi, kita harus memastikan mereka akan terlindungi.
Apakah krisis Rohingya bisa diakhiri?
Yang diperlukan adalah solusi politik. Saya bukan politikus. Kami bergerak dalam bidang medis dan kemanusiaan. Jadi kami hanya bisa menawarkan bantuan medis dan kemanusiaan bagi komunitas Rohingya yang berada di Negara Bagian Rakhine (Myanmar) dan Cox’s Bazar, Bangladesh.
Bagaimana operasi MSF mengatasi krisis Rohingya?
Kami beroperasi di Cox’s Bazar sejak 1992. Saat ini kami memiliki lebih dari 3.000 anggota staf di sana, seribu di antaranya berasal dari komunitas Rohingya. Kami menjalankan 4 rumah sakit dan 13 fasilitas medis.
Kondisi orang-orang Rohingya sekarang bagaimana?
Saya pernah ke sana. Kondisinya memang sangat sulit. Cox’s Bazar adalah sebuah bukit. Jadi orang-orang Rohingya terjebak di puncak bukit itu. Sebenarnya semua kebutuhan mereka sudah kami penuhi, terutama untuk pembedahan. Hanya, hingga kini kami belum diberi akses ke lokasi-lokasi yang hendak kami tuju. Padahal kami punya klinik mobile. Kami membutuhkan tekanan politik dari negara-negara di dunia agar bantuan medis dari organisasi internasional bisa masuk ke komunitas Rohingya.
Apa kekhawatiran terbesar Anda terhadap kondisi mereka?
Kekhawatiran terbesar kami adalah perlindungan bagi komunitas Rohingya. Mereka tidak punya kewarganegaraan, bahkan tidak punya nama. Otomatis mereka juga tidak memiliki hak. Indonesia merupakan negara kunci dalam peningkatan dukungan terhadap komunitas Rohingya. Mereka saudara Anda. Anda harus bersuara.
Apa yang bisa dilakukan Indonesia atas krisis Rohingya?
Anda perlu memberikan tekanan kepada pemerintah Anda. Pemerintah Anda akan melakukan sesuatu jika Anda memberikan dukungan kepada mereka. Dengan Anda mengatakan, “Saudara kita menderita, kita perlu melakukan sesuatu, “ dan melakukan demonstrasi, percayalah, pemerintah Anda akan mendengarkan.
Mengapa pemerintah Indonesia harus melakukan sesuatu atas krisis Rohingya?
Semua negara harus melakukan sesuatu atas krisis Rohingya. Pemerintah saya, pemerintah Kanada, cukup terlibat dalam krisis ini. Mereka mendorong Dewan Keamanan PBB membuat sebuah resolusi untuk krisis Rohingya. Apalagi Anda memiliki kedekatan dengan komunitas Rohingya. Jadi Anda harus terus membantu mereka. Semua orang mengatakan kepada saya bahwa warga Indonesia bersuara untuk orang-orang Palestina. Lantas kenapa Anda tidak bersuara untuk masyarakat Rohingya?
Apa yang akan terjadi jika tidak ada solusi politik segera?
Ketika seseorang hidup dalam sebuah kondisi yang buruk dan situasi tanpa harapan, kesehatan mental orang itu akan terkena dampak. Hal itu juga akan berdampak pada bagaimana ia memproyeksikan masa depannya.
Anda kerap mengkritik regulasi tentang imigran. Apa yang sebenarnya terjadi?
Saat ini terjadi langkah mundur dalam komitmen kita terhadap orang-orang yang melarikan diri dari negaranya. Konvensi pada 1951 secara gamblang menyebutkan pengungsi berhak mendapat perlindungan. Apa pun alasan meninggalkan negaranya, mereka harus diperlakukan secara bermartabat. Kita tidak bisa menjustifikasi mengapa seseorang melarikan diri dari negaranya. Bisa saja karena mereka teraniaya secara seksual, terjadi krisis ekonomi seperti di Venezuela, atau negara mereka adalah negara totaliter. Tidak ada migran atau pengungsi yang baik atau buruk. Tidak ada seorang pun yang melarikan diri dari negaranya untuk bersenang-senang. Orang meninggalkan negaranya karena tidak memiliki pilihan lain.
Seperti apa perlakuan tidak bermartabat kepada pengungsi?
Setiap hari banyak pengungsi berlayar melintasi Laut Mediterania. Tapi kita buta, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Di sisi lain, ketika ada orang yang membantu para pengungsi itu, dunia siap menghukum mereka, mengkriminalkan mereka. Itu terjadi pada kami. Baru kali ini saya melihat orang dikriminalkan karena menyelamatkan hidup orang lain. Bayangkan, Anda sedang berjalan di tepi danau dan melihat seorang anak tenggelam di danau itu. Apakah Anda akan bertanya dulu, “Hei, apakah kamu pengungsi?” Anda pasti akan langsung menolongnya.
Anda pernah bertemu langsung dengan para pengungsi itu?
Saya pernah ke Libya dan mengunjungi salah satu rumah detensi di sana.
Bagaimana kondisi mereka?
Mereka terus-menerus kelaparan, dipukuli, disiksa, bahkan diperkosa. Itulah sebabnya saya selalu bersuara tentang isu ini di mana-mana. Ini harus dihentikan. Bayangkan kalau anak Anda mengetahui seorang wanita yang sedang hamil diperkosa atau seorang anak dipukuli tanpa alasan kecuali hanya karena melarikan diri dari negaranya. Mereka pasti akan bertanya, “Ibu, apa yang kamu lakukan terhadap orang-orang itu?” Anda tidak akan bisa menjawab pertanyaan tersebut.
MSF juga terjun ke daerah konflik, antara lain di Gaza, Palestina. Apa tantangan di sana?
Saya berada di Gaza pada awal tahun ini. Sejak dimulainya Great March of Return (aksi besar pembebasan Palestina) pada Maret 2018, ada 31 ribu orang yang terluka. Dari jumlah itu, sekitar 6.800 orang menderita luka tembak, terutama di betis, yang 50 persen di antaranya mengalami patah tulang terbuka. Karena kondisi lingkungan yang buruk, banyak dari mereka yang terinfeksi atau berpotensi terkena infeksi. Faktanya, dengan sekitar 240 personel di sana, kami hanya bisa mengobati 20 persen dari jumlah itu.
Bagaimana upaya MSF mengatasinya?
Kami melayangkan permohonan kepada komunitas diplomatik di New York, Amerika Serikat, untuk meningkatkan kapasitas dalam merawat orang-orang terluka itu, baik meningkatkan kapasitas manajemen kasus di Gaza dengan menambah ahli bedah di sana maupun memperbolehkan korban dievakuasi ke tempat lain. Kami sudah melakukan 13 evakuasi korban ke pusat bedah kami di Amman, Yordania. Saya khawatir, jika luka-luka itu tidak ditangani tepat waktu, mereka akan kehilangan kaki. Saya tidak mau mengamputasi mereka yang masih berusia muda karena mereka akan berkutat dengan kelemahan selamanya.
Joanne Liu memeriksa kesehatan bayi di Gwange, Distrik Maiduguri, Nigeria. Malik Samuel/ MSF
Apakah isolasi Gaza oleh Israel mempengaruhi misi MSF?
Tentu saja. Itu mempengaruhi cara kami mengirim bantuan, melewati titik pemeriksaan, dan sebagainya. Tapi kami bisa bertahan walaupun Gaza bagai penjara terbuka karena kami tidak dapat bergerak dengan bebas di sana.
Adakah personel MSF yang menjadi korban konflik di Gaza?
Tidak. Biasanya orang-orang terluka karena melakukan demonstrasi di dekat dinding Israel dan ditembaki tentara Israel. Kami tidak ke sana. Kami berada di rumah sakit. Di sana pun tidak sedang berlangsung perang aktif. Perang aktif terjadi di Yaman. Di Yaman, berbagai infrastruktur dibom, seperti sekolah, pasar, ataupun rumah sakit.
Ada rumah sakit MSF yang menjadi korban?
Ya. Lima fasilitas medis kami diserang sejak konflik Yaman pecah. Kami kehilangan kolega dan pasien. Sebulan lalu, orang tak dikenal datang ke rumah sakit kami di Aden dan membawa salah satu pasien keluar. Kemudian orang itu menembaknya hingga tewas. Saya baru saja kembali dari Yaman. Di sana kami memiliki 2.000 personel di 13 rumah sakit. Sejak konflik Yaman bermula, kami sudah mengobati sekitar 107 ribu pasien trauma. Jumlah pasien trauma begitu besar karena banyak pengeboman terjadi tanpa pandang bulu. Sistem perawatan kesehatan di sana benar-benar sudah hancur. Sekitar 50 persen fasilitas medis lumpuh karena banyak anggota staf terluka sehingga tidak bisa bekerja atau lantaran bangunannya dibom. Hal itu terlihat dari tingginya kasus kolera di sana. Pada 2017, kami menemukan 900 ribu kasus kolera. Banyak pula kasus difteri dan campak.
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sedikitnya 2.906 orang meninggal akibat kolera di Yaman. Mengapa korban begitu banyak?
Saat berada di sana beberapa pekan lalu, staf kami yang beroperasi di dekat Taiz melaporkan bahwa para korban kesulitan datang ke fasilitas medis kami karena tidak memiliki uang. Keamanan mereka di jalan pun kurang. Karena itu, mereka terlambat ditangani. Dalam satu setengah tahun terakhir, lebih dari seribu korban meninggal hanya beberapa jam setelah sampai di rumah sakit atau bahkan sebelum tiba di sana.
Apa tantangan terbesar misi MSF di Yaman?
Setelah lebih dari empat tahun konflik di Yaman, kami tidak melihat sebuah resolusi bisa diambil dalam waktu dekat ini. Kami masih akan terus menghadapi perang aktif, yang juga menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Pada awal konflik, kami hanya perlu berbicara dengan beberapa pihak. Saat ini kami harus berbicara dengan banyak pihak. Itu mempersulit pekerjaan kami. Jaminan keamanan bagi personel kami pun lebih susah diperoleh.
Ada kajian terhadap kondisi keamanan di daerah konflik sebelum terjun ke sana?
Ada. Kami punya pakar untuk mengkaji beberapa parameter keamanan di wilayah yang akan kami tuju, apakah kami bisa diserang, apakah kami bisa dibom, dan sebagainya. Mereka jugalah yang memutuskan apakah kami bisa ke sana atau tidak. Jika tidak yakin wilayah yang akan kami tuju aman, kami tidak akan ke sana. Kami pun memberi tahu semua pihak lokasi kami beroperasi. Kami memberikan titik koordinat. Jadi kami tidak merahasiakan apa pun.
Apakah ada perubahan dalam cara MSF beroperasi dengan adanya berbagai serangan itu?
Jika keamanan kami tidak lagi terjamin, kami akan pergi. Pada 2013, kami meninggalkan Somalia karena terus-menerus menjadi sasaran. Tapi kami kembali ke sana dua tahun lalu. Sebelumnya, pada 2005, kami meninggalkan Afganistan karena lima kolega kami dibunuh. Tapi kami kembali ke sana pada 2009. Pada 2015, kami mendapat musibah lagi di Afganistan, tepatnya di Kunduz. Rumah sakit kami dibom dan 42 orang meninggal. Tapi, sekitar setahun lalu, kami kembali ke Kunduz.
Apa yang membuat MSF bertahan meskipun terus-menerus diserang?
Kami akan menempuh segala cara untuk tetap bertahan. Sebab, ketika kami pergi, orang-orang di sana tidak lagi memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan. Itulah sebabnya kami membutuhkan perlindungan.
Perlindungan seperti apa yang seharusnya diberikan bagi misi kemanusiaan di daerah konflik?
Para pihak yang berperang harus menghormati aturan perang. Mereka tidak boleh mengebom ataupun menyerang rumah sakit. Jangan seret rumah sakit ke medan perang. Dalam resolusi Dewan Keamanan PBB pada Mei 2016 tertulis dengan jelas mengenai perlindungan bagi misi medis dan kemanusiaan di wilayah perang. Kita tidak boleh mengebom rumah sakit, ambulans, dokter, dan pasien.
Realitasnya seperti apa?
Perang adalah perang. Itulah sebabnya mereka harus diberi tekanan politik. Kalau perlu, dipermalukan. Kami membutuhkan negara seperti Indonesia untuk bersuara, “Hei, teman-teman, mereka mengebomi orang-orang. Apa yang kalian lakukan?” Tidak ada seorang pun yang mau dipermalukan.
Joanne Liu
Tempat dan tanggal lahir: Quebec, Kanada, 4 November 1965
Pendidikan: Fakultas kedokteran McGill University, Amerika Serikat; subspesialisasi perawatan darurat pediatris dari fakultas kedokteran New York University, Amerika Serikat; master internasional bidang kepemimpinan kesehatan dari McGill University
Karier: Bergabung dengan Médecins Sans Frontières (1996), Manajer Program MSF Paris (1999-2002), Presiden MSF Kanada (2004-2009), Presiden Internasional MSF (2013-sekarang)
Penghargaan: Royal College of Physicians and Surgeons of Canada’s Teasdale-Corti Humanitarian Award 2013
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo