Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Siapa Menabur, Siapa Menjaring

22 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RATUSAN cek pelawat itu diguyurkan pada hari yang sama dengan terpilihnya Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sejumlah politikus di Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya diketahui mencairkannya secara langsung ataupun melalui perantaraan istri atau sopir mereka. Tidak terlalu susah untuk menduga bahwa proses pemilihan pejabat penting di bank sentral itu beraroma suap dan korupsi.

Kian hari bukti-bukti kian meyakinkan. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan asal muasal dan jejak-jejak ke mana duit mengalir. Ini bisa dijadikan petunjuk awal untuk terus membongkar kasus tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mengumpulkan lebih banyak bukti, selain memeriksa semua pemberi dan penerima duit haram itu. Kerja keras Komisi masih diperlukan mengingat pengakuan terbuka Agus Condro kelihatannya belum akan diikuti penerima cek yang lain.

Namun pangkal persoalannya juga perlu dibenahi. Skandal ini bermuara pada proses seleksi yang dikenal dengan uji kelayakan dan kepatutan alias fit and proper test di Dewan Perwakilan Rakyat. Sudah menjadi rahasia umum, uji penyaringan pejabat publik itu telah melahirkan praktek tercela: kongkalikong, sogok—bahkan cara untuk menekan presiden.

Forum penyaringan pejabat itu kini menjadi keasyikan baru bagi elite partai dan para politikus yang berkantor di Senayan. Ketika Orde Baru berkuasa, proses ini sepenuhnya menjadi domain eksekutif. Namun, pada zaman reformasi ini, kewenangan seolah bergeser ke legislatif. ”Pemindahan kekuasaan” ini barangkali dipicu kekecewaan tentang peran di masa lalu, ketika Dewan hanya dianggap tukang stempel pemerintah.

Bandul kekuasaan kini berubah. Merujuk pada perundang-undangan, untuk jabatan tertentu, presiden harus meminta pertimbangan atau persetujuan para legislator itu. Dari sinilah, melalui mekanisme fit and proper test, Dewan sibuk menguji calon hakim agung, Gubernur Bank Indonesia dan Deputi Gubernur Senior, komisioner lembaga negara, di antaranya Komisi Pemberantasan Korupsi, calon duta besar, Panglima TNI, dan Kepala Kepolisian.

Sistem politik baru ini bukannya tanpa kelemahan. Yang terjadi justru melimpahnya kekuasaan yang eksesif para wakil rakyat. Alih-alih mengoreksi kekuasaan yang cenderung executive heavy, yang tercipta malah kekuasaan legislatif yang ekstrem. Format kenegaraan seperti ”banci”: Republik dinyatakan berbentuk presidensial, tapi spirit ”parlementarian” sangat kuat. Indikasinya, dalam banyak hal presiden mesti bernegosiasi dengan Dewan.

Padahal, konstitusi tegas-tegas menggariskan tiga tugas pokok bagi Dewan, yaitu dalam urusan bujet, legislasi, dan pengawasan. Dari ketiga wewenang ini, tak ada yang bisa membenarkan Dewan melakukan rekrutmen pejabat negara.

Kaidah bernegara yang mesti dipatuhi adalah bahwa pengawasan dan eksekusi tak bisa berada di satu tangan. Sebab, pelanggaran terhadap pemisahan ini berarti merusak prinsip check and balance. Dewan Perwakilan Rakyat lebih baik menjalankan fungsi-fungsi utamanya. Tak perlu menjadi lembaga perekrut, penyeleksi, atau pelelang calon pejabat. Biarlah presiden yang menunjuk pejabat publik, terkecuali untuk hakim konstitusi yang memang menjadi ”jatah” wakil rakyat. Ketika sang pejabat bertugas atas penunjukan atau pemilihan yang diatur eksekutif, sejak itulah Dewan mesti sigap mengawasi.

Masalahnya, mekanisme uji kelayakan dan kepatutan itu dibikin di bawah payung peraturan perundang-undangan. Demi mengurangi ekses buruk berupa suap dan sogok, partai politik dan politikus di Senayan perlu diyakinkan untuk merevisi peraturan yang memberi celah bagi proses rekrutmen serta seleksi pejabat publik. Bisa juga dalam jangka pendek ini proses itu dikembalikan saja ke tangan eksekutif. Dewan hanya perlu meneliti ”rekam jejak” sang calon di masa lalu. Kecuali diketahui mempunyai catatan ”busuk” masa lampau, Dewan tak perlu menggugurkan sang calon pejabat. Dewan sebaiknya berfokus saja pada fungsi pengawasan.

Hal ini penting agar prinsip presidensial tidak dilanggar. Toh, selama ini semua calon anggota komisi atau lembaga independen sudah disaring melalui panitia seleksi dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Jangan lagi ketika nama-nama mereka masuk di meja para politikus di Senayan, Dewan bertindak sebagai hakim penentu akhir.

Kalau proses ”restu partai dan politikus” ini diterus-teruskan, bisa berabe. Setidaknya berpeluang menciptakan atmosfer yang cenderung korup, sebagaimana terjadi pada skandal pemilihan Miranda Goeltom yang baru berlalu. Dewan harus betul-betul legowo untuk dikoreksi otoritasnya. Hanya dengan cara inilah fit and proper test tak gampang terpeleset menjadi fee and property test....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus