Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INSIDE MAN Sutradara: Spike Lee Skenario: Russel Gerwitz Pemain: Denzel Washington, Jodie Foster, Clive Owen, Christopher Plummer, Willem Dafoe Produksi: Universal Pictures
Spike Lee is back!
Para penonton fanatiknya yang sudah menyaksikan film Do the Right Thing, Mo Better Blues, Jungle Fever, Malcolm X mungkin dengan segera menyangka ini film be-rikut Lee yang meributkan soal -rasial-isme (lagi!). Ternyata, kali ini Lee ”terjun” ke tema mainstream alias pa-sar-. Ini sebuah film yang berkisah tentang beberapa jam ketegangan pe-ram-pokan sebuah bank. Tetapi Lee ada-lah Lee, seorang sutradara yang su-dah lama ”dijauhkan” oleh Hollywood, bukan karena tokoh-tokohnya meng-gunakan kata ”F” pada setiap kalimatnya, tetapi lantaran isu rasialis-me selalu disajikan dengan cara brutal yang membuat kaum konservatif merinding.
Film Inside Man membuat penonton- menahan napas bukan karena isu rasialisme, tetapi karena ketegangan thriller biasa. Dibuka dengan adegan Dalton Russel (Clive Owen) yang berbicara kepada penonton; memperke-nal-kan dirinya sebagai seorang pemim-pin- perampok bank bukan karena dia rakus, tapi karena ”saya bisa me-la-ku-kannya!”. Kalimat demi kalimat diucapkan dengan intonasi yang me-nekan dan jauh lebih mencekam dari-pada ancaman sebilah pisau di leher. Hanya dalam lima detik, kita menyimpulkan, orang seperti Russel akan mudah membunuh tanpa penyesalan.
Lee menjebak! Sepanjang film, di-mu-lai dari adegan perampokan—yang segera mengingatkan kita pada adegan Dog Day Afternoon—hingga perkenal-an kita pada tokoh-tokoh berikutnya, seperti detektif Keith Frazier (Denzel Washington) dan Madeline White (Jo-die Foster), perlahan menguak pada ke-sadaran: Russel seorang master dalam meng-gertak.
Lee menyiapkan beberapa lapis subplot. Pertama, perampokan yang se-ca-ra- perlahan membuka pertanyaan: kok- uang itu dicuekin? Apa, sih, yang di-rampok? Sebuah berkas di lemari be-si-? Apa, sih, isi lemari besi itu?
Pertanyaan demi pertanyaan itu te-rus- la-hir seiring kita mengikuti aksi de-tektif Fra-zier yang bergerak sebagai- seorang negosiator antara para pe-rampok yang menyandera puluhan na-sabah, dan men-coba menyelami isi ba-tok kepala Russel. ”Dia mengulur waktu...,” kata Frazier menganalisis, ”Pasti ada yang dikejar, bu-kan sekadar uang.” Frazier harus meng-hadapi po-lisi biasa yang sok tahu ma-cam Kapten John Darius (Willem Da-foe, yang agak tersia-sia dalam film ini karena tokoh-nya menjadi marginal-) dan te-kanan atasan serta wali kota yang tentu saja menuntut agar tak jatuh -kor-ban.
Lapisan lain yang menimbulkan daya kejut adalah: siasat Russel melepaskan diri dari bank itu tanpa ditang-kap. Dan dia selalu sesumbar: saya akan keluar dari bank ini melalui pintu depan! Bagaimana caranya dia keluar, itu bukan cuma soal teknis, tetapi soal kecerdikan menyusun siasat.
Ketegangan ala Lee—dengan editing- yang dahsyat—dibangun bukan ka-rena gaya perampokan sepanjang film (para penonton hampir selalu harus- menutup mata karena ngeri), tetapi juga gaya kilas balik antara adegan pe-rampokan dan penyanderaan dan adegan wawancara detektif Frazier dengan para nasabah dan ”nasabah” (yang tanda kutip ini hanya berlaku bagi mereka yang sudah menonton).
Lalu, lapisan ke-tiga: sia-pa gerang-an se-betul-nya to-koh Madeline White itu? Apa sebetulnya yang di-lakukan hingga de-ngan mudahnya dia bi-sa me-yakin-kan orang un-tuk me-la-kukan apa yang di-ingin-kannya? Di AS, orang se-per-ti Ma-deline White la-zim disebut power brooker-, mereka yang be-kerja me-lobi siapa saja un-tuk memenuhi tu-ju-an klien-nya. Di Indonesia, pro-fesi se-macam ini bia-sa-nya se-ring dirangkap-rang-kap dengan topeng wartawan atau po-litisi. Foster dipanggil oleh pe-mi-lik dan pendiri Manhattan Trust—bank yang dirampok—Arthur Case (Christ-o-pher Plummer). Dia adalah sosok yang mem-punyai kepentingan yang berbeda dari detektif Frazier: dia ingin menye-lamatkan satu berkas di da-lam bank-nya. Rahasia besar ini yang mem-per-lihatkan elemen rasialis-me ala Lee (mes-ki kali ini dia menyelip-kannya de-ngan cara yang lebih subtil).
Seluruh film adalah Denzel’s show. Denzel Washington memang muse—so-sok inspiratif—bagi Spike Lee, se-per-ti- halnya Robert de Niro bagi Martin Scor-sese (dan kini Leonardo di Caprio ba-gi Scorsese), atau Toshiro Mifune ke-pada Akira Kurosawa.
Hampir semua film Spike Lee meli-batkan Denzel Washington sebagai pe-meran utama. Jodie Foster tetap menya-jikan sinarnya sebagai seorang pe-r-empuan yang penuh pesona, mani-pu-latif, dan oportunistik.
Lee is back. Dan jarang-jarang bioskop Indonesia memutar film Spike Lee. Jadi: nikmatilah!!
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo