Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Mari Alkatiri: Sekarang Ada yang Mulai Takut

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA tak pernah mencari jabatan perdana menteri. Saya berharap kembali pada kehidupan akademis." Kalimat itu diucapkan Mari Alkatiri, Perdana Menteri Timor Leste, dalam wawancara dengan The Asia Times lima tahun silam. Ketika itu Timor Leste "belum apa-apa": negeri itu baru saja merdeka, konflik internal masih jauh dari membuncah-meski benih-nya bukan sama sekali tak ada. Kini Alkatiri, 57 tahun, menghadapi realita yang lain: konflik di tubuh militer dan pemerintah. Dan Mari Alkatiri adalah le-laki di pusara konflik itu: ia dipaksa mundur oleh sejumlah tentara desersi yang dipimpin Mayor Alfredo Reinado.

Protes tentara itu bukan tanpa sebab-. Pada Maret lalu Panglima Militer Bri-gadir Jenderal Taur Matan Ruak me-mecat 593 tentara-sesuatu yang dise-tujui Alkatiri. Mayoritas berasal dari wilayah barat Timor Leste (Loromonu), sementara Ruak berasal dari Viqueque di wilayah timur (Lorosae). Tindakan Ruak dilakukan setelah sebulan sebe-lum-nya terjadi demonstrasi 150 tentara- dari Loromanu di depan Palacios das Cinzas alias Istana Debu, kantor Presi-den Gusmao. "Ada diskriminasi yang parah di tubuh militer," ujar pemimpin protes, Letnan Satu Gastao Salsinha, 32 tahun, kepada Tempo saat itu.

Selama ini penduduk Loromonu dianggap pro-Indonesia oleh penduduk Lo-rosae, yang menganggap diri mere-ka pro-kemerdekaan. Sebutan "Kaladi-" un-tuk penduduk Loromonu dan "Fi-raku" -untuk warga Lorosae berakar kuat. Secara demografis Kaladi merupa-kan mayoritas penduduk (55 persen) dan bermukim di sembilan distrik. Sedangkan Firaku bermukim di empat distrik, se-tara dengan kabupaten di Indonesia-, yakni Manatuto, Baucau, Viqueque, dan Lautem. Presiden Gusmao, yang merupakan tokoh Firaku, telah lama mengimbau agar masyarakat melupakan- stereotip itu. Alkatiri mengambil tindakan lebih konkret dengan mengganti nama resmi negara Timor Lorosae menjadi Timor Leste.

Tapi perubahan nama tidak menolong karena faktanya diskriminasi tak lalu raib. Alkatiri malah dituding "memeli-ha-ra" diskriminasi itu selain juga men-jadi- pemimpin yang tak merakyat. Ia memang terlalu lama meninggalkan Timor Leste, tanah kelahirannya. Sejak 1970, Alkatiri meninggalkan Dili untuk melanjutkan pendidikan menengah atas dan sarjananya di Angola dan Mozambik. Ia sempat singgah sebentar di Dili untuk membentuk Falintil, sayap militer Fretilin, sebelum terbang lagi ke Mozambik pada 4 Desember 1975-hanya empat hari sebelum tentara Indonesia masuk. Ia tinggal di sana sampai 1999. Kemampuan diplomasinya membuatnya ditunjuk sebagai anggota Reformasi Legislasi untuk Aturan Usaha Mozambik, selain menjadi konsultan hukum parlemen di sana. Sejak itu ia mendapat julukan "Pemimpin Klik Mozambik".

Hubungan Alkatiri juga tak manis de-ngan Gereja Katolik-kekuatan politik- lain di Timor Leste. Pada Februari 2005, Alkatiri membuat murka petinggi- Gereja- ketika menetapkan pelajaran- agama di sekolah bersifat opsional-, bukan- wajib. Nota pastoral Gereja yang dikeluarkan pada April 2005 menya-takan, "Kabinet- Alkatiri mengandung unsur Marxis yang membahayakan demo-krasi. Kebijakannya berdasarkan model Cina dan Dunia Ketiga yang terbelakang." Fak-ta- yang dijadikan alasan: pengiriman- sejumlah mahasiswa Timor Leste untuk- belajar- di Kuba. Problem itu selesai se-bulan kemudian, setelah Alka-tiri mengembalikan pelajaran agama ke dalam kurikulum reguler.

Di tengah semakin menguatnya tuntutan mundur dari massa dan ekonomi yang lumpuh, Mari Alkatiri menerima wartawan Tempo Jems de Fortuna dan Jose Sarito Amaral pada Ahad malam pekan lalu untuk sebuah wawancara pendek. Pertemuan berlangsung di Se-kretariat Partai Fretilin, Comoro, seusai- Alkatiri menghadiri rapat Komite Sentral Partai Fretilin yang membahas per-kembangan situasi di Dili. Wajah-nya terlihat lelah. Namun gaya orator-nya tetap mencuat, kadang dengan nada tinggi untuk menyatakan ketidaksetujuannya- atas sebuah pendapat. Wartawan Tempo- Akmal Nasery Basral melengkapi wa-wancara itu dengan sejumlah riset pustaka.

Menurut Anda, siapa yang bertanggung jawab atas kekerasan di Timor Leste beberapa pekan terakhir?

Bukan waktunya kita berbicara tentang siapa yang bertanggung jawab atas semua kekerasan yang terjadi di Dili. Saya pikir sekarang ada yang mulai takut. Dan (tak jelas) kapan kekerasan ini akan berakhir. Untuk itu sebaiknya kita berbicara tentang mekanime apa yang harus dipakai- untuk menghentikan kekerasan ini. Baru ke depan siapa pelaku dalam kekerasan ini akan (diusut) dan berhadapan langsung dengan pengadil-an. Bukan berha-dap-an dengan saya atau pemerintah. Saya seorang politisi. Pekerjaan saya adalah mencari solusi bagaimana menghentikan kekerasan.

Langkah apa yang akan diambil oleh pemerintah untuk menghentikan kekerasan?

Kita tahu bahwa pasukan internasional- telah tiba. Tetapi kita juga perlu tahu, pasukan asing itu datang bukan untuk- memusnahkan rakyat sipil di Timor Leste yang melakukan kekerasan. Polisi Spesial Portugal (GNR) yang telah tiba, serta tentara Australia dan Malaysia, juga akan menstabilkan situasi di dalam negeri Timor Leste.

(Perdana Menteri Australia John Ho-ward dalam berbagai kesempatan- -me-nun-jukkan ketidaksukaannya- pa-da- ke-dekatan Alkatiri dengan Por-tu-gal. -Adapun Alkatiri mengguna-kan- Portugal-, dan juga Cina, sebagai pengimbang untuk apa yang diyakininya- sebagai "tekanan imperialisme Australia-". Seba-gai ketua tim negosiasi Celah Timor, Alkatiri gusar dengan cara negosiasi Australia dalam memanfaatkan cadang-an minyak dan gas di Laut Timor).

Kelompok kontra-pemerintah menga-takan kekerasan tak akan berhenti jika Anda tidak mundur....

Saya sudah mendengar, ada sekelompok orang merasa punya kekuatan, tetapi saya tidak mau berkomentar. Sebagai perdana menteri, saya hanya akan membantu untuk memperbaiki dan menormalkan situasi.

Tapi Anda didemo dan dituntut mundur dari jabatan Anda?

Saya mau bertanya kepada Anda, be-rapa orang yang melakukan demonstra-si- menuntut saya turun. Sebenarnya pa-ra demontran itu sudah ditangkap polisi- karena tuduhan mereka tidak benar. Mereka menuntut apa yang tidak pantas dilontarkan. Tetapi, karena kami masih mempunyai toleransi, mereka masih tetap diperbolehkan (berkemah) di depan kantor pemerintah.

Anda tidak akan mundur meskipun korban berjatuhan?

Hati-hati berbicara! Saya akan mundur diri jika senjata sudah menyalak di 13 distrik dan situasi keamanan mencapai klimaks (Tiga belas distrik yang dimaksud Alkatiri adalah Lautem, Baucau, Viqueque, Manatuto [Lorosae] dan Dili, Aileu, Manufahi, Liquia, Ermera, Ainaro, Bobonaro, Cova-Lima, dan Oecussi-Ambeno [Loromonu]).

Tapi Mayor Alfredo Reinado menga-takan tidak akan melucuti senjata jika Anda belum mundur?

Kalau begitu, sebaiknya Mayor Alfre-do- tinggal dan membangun rumah saja di Maubise untuk tetap tinggal di sana dan jangan datang ke Dili. (Alfredo Rei-nado, mantan anggota polisi militer tentara nasional Timor Leste (FDTL) mengklaim memimpin 1.400 gerilya-wan- untuk melengserkan Alkatiri. Dalam wawan-caranya dengan Tempo ia menantang. Katanya, "Alkatiri sudah tahu bahwa pemerintah dalam kondisi- lumpuh. Jadi, dengan jiwa besar dia harus mundur, sehingga bangsa kami bisa berbenah diri. Saya tidak ada niat meram-pas kedudukannya. Tapi saya akan meminta- masyarakat agar menurun-kan dia dari kursi perdana menteri secara paksa. Lumpuhnya aktivitas pemerintah sekarang membuktikan tidak ada lagi yang patuh kepadanya").

Anda yakin pelaku kriminalitas akan teridentifikasi dan diseret ke pengadil-an?

Saya tidak mau mengomentari masa-lah- ini sebagai tindakan kriminal atau tidak. Mereka sendiri yang akan ber-hada-pan langsung dengan pengadilan, bu-kan pemerintah. Pengadilan dan kejak-saan agung yang akan melakukan investigasi.

Anda siap jika semakin banyak massa yang bergabung menuntut Anda turun dari kursi perdana menteri?

Dari dulu sampai sekarang banyak massa yang meminta saya turun, tetapi saya tidak kaget. Itu demokrasi, asalkan jangan ada kekerasan seperti sekarang.n

Mari bin Amude Alkatiri

Lahir: Dili, 26 November 1949

Pendidikan:Doktor hukum dari Universitas Eduardo Mondlane, Maputo, Mozambik.

Pekerjaan

  • Konsultan hukum di Maputo (1992-1998)
  • Konsultan hukum parlemen Mozambik untuk hukum publik internasional dan konstitusi (1995-1998)

Karier politik

  • Mendirikan kelompok klandestin Gerakan Pembebasan Timor Leste (1970)
  • Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Sosial Demokratik Timor (ASDT) pada 1974
  • Wakil Sekretaris Hubungan Internasional Fretilin (1974)
  • Menteri Negara Urusan Politik Timor Leste (1975)
  • Menteri Luar Negeri Timor Leste di Pengasingan (1975-1999)
  • Perdana Menteri Timor Leste (2002-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus