Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Geger beredarnya beras plastik pada medio Mei lalu perlahan mereda. Pemerintah lewat Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyatakan tidak menemukan kandungan plastik dari sampel beras yang diteliti lima lembaga, di antaranya Badan Pengawas Obat dan Makanan serta laboratorium forensik Markas Besar Kepolisian RI.
Hasil negatif yang disuguhkan kelima laboratorium itu berbeda dengan hasil uji laboratorium PT Sucofindo. Sebelumnya, perusahaan pelat merah itu menyatakan beras yang dibeli Dewi, warga Bekasi, positif mengandung senyawa polyvinyl chloride (PVC), yang biasa ditemukan pada produk plastik, seperti kabel dan pipa pralon. Menurut Sucofindo, komposisi campuran klorida itu 6,76 persen dari 250 gram beras yang dicek.
Saat menerima Tulus Wijanarko, Isma Savitri, Akbar Tri Kurniawan, dan fotografer Tempo Frannoto untuk wawancara di ruang kerjanya di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis pekan lalu, Rachmat sejak awal mewanti-wanti agar masalah beras plastik tak lagi disentil. "Saya enggak mau dipusingin, walau itu masalah penting. Kita kan enggak tahu siapa yang bermain," ujarnya, Kamis, 28 Mei lalu.
Menurut Rachmat, alih-alih larut dalam simpang-siur beras plastik, pemerintah memilih berfokus memikirkan stok pangan. Apalagi, menjelang Ramadan pertengahan bulan ini, masih banyak yang perlu ditangani Kementerian Perdagangan. Di antaranya soal pasokan unggas yang berlebih, harga cabai dan bawang yang melonjak, serta ketersediaan beras. Jangan sampai, kata pria 52 tahun itu, gara-gara sibuk mengurus isu beras plastik, pemerintah lalai pada isu lain.
Dalam wawancara yang berlangsung lebih dari satu jam, Rachmat Gobel mengungkapkan harapannya tentang pasar Indonesia menjelang pasar bebas ASEAN. Sejumlah penjelasan diminta Rachmat off the record dengan alasan emoh mengungkap strategi "perang". Ia menyebutkan target peningkatan ekspor sampai 300 persen bisa dicapai jika keran impor tidak melulu dibuka.
Tentu impor masih diberlakukan selama kondisinya mendesak. Seperti menjelang Ramadan kali ini, Rachmat pada akhirnya meneken izin sebelas importir sapi Australia dengan alasan produksi nasional masih kurang. Demikian pula bawang dan cabai, rencananya bakal diimpor pemerintah untuk menjaga stabilitas harga.
Seperti apa nantinya pengaturan merek beras setelah kabar adanya beras plastik?
Selama ini merek dagang beras tidak terdaftar di Kementerian Perdagangan, hanya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Nah, hikmah kejadian ini, kita jadi paham, selama ini Kementerian Perdagangan tidak pernah tahu di mana tempat produksi dan siapa produsen suatu merek beras. Nantinya, setelah merek beras diatur, kita akan mudah menangani jika terjadi sesuatu. Karena kita tahu tempat produksi dan produsennya. Di sinilah produsen bertanggung jawab atas produk yang dijualnya. Dia tidak akan bisa lepas tangan. Nanti di bungkus berasnya juga akan tertulis, itu oplosan atau tidak.
Pengawasannya nanti seperti apa?
Kita sedang mengarah ke sana, tapi sedikit demi sedikit, karena reaksinya bisa ramai. Kami nurunin minuman beralkohol dari minimarket saja sampai sekarang masih ramai.
Jadi nanti produsen beras mesti mendaftar dua kali: di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Hukum?
Iya, dong.
Kementerian Perdagangan juga akan menerapkan uji kualitas?
Harus. Nanti kami akan menerapkan SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk semua. Ini untuk melindungi konsumen dari keamanan dan kesehatan.
Sudah dipikirkan resistansi pasar?
Sudah pasti ada. Tapi pemerintah harus mengatur. Kalau tidak, kita hanya dijadikan pasar. Nati akan dibuatkan payung hukum berupa peraturan menteri.
Apakah untuk produk pangan lain SNI juga diterapkan?
Pasti. Karena itu, nanti perlu ada pembinaan dan sistem yang pasti. Misalnya bagaimana barang yang dikirim kualitasnya tetap baik meski jaraknya jauh. Kalau kita tahu persoalan mereka, pemerintah akan mengerti apa saja yang masih harus dibantu.
Sebenarnya, soal beras, saya minta jangan diangkat lagi isunya karena sekarang sudah mereda. Kalau baca di media sosial, aduh, banyak yang tidak mengerti tapi asal bicara. Itu akhirnya membuat keresahan masyarakat jadi lebih besar.
Apakah artinya pemerintah menganggap beras plastik sekadar isu?
Yang jelas, ketika isu itu muncul, pemerintah sudah mengambil langkah untuk mengurangi keresahan masyarakat agar soal tersebut tidak malah dimanfaatkan pedagang atau lainnya. Yang harus kita pahami, tahun depan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah mulai berjalan. Saya punya kepentingan untuk melindungi pasar Indonesia. Sebab, di ASEAN, pasar terbesar itu di Indonesia. Kita harus menjaga modal untuk menambah nilai jual.
Coba lihat, selama ini impor kita tinggi, sementara produktivitas rendah. Produk lokal kita diserang. Misalnya dengan impor ilegal, beras ilegal. Adapun pangan kita juga harus mengimpor dulu. Memang, kalau dilihat dari teori ekonomi, supply dan demand sebanyak mungkin. Tapi itu mau sampai kapan? Tentu kita perlu terobosan. Kalau kita mau menahan impor tapi kebutuhan dalam negeri tidak kita penuhi, bagaimana?
Menurut Anda, solusinya dengan menahan impor?
Saya pernah mencoba tidak melakukan impor, ketika akhir tahun lalu harga cabai mencapai Rp 130 ribu per kilogram, yang akhirnya mempengaruhi inflasi. Padahal itu ada solusinya. Kita bisa memanfaatkan teknologi untuk membangun perkebunan cabai terintegrasi yang tidak mengandalkan cuaca. Setelah itu kita harus mengubah pola makan cabai, dari yang segar ke olahan. Kalau itu bisa didorong, industri kecil akan berkembang. Kenapa kita tidak melakukan sosialisasi itu?
Apakah harganya tidak malah melonjak kalau permintaan impor kita sewaktu-waktu tinggi?
Tidak. Kan, ada beberapa sumber impor: Vietnam, Myanmar, dan Thailand. Jadi di satu sisi kami berikan kepastian petani untuk mendukung kontribusi mereka, di sisi lain kami menjaga kebutuhan konsumen. Impor itu alternatif terakhir.
Soal pangan, tiap tahun pasti ada masalah beras. Tiap Desember-Februari juga ada paceklik pangan.
Salah satu solusinya, kita harus membangun industri perberasan pascapanen yang terintegrasi dan memberi nilai tambah.
Ide Anda ditangkap oleh Kementerian Perindustrian?
Kalau dengan Kementerian Pertanian, kami sudah ada pemahaman. Ini ke depan mesti dipastikan sama-sama. Saya dengan Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi tahun lalu saat blusukan ke Kramat Jati, Jakarta Timur, sepakat mewujudkan swasembada pangan dengan peran masing-masing. Kementerian Perdagangan yang akan mengatur impornya dan memberi optimisme kepada para petani. Karena itu, Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi membantu sekuat tenaga. Demikian juga saya membantu mereka, supaya jaringannya jalan.
Seperti apa pengaturan impornya sekarang?
Caranya, kami melihat ketersediaan Kementerian Pertanian untuk mengisi pasar, supply-nya berapa besar. Sebenarnya kami ada kontrak dengan Vietnam dan Myanmar untuk impor, tapi tidak kami eksekusi. Itu kami usahakan agar supply sendiri. Masalahnya sekarang pedagang menguasai.
Sekarang ada beras premium yang permintaannya naik seiring dengan meningkatnya jumlah kelas menengah. Tapi stoknya malah datang dari Jepang, Thailand....
Kalau dari Jepang itu beras industri.
Mungkinkah kita memproduksi beras berkualitas serupa?
Itu bergantung pada teknologi. Nantinya harus seperti itu.
Lalu bagaimana cara mengubah pola pikir petani?
Kami harus memikirkan industri apa yang berhubungan dengan beras yang bisa kami kasihkan ke petani. Misalnya bahan makanan yang berbahan baku beras olahan. Sebetulnya kita bisa diversifikasi produk jadi minyak beras, tepung beras, jadi nantinya zero waste.
Sementara ini, bagaimana cara menahan impor beras?
Sebetulnya kita bisa mengendalikan walau pas-pasan dan dikuasai pedagang. Itulah mengapa kita bisa sewaktu-waktu mengimpor. Kita ini sudah dikuasai pedagang.
Maksud Anda mafia beras?
Iya. Tapi selama ini yang kelihatan hanya pion-pionnya.
Apa strategi pemerintah untuk menghadapi mereka?
Petani kecil harus didorong sekuat tenaga, juga mengembalikan peran Bulog sebagaimana mestinya. Sekarang Bulog masih jadi BUMN yang punya orientasi profit. Koperasi unit desa juga nantinya harus berinteraksi dengan petani.
Mengubah Bulog seperti dulu lagi kan sudah tak bisa.
Bisa. Kalau Anda tanya kepada saya, enggak ada yang enggak bisa. Memang pasti ada perlawanan, karena itu harus Anda bantu. Kepala Bulog sekarang itu luar biasa. Dia kasih semua karyawan Bulog beras untuk rakyat miskin (raskin), untuk menunjukkan bahwa jangan sampai memberi beras berkualitas jelek ke masyarakat.
Menurut Anda, apa kendala Bulog menyerap beras petani?
Karena semua sudah dikuasai pedagang. Selama ini kita menganut pasar bebas. Ditambah organisasi Bulog sudah lemah, kebanyakan menunggu. Ini harus diubah sistem sumber daya manusianya. Perjuangan ini bukan hal yang gampang. Sekarang kami sedang dalam upaya membenahi. Dalam sehari, saya tiga kali berteleponan dengan Menteri Pertanian. Pagi-siang-sore, kayak minum obat.
Sepertinya Anda cocok banget dengan Menteri Pertanian sekarang.
Karena kami sudah sama-sama berkomitmen dengan Menteri Perindustrian serta Menteri Koperasi dan UKM membangun ketahanan nasional. Sebentar lagi sudah MEA, kita harus membangun ketahanan pangan, enggak bisa terus impor.
Mengenai ekspor komoditas timah, harapannya sejak November ada peraturan Menteri Perdagangan yang baru. Tapi ini pasti banyak pihak yang berkepentingan. Bagaimana Anda menanganinya?
Ya, kanharga timah jatuh dan, di era globalisasi, masalah lingkungan jadi sorotan. Nah, bagaimana lingkungan kita? Ya, harus lewat pasar bursa. Seperti timah solder bahan bakunya harus di pasar bursa, agar kami bisa mengontrol. Saya sendiri sudah bilang, karena ini industri kecil, pasar bursa harus membantu juga.
Bagaimana Anda meyakinkan para penambang bahwa pasar bursa itu harapan mereka?
Ini masalah menertibkan. Ini sama di mana-mana. Saya tak mau terpancing karena isu ini kadang dipermainkan.
Sebagai Menteri Perdagangan, apa yang akan Anda perbaiki dari pasar Indonesia?
Latar belakang saya industri. Saya punya keinginan membangun pasar Indonesia. Seperti sekarang, Kementerian Perdagangan punya rencana kenaikan 300 persen ekspor dalam 5 tahun. Kalau orang enggak percaya angka tersebut, itu sah saja. Tapi saya optimistis karena banyak produk kita yang belum diolah. Kita punya produk primer 65 persen dan produk manufaktur 35 persen. Lalu kenapa produk manufaktur tidak kita ekspor? Karena itu, nantinya produk manufaktur kita bangun jadi 65 persen, sedangkan produk primer 35 persen.
Target 300 persen itu dari sektor mana saja?
Di samping manufaktur lain seperti otomotif. Kita harus proaktif, investor kita undang untuk aktif di pasar Indonesia. Target kami, kalau pihak asing, seperti Jepang, masuk ke sini, kita bisa jual "Made in Indonesia". Sementara barang bikinan Cina terkenal murah, saya pingin produk Indonesia naik sebagai barang yang kualitasnya baik dan berwawasan lingkungan.
Apa saja insentif untuk investor?
Itu sudah kami minta ke Kementerian Perindustrian. Pokoknya kami minta kenaikan ekspor 300 persen dan barangnya itu ada.
Sebelum ini, kenapa upaya menggenjot ekspor hasilnya belum maksimal?
Pertama, kita belum mengolah produk. Kedua, kita belum memanfaatkan pasar luar. Nah, sekarang kami tengah melakukan sejumlah perundingan untuk bisa masuk ke pasar luar negeri, karena Indonesia akan kami jadikan basis produksi untuk pasar lokal dan ekspor. Kalau enggak buka pasar luar negeri, impor dari Indonesia tarifnya jadi mahal. Kita enggak bisa dapat tarif yang murah sebagaimana negara lain. Vietnam ekspornya lebih bagus daripada kita karena sudah membuka pasar.
Menekan barang ilegal ini sebenarnya rencana klise....
Karena itu, ini mesti didukung oleh industri. Nantinya pasar yang kami bangun harus produk lokal, bukan impor.
Lalu apa strategi Anda untuk membuka pasar?
Kami akan menarik industri kecil. Seperti sekarang, saya sudah minta atase perdagangan. Saya minta dia pelajari pasar mereka, produk Indonesia ada di mana posisinya, berapa market share kita. Setelah itu, kami bagi lagi menurut industrinya, berapa persentasenya, produknya juga kami pelajari. Lalu lihat lagi, regulasi apa yang menghambat upaya kita ke sana. Kami juga akan bilang ke pelaku industrinya soal rencana dan target ekspor kami. Kalau Vietnam dan negara lain bisa, kenapa kita tidak?
Menurut Anda, apa yang membuat Vietnam berhasil?
Semua itu masalah regulasi. Jadi harus ada harmonisasi regulasi, karena banyak regulasi kita yang tidak mendukung iklim investasi di Indonesia. Di lapangan, ada masalah tanah, izin di daerah, fiskal.
Dalam lima tahun ini cukup untuk membereskan masalah regulasi itu?
Kita jangan lihat itu. Kalau menunggu nanti, tidak akan jadi. Lebih baik melangkah saja. Kalau kebanyakan analisis, telat lagi kita. Negara ini kan kebanyakan diskusinya, lalu laporan. Lalu apa yang harus dilakukan? Karena itu, Kementerian Perdagangan bersama yang lain aktif bekerja mencari pasar.
Jadi seperti apa road map untuk lima tahun ke depan?
Kami sudah ada rencana target. Tapi memang, karena baru mulai September 2014, mustahil bisa sesuai dengan rencana. Maka saya kemarin ke Polandia, bertemu dengan duta besar di Eropa Timur dan berdiskusi via telekonferensi. Nanti saya juga akan ke Afrika Selatan dan Timur Tengah, juga Amerika Serikat. Itu perlu waktu, tapi sudah dimulai. Persiapan awalnya adalah memetakan persoalan dan membandingkan dengan negara lain. Lalu menyediakan produk yang dibutuhkan konsumen. Itu cara analisisnya gampang. Kan, saya pengusaha.
Rachmat Gobel
TEMPAT DAN TANGGAL LAHIR: Jakarta, 3 September 1962 | KARIER: Direktur Utama PT Gobel International (1994-sekarang), Komisaris PT Panasonic Manufacturing Indonesia (2002-sekarang), Wakil Direktur Utama PT National Gobel (1993-2002), Komisaris Utama PT Panasonic Gobel Indonesia (2004-sekarang), Direktur Utama PT National Panasonic Gobel (1993-2004), Komisaris Utama PT Nusantara Parkerizing (2000-sekarang), Wakil Komisaris Utama PT Parker Metal Treatment Indonesia (2002-sekarang), Komisaris Utama PT Gobel Dharma Nusantara (2013-sekarang), Komisaris PT Smart Tbk (2004-sekarang), Komisaris PT Indosat Tbk (2008-sekarang), Komisaris Utama PT Visi Media Asia Tbk (2014-sekarang) | ORGANISASI: Menteri Perdagangan Kabinet Kerja (2014-sekarang), Wakil Ketua Umum, Koordinator Bidang Infrastruktur Kamar Dagang dan Industri Indonesia (2013-sekarang), Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (2012-2015), Ketua DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia (2011-2013), Anggota Komite Inovasi Nasional (2010-sekarang), Ketua Umum Federasi Asosiasi-asosiasi Industri Berbasis Telematika & Elektronika (2010-sekarang), Wakil Ketua Dewan Penasihat Kamar Dagang dan Industri Indonesia (2010-2013) | PENDIDIKAN: Doktor kehormatan dari Chuo University, Tokyo, Jepang (2014), Doktor kehormatan dari Takushoku University, Tokyo, Jepang (2002), Sarjana ilmu perdagangan internasional Chuo University, Tokyo, Jepang (1987)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo