Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harus diakui, reputasi Mahkamah, yang lahir dari Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, pada 2001, ini terdongkrak berkat kepemimpinan Jimly Asshiddiqie-ketua selama dua periode. Mahkamah telah menelurkan 144 keputusan dan berhasil menguji 69 undang-undang di bawah Undang-Undang Dasar 1945. "Hanya lima yang jadi kontroversi, itu pun karena unsur politisnya yang tinggi," kata Mahfud. Contohnya, putusan tentang 20 persen anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2007.
Mahfud bertekad membawa Mahkamah ke arah yang lebih maju. Selain menguji undang-undang dan sengketa pemilihan umum, pria yang sebelumnya pernah menjadi menteri dan politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa ini ingin mengembangkan adanya bentuk permohonan baru berupa constitutional complaint dan constitutional question, seperti di negara-negara maju. "Kasusnya sudah banyak, tapi pintunya masih tertutup," Mahfud menambahkan.
Kasus-kasus itu, misalnya, menyangkut satu orang atau perkara yang diadili dua kali, terpidana yang menjadi korban peninjauan kembali dari jaksa, sampai seorang terpidana yang dihukum dengan aturan lama. "Intinya, seseorang yang dilanggar hak asasinya tapi belum ada jalur hukumnya," katanya. Selasa pekan lalu, Mahfud menerima Arif A. Kuswardono dan Gabriel Titiyoga dari Tempo di ruangan kerjanya, lantai 15, gedung Mahkamah Konstitusi yang megah di Merdeka Barat. "Ruangan ini lebih bagus ketimbang ruang kerja menteri," kata guru besar yang masih aktif mengajar di berbagai kampus itu.
Apa agenda penting Anda?
Menjadi penjaga konstitusi. Negara ini harus dibangun atas dua sendi yang saling terkait, yaitu demokrasi dan nomokrasi. Demokrasi itu prinsipnya menang-menangan. Tapi Indonesia juga negara nomokrasi, negara hukum. Apa yang benar secara demokrasi belum tentu benar sebagai kebijakan negara. Bahkan bisa dibatalkan di sini, jika nomokrasinya salah.
Beberapa pihak di Dewan Perwakilan Rakyat mengatakan Mahkamah Konstitusi otoriter. Sebuah undang-undang yang disusun oleh banyak orang bisa dibatalkan oleh beberapa hakim konstitusi....
Saya pernah membawa rombongan hakim Mahkamah Konstitusi bertemu dengan pemimpin lembaga negara, termasuk Ketua Dewan PerwakilanRakyat Agung Laksono. Saya katakan banyak kritik bahwa sembilan anggota Mahkamah bisa membatalkan suara 550 wakil rakyat ditambah pemerintah. Apakah ini tidak berlebihan? Saya katakan itu konsekuensi dari pilihan kita tentang isi konstitusi yang membentuk Mahkamah ini. Sebab, ketika undang-undang Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dibatalkan Mahkamah, itu bukan karena mereka bodoh dan salah membuat undang-undang. Itu karena proses politik yang terjadi di antara mereka. Sudah tahu tidak benar, tapi kok masih diputuskan berdasarkan kekuatan.
Salah satunya soal partai peserta pemilu harus punya kursi di Dewan Perwakilan Rakyat?
Ya. Parlemen tahu aturan itu tidak adil untuk partai kecil dan melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Mereka sama-sama partai dan punya badan hukum. Meski tidak punya kursi di Senayan, partai-partai kecil itu sebenarnya punya banyak suara. Cuma tersebar, sehingga tidak bisa dihitung untuk memperoleh satu kursi di daerah.
Apa persiapan Mahkamah untuk menyelesaikan sengketa Pemilu 2009, yang sistemnya lebih individual ketimbang pemilu lalu yang masih dikendalikan partai?
Kita memang mengantisipasi kemungkinan sengketa pemilu akan makin banyak. Pertama, karena ada aturan ambang batas baru untuk menjadi anggota Dewan, 30 persen. Calon yang selisihnya sedikit dengan nomor di atasnya, misalnya cuma 7.000 suara, akan beperkara dan cari-cari data. Kedua, sekarang ada parliamentary threshold, partai yang tidak mencapai 2,5 persen, suaranya akan hilang dan dianggap hangus. Lalu, jika ada yang mencapai 2,4 sekian persen, pasti akan mencari data untuk beperkara.
Mengapa keputusan yang berisi kepentingan partai-partai besar bisa muncul dari Senayan?
Saya dulu anggota Dewan yang punya hak bicara dan ikut memutuskan, tapi sering kalah oleh orang banyak. Sebagai konsekuensi demokrasi, suara saya tenggelam, akhirnya kena judicial review. Sekarang yang terjadi di Dewan bukan hanya itu. Misalnya, berdebat tentang sebuah undang-undang, lama sekali. Setelah berdebat lama, akhirnya diputuskan soal itu dibawa ke panitia khusus saja. Sebelum hasil panitia khusus dibawa ke paripurna, terjadi pertemuan pemimpin partai yang tidak ikut dalam panitia khusus tersebut. Pemimpin partai mengatakan, "Oh, saya tidak setuju." Lalu anggota Dewan dari partai itu ikut suara pemimpinnya. Apa yang sudah disepakati bisa diubah lagi meskipun pemimpin partai tidak ikut.
Seperti soal pasal syarat presiden dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden?
Ya. Dulu di Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden diatur syarat presiden yang ideal. Pertama, harus sarjana. Siapa pun akan bilang itu bagus. Kedua, harus bisa melihat dan membaca sendiri. Ketiga, tidak terlibat kasus hukum; dan keempat, harus mendapatkan dukungan minimal 20 persen. Tapi Megawati tidak bisa kalau syaratnya sarjana. Kalau harus bisa melihat dan membaca sendiri, Gus Dur yang kejegal. Lalu syarat bebas kasus hukum, Akbar Tandjung tidak bisa. Kalau harus mendapatkan 20 persen dukungan, Amien Rais yang tidak bisa, karena partainya kecil. Padahal semuanya calon presiden. Akhirnya, sudahlah, bolehkan saja empat-empatnya.
Maksudnya, terlalu mengutamakan kepentingan politik?
Pembuatan undang-undang seperti itu tidak obyektif lagi. Kalau hal itu menyebabkan pelanggaran terhadap konstitusi, bisa dibatalkan. Di sinilah pentingnya Mahkamah Konstitusi. Selama ini baru dilakukan uji materi atau uji isi terhadap undang-undang. Saya berharap Dewan lebih berhati-hati. Ke depan, bisa saja terjadi uji formal atau memeriksa prosedur. Kalau prosedurnya salah, yang dibatalkan itu bukan pasal tertentu saja, tapi seluruh undang-undang.
Dalam hal apa uji konstitusi bisa membatalkan seluruh undang-undang?
Di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ada kewenangan mengenai uji materi dan formal. Contoh uji formal, Undang-Undang Bank Indonesia. Kalau benar udang-undang itu dibuat berdasarkan suap, secara formal itu salah dan bisa dibatalkan seluruhnya. Asalkan ada vonis dari kasus Bank Indonesia dan ada bukti bahwa uang yang mengalir dari bank sentral berpengaruh terhadap isi undang-undang. Saya kira Mahkamah menunggu kalau ada yang mau menguji formal. Mahkamah akan membatalkan undang-undang itu kalau betul terbukti ada suap-menyuap atau prosedur yang tidak benar.
Apakah Anda keluar dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Partai Kebangkitan Bangsa untuk pindah ke Mahkamah Konstitusi karena menghindari konflik politik?
Undang-undang mengatur hakim konstitusi tidak boleh aktif di partai politik. Dengan sendirinya tidak boleh menjadi anggota lembaga negara, termasuk Dewan. Jauh sebelum kontestasi hakim konstitusi, saya adalah salah seorang Ketua Asosiasi Guru Besar Hukum Tata Negara bersama Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan. Asosiasi ini mendorong saya, "Pak Mahfud, Anda enggak cocok di Dewan, suara Anda bisa hilang. Cobalah ke Mahkamah, biar bisa bersama-sama Pak Jimly."
Anda pamit ke Gus Dur?
Karena dorongan itu, saya pamit dari dunia politik. Saya pamit ke Gus Dur. Dia setuju dan bilang, "Kamu memang lebih cocok di sana." Teman-teman di Dewan juga mendorong. Saya kira dari seluruh pemilihan di Dewan, pemilihan hakim konstitusi paling bersih dari permainan uang. Saya katakan waktu itu kepada teman-teman Senayan, kalau saya harus bayar kepada siapa pun, entah administrasi, entah uang transportasi atau dengan nama apa pun, tak usah pilih saya. Saya malu menginjak gedung Mahkamah ini kalau harus membayar, meski cuma sepeser.
Secara pribadi, Anda tetap melakukan lobi politik?
Ya. Misalnya, saya ketemu dengan Jusuf Kalla. Lalu bilang saya mau pindah dari legislatif ke yudikatif. Jusuf Kalla bilang, "Anda profesional di situ, Golkar akan dukung." Lalu ketemu Taufiq Kiemas dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Taufiq juga mendukung. Jadi lobi politik memang saya lakukan, tapi bukan dengan uang. Nanti Dewan tinggal lihat saja hasil uji kepatutan, bisa dinilai sampai di mana kompetensinya. Saya dipilih dengan obyektif, bukan karena kroni atau pertemanan. Karena itu, saya datang ke sini dengan bangga.
Sebagai orang yang dibesarkan Partai Kebangkitan Bangsa, menurut Anda, bagaimana mengatasi konflik yang berlarut antara kubu Abdurrahman Wahid dan Muhaimin?
Teman-teman Gus Dur di Partai Kebangkitan Bangsa terpental semua dengan tidak enak. Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab, dan Saifullah Yusuf keluar dari Partai Kebangkitan Bangsa karena berkonflik dengan Gus Dur. Satu-satunya yang keluar dari Partai dengan manis cuma saya. Malah saya diupacarakan dan dilepas resmi oleh Gus Dur. Orang bertanya apa sebabnya. Karena saya tahu karakter Gus Dur.
Apa resep menghadapi Gus Dur?
Saya tidak pernah melawan Gus Dur, saya memilih tidak ikut kalau tidak cocok. Sementara itu, yang lainnya melawan, berhadapan. Faktanya, secara kultural harus diakui Partai Kebangkitan Bangsa itu milik Gus Dur. Dengan demikian, saat saya ikut Partai, kalau Gus Dur mau apa, biarin saja. Kalau setuju, akan saya dukung. Kalau tidak setuju, saya minggir, keluar dari keputusan tersebut, tapi tidak melawan berhadapan.
Ada contohnya?
Waktu pembentukan Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan, sebagai Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa saya dukung Kerakyatan, sedangkan Gus Dur yang dipengaruhi teman-teman lainnya ikut Kebangsaan. Gus Dur marah karena saya jalan sendiri. Saya datangi beliau dan bilang, "Oke, kalau memang saya dicap jalan sendiri, saya mundur." Tapi Gus Dur malah memberikan apresiasi. Ketika muktamar Partai Kebangkitan Bangsa di Semarang, saya sudah menganggap terpilihnya Muhaimin tidak beres. Tapi saya tidak melawan seperti Alwi Shihab dan Chairul Anam, yang mendirikan tandingan. Saya datang ke Gus Dur dan bilang tidak setuju muktamar Semarang. Saya tidak mau jadi pengurus partai.
Muhaimin naik karena penunjukan?
Ya, tapi macam-macamlah. Ada rekayasa peraturan sehingga orang lain tidak bisa ikut dari awal. Saya bilang itu tidak demokratis. Tapi, karena sudah pilihan muktamar dan Gus Dur setuju, silahkan saja. Tapi saya enggak mau jadi pengurus partai. Saya mau jadi anggota biasa saja. Gus Dur sampai tiga kali menelepon saya dan menunda pengumuman pengurus partai.
Apa lagi faktor yang membuat Anda tak mau melawan Gus Dur?
Saya menyadari sepenuhnya bahwa saya jadi orang itu karena Gus Dur. Saya ini profesor doktor, kemampuan ada. Tapi profesor doktor di Indonesia itu banyak. Nah, saya ini diangkat pertama kali oleh Gus Dur sehingga dikenal. Saya punya iktikad tidak bisa melawan Gus Dur karena dia yang mengangkat saya.
Dengan kondisi kesehatan Gus Dur, apakah keputusannya masih bisa dipertanggungjawabkan?
Kalau melihat Partai Kebangkitan Bangsa ke dalam, masih dibutuhkan orang kuat seperti Gus Dur. Kalau tidak, bisa berantakan. Ketika Muhaimin tampil sebagai alternatif, sedikit-banyak harus bersikap seperti Gus Dur, setengah bertangan besi.
Dengan posisi yang netral, pernahkah Muhaimin minta tolong kepada Anda untuk bicara dengan Gus Dur?
Muhaimin pernah datang ke sini, sebelum saya jadi Ketua Mahkamah. Dia bilang ingin menegakkan aturan dan membuat partai lebih berwibawa. Ketika putusan Mahkamah Agung turun, saya datang dan menulis surat pribadi ke Gus Dur. Saya katakan, secara hukum masalahnya sudah selesai, pertentangan politik tidak bisa dilanjutkan lagi. Masukan saya direspons oleh Gus Dur dengan membentuk Tim Islah. Saya sampaikan secara pribadi, bukan sebagai hakim konstitusi. Tapi sekarang mulai kisruh lagi.
Muhaimin minta Gus Dur tetap menjadi bagian dari Partai Kebangkitan Bangsa, hanya orang-orang yang dianggap mengganggu yang disingkirkan. Apa bisa Gus Dur diatur seperti itu?
Kalau itu, soal lain. Saya juga sering beda pendapat dengan dia. Tapi pikiran besarnya soal pluralisme, humanisme, perlindungan hak asasi manusia, dan demokrasi, saya kagumi. Tapi soal praktek politik sehari-hari, itu hal yang berbeda. Saya tidak pernah ikut. Tapi konsep dasarnya saya ikuti dan kembangkan karena penting bagi bangsa ini.
Profesor Dr Mohammad Mahfud Md.
Tempat dan Tanggal Lahir: Madura, Jawa Timur, 13 Mei 1957
Pendidikan:
- Fakultas Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
- Jurusan Sastra Arab, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
- Program Pascasarjana, Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
- Program Doktor, Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Karier:
- Pelaksana Tugas Staf Ahli Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia, 1999-2000
- Menteri Pertahanan, 2000-2001
- Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2001
- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, 2004-2008
- Ketua Mahkamah Konstitusi, 2008-sekarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo