Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dua Jam yang Tegang

Film Spike Lee terbaru kali ini seru dan tegang. Masih menyentuh soal ras, meski hanya elemen kecil.

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INSIDE MAN Sutradara: Spike Lee Skenario: Russel Gerwitz Pemain: Denzel Washington, Jodie Foster, Clive Owen, Christopher Plummer, Willem Dafoe Produksi: Universal Pictures

Spike Lee is back!

Para penonton fanatiknya yang sudah menyaksikan film Do the Right Thing, Mo Better Blues, Jungle Fever, Malcolm X mungkin dengan segera menyangka ini film be-rikut Lee yang meributkan soal -rasial-isme (lagi!). Ternyata, kali ini Lee ”terjun” ke tema mainstream alias pa-sar-. Ini sebuah film yang berkisah tentang beberapa jam ketegangan pe-ram-pokan sebuah bank. Tetapi Lee ada-lah Lee, seorang sutradara yang su-dah lama ”dijauhkan” oleh Hollywood, bukan karena tokoh-tokohnya meng-gunakan kata ”F” pada setiap kalimatnya, tetapi lantaran isu rasialis-me selalu disajikan dengan cara brutal yang membuat kaum konservatif merinding.

Film Inside Man membuat penonton- menahan napas bukan karena isu rasialisme, tetapi karena ketegangan thriller biasa. Dibuka dengan adegan Dalton Russel (Clive Owen) yang berbicara kepada penonton; memperke-nal-kan dirinya sebagai seorang pemim-pin- perampok bank bukan karena dia rakus, tapi karena ”saya bisa me-la-ku-kannya!”. Kalimat demi kalimat diucapkan dengan intonasi yang me-nekan dan jauh lebih mencekam dari-pada ancaman sebilah pisau di leher. Hanya dalam lima detik, kita menyimpulkan, orang seperti Russel akan mudah membunuh tanpa penyesalan.

Lee menjebak! Sepanjang film, di-mu-lai dari adegan perampokan—yang segera mengingatkan kita pada adegan Dog Day Afternoon—hingga perkenal-an kita pada tokoh-tokoh berikutnya, seperti detektif Keith Frazier (Denzel Washington) dan Madeline White (Jo-die Foster), perlahan menguak pada ke-sadaran: Russel seorang master dalam meng-gertak.

Lee menyiapkan beberapa lapis subplot. Pertama, perampokan yang se-ca-ra- perlahan membuka pertanyaan: kok- uang itu dicuekin? Apa, sih, yang di-rampok? Sebuah berkas di lemari be-si-? Apa, sih, isi lemari besi itu?

Pertanyaan demi pertanyaan itu te-rus- la-hir seiring kita mengikuti aksi de-tektif Fra-zier yang bergerak sebagai- seorang negosiator antara para pe-rampok yang menyandera puluhan na-sabah, dan men-coba menyelami isi ba-tok kepala Russel. ”Dia mengulur waktu...,” kata Frazier menganalisis, ”Pasti ada yang dikejar, bu-kan sekadar uang.” Frazier harus meng-hadapi po-lisi biasa yang sok tahu ma-cam Kapten John Darius (Willem Da-foe, yang agak tersia-sia dalam film ini karena tokoh-nya menjadi marginal-) dan te-kanan atasan serta wali kota yang tentu saja menuntut agar tak jatuh -kor-ban.

Lapisan lain yang menimbulkan daya kejut adalah: siasat Russel melepaskan diri dari bank itu tanpa ditang-kap. Dan dia selalu sesumbar: saya akan keluar dari bank ini melalui pintu depan! Bagaimana caranya dia keluar, itu bukan cuma soal teknis, tetapi soal kecerdikan menyusun siasat.

Ketegangan ala Lee—dengan editing- yang dahsyat—dibangun bukan ka-rena gaya perampokan sepanjang film (para penonton hampir selalu harus- menutup mata karena ngeri), tetapi juga gaya kilas balik antara adegan pe-rampokan dan penyanderaan dan adegan wawancara detektif Frazier dengan para nasabah dan ”nasabah” (yang tanda kutip ini hanya berlaku bagi mereka yang sudah menonton).

Lalu, lapisan ke-tiga: sia-pa gerang-an se-betul-nya to-koh Madeline White itu? Apa sebetulnya yang di-lakukan hingga de-ngan mudahnya dia bi-sa me-yakin-kan orang un-tuk me-la-kukan apa yang di-ingin-kannya? Di AS, orang se-per-ti Ma-deline White la-zim disebut power brooker-, mereka yang be-kerja me-lobi siapa saja un-tuk memenuhi tu-ju-an klien-nya. Di Indonesia, pro-fesi se-macam ini bia-sa-nya se-ring dirangkap-rang-kap dengan topeng wartawan atau po-litisi. Foster dipanggil oleh pe-mi-lik dan pendiri Manhattan Trust—bank yang dirampok—Arthur Case (Christ-o-pher Plummer). Dia adalah sosok yang mem-punyai kepentingan yang berbeda dari detektif Frazier: dia ingin menye-lamatkan satu berkas di da-lam bank-nya. Rahasia besar ini yang mem-per-lihatkan elemen rasialis-me ala Lee (mes-ki kali ini dia menyelip-kannya de-ngan cara yang lebih subtil).

Seluruh film adalah Denzel’s show. Denzel Washington memang muse—so-sok inspiratif—bagi Spike Lee, se-per-ti- halnya Robert de Niro bagi Martin Scor-sese (dan kini Leonardo di Caprio ba-gi Scorsese), atau Toshiro Mifune ke-pada Akira Kurosawa.

Hampir semua film Spike Lee meli-batkan Denzel Washington sebagai pe-meran utama. Jodie Foster tetap menya-jikan sinarnya sebagai seorang pe-r-empuan yang penuh pesona, mani-pu-latif, dan oportunistik.

Lee is back. Dan jarang-jarang bioskop Indonesia memutar film Spike Lee. Jadi: nikmatilah!!

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus