Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mahal Tapi Membludak

Sekolah mahal tetap diburu orang tua murid. Tugas pemerintah menyediakan pendidikan bagi warga tak mampu.

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada tahun ajaran baru ini, Lukman Asidiqi tak bisa bergabung dengan kakaknya, Habibie Al Rasyid, melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Lazuardi Cinere, Depok. Ia terbentur syarat pene-rimaan siswa baru yang mesti berusia- minimal 6 tahun pada Oktober tahun lalu. Pada-hal, Juli mendatang, saat tahun ajaran baru dimulai, umur Lukman sudah 6,5 tahun. Usia yang memenuhi syarat masuk pendidikan dasar seperti yang ditetapkan pemerintah.

Syarat penerimaan siswa yang ketat merupakan kiat SD Lazuardi membatasi- jumlah pendaftar yang membludak. Asisten Direktur TK dan SD Lazuardi Cinere, Muhibba, mengatakan, untuk tingkat SD pihaknya hanya menawarkan tiga kelas dengan kapasitas 25–27 orang. Sekitar 70 persen dari jumlah itu sudah terisi dari lingkungan dalam Lazuardi sendiri, yaitu dari lulusan taman kanak-kanak. Praktis kursi yang -ditawarkan untuk pihak luar tinggal sisa-nya saja.

Orang tua Lukman, Subekti dan Lely Novianti, amat kecewa. Padahal, se-andai-nya Lukman diterima di SD Lazuardi, pa-sangan yang tinggal di Perumahan Depok Maharaja itu harus mengeluarkan- duit Rp 19 juta untuk uang pangkal dan iuran sekolah Rp 500 ribu per bulan. Jumlah yang jelas tak sedikit.

Dari satu kasus ini tampaklah bahwa meskipun mendapat banyak kritik-, se-kolah-sekolah swasta berbiaya mahal-—tidak semua sekolah swasta mahal—ba-kal hidup terus karena banyak peminatnya. Orang tua berlomba-lomba mendaftarkan anaknya, walaupun uang pangkal naik terus menurut deret ukur setiap tahun.

Sekolah swasta sebenarnya rekan se-iring pemerintah dalam menuntaskan wajib belajar sembilan tahun yang dica-nang-kan pada 1994. Pemerintah jelas tak mampu menangani 40 juta anak yang terkena wajib belajar ini. Hanya 11 juta anak yang bisa dibantu untuk mendapat pendidikan murah—sebagian gratis—lewat Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Bantuan senilai Rp 11,2 triliun ini dimulai pertengahan tahun lalu.

Pendidikan gratis yang diberikan pe-merintah ini ternyata tak selalu mena-rik minat. Orang tua Lukman sebetulnya bisa saja menyekolahkan anaknya di sekolah dasar negeri dekat rumahnya. Apalagi, mulai Juli mendatang, sekolah itu tak memungut iuran bulanan lantar-an- Pemerintah Kota Depok menerapkan kebijakan pendidikan dasar gratis. Nyata-nya, ia lebih suka mendaftarkan anaknya ke SD Al-Fauzin, Depok, tempat Lukman dulu mengecap pendidikan TK.

Uang muka di sekolah yang baru berusia dua tahun itu sekitar Rp 8 juta serta iuran Rp 380 ribu per bulan. Bagi Subekti, ongkos mahal tak jadi masalah. ”Asal mutu pendidikan terjaga,” ujarnya.

Alasan itu juga yang dikemukakan Emilia Nazir. Wanita separuh baya itu lebih suka menyekolahkan anaknya di High Scope, Cilandak, Jakarta Selatan. Di sana uang muka yang mesti dibayar Rp 40 juta untuk pendidikan setingkat SD dan Rp 70 juta untuk setingkat SMP. Belum termasuk iuran bulanan yang Rp 2,4–2,6 juta.

Ongkos sekolah sebesar itu, menurut- Emilia, terhitung murah jika dihitung- keuntungan yang didapat. Anak-anak-nya mendapat fasilitas pendidikan lengkap, dengan mutu dan kurikulum yang baik. Pungutan tambahan lain pun tak ada.

Tarif mahal itu, kata Antarina Amir, Direktur Pengelola High Scope, seban-ding dengan biaya operasional proses- pembelajaran yang ditawarkan. Di sana tersedia lengkap alat tulis, seragam-, rapor mingguan anak, baju seragam, makan siang, ruang belajar yang lengkap- dan nyaman plus AC dalam kelas kecil.

Murid sekolah mahal ini juga menik-mati hal-hal yang hanya jadi impian- anak-anak yang bersekolah di sekolah gratis. Ada piknik minimal satu atau dua kali setahun. Juga, metode pengajar-an dengan dua bahasa: Inggris dan In-donesia, pengajar asing untuk SMP, dan metode pengajaran yang menerap-kan aplikasi kehidupan sehari-hari, terutama- soal membangun karakter dan mengasah kemampuan pribadi anak.

Dengar juga pembelaan dari pengelola sekolah mahal lain. Menurut Rusmono, Ketua Badan Pengembangan Sekolah Labschool Rawamangun, pendidikan usia dini memang terbilang mahal karena harus membayar tenaga untuk membentuk mental mereka. Labschool sen-diri mematok uang pangkal Rp 8 juta dan iuran Rp 250 ribu sebulan.

Apa boleh buat, inilah kondisi yang ada di masyarakat. Ternyata, banyak orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya dengan biaya berjuta-juta. Meski sekolah-sekolah favorit umumnya menaikkan uang pangkal tiap tahun-, orang tua rela antre setengah tahun sebelum tahun ajaran dimulai.

Di Surabaya, SD Al-Azhar di kawasan Mulyosari, misalnya, sudah membuka- pendaftaran begitu tahun berganti. Pembukaan lebih awal ini untuk memberikan kesempatan para orang tua siswa menentukan pilihannya. Ini tak lepas dari ketatnya persaingan penerimaan siswa baru di sekolah lain.

Di Labschool Rawamangun, Jakarta Timur, pendaftaran sudah dimulai sejak Maret dan ditutup April. Mereka hanya menawarkan enam kelas paralel dengan 40 siswa per kelas untuk SMP dan SMA. Ada pula satu kelas akselerasi yang bisa ditempuh dalam dua tahun.

Untuk penyeimbang, sekolah yang -ber-ada dalam yayasan Universitas Ne-geri Jakarta ini memberikan jatah kursi- 20 persen untuk siswa yang berasal dari kalangan bawah. ”Di sini juga ada anak-anak penjaga keamanan, guru dan dosen,” ujar Rusmono.

Dengan uang berlimpah, sekolah-se-kolah mahal ini mampu berpromosi de-ngan cara jorjoran. Beberapa sekolah bahkan siap menerima orang tua calon siswa yang datang untuk mendapatkan informasi dengan presentasi komplet, yang mereka sebut open house. High Scope malah sudah membuka pendaftaran siswa baru untuk publik lewat iklan yang ditayangkan di berbagai media sejak awal tahun.

Mereka juga menggelar ”class room ob-ser-vation”. Di situ anak-anak diberi ke-sempatan ikut belajar selama mereka su-ka. Baru kemudian mereka diberi kesem-patan memutuskan bergabung atau tidak.

Peminat acara itu berlimpah. Baru saja open house itu digelar, semua bangku sudah terisi. Banyak siswa yang terpaksa masuk daftar tunggu. Tak jarang-, demi meyakinkan pihak sekolah, ada orang tua yang melakukan ”inden”. Mereka menitipkan uang muka agar sang anak bisa masuk begitu ada siswa yang membatalkan pendaftaran.

Dirjen Pendidikan dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Su-yanto menilai wajar tingginya peminat sekolah swasta berongkos mahal. Setiap orang tua selalu menginginkan kualitas pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Jika kemampuan finansial mencukupi, berapa pun biayanya tak akan menjadi halangan.

Pendidikan yang ditawarkan sekolahsekolah swasta, menurut dia, ibarat -barang di toko. Bisa dipilih sesuai de-ngan kebutuhan pembangunan -karakter anak mereka. ”Mereka (pihak se-kolah) menjual, dan para orang tua itu mem-beli,” kata Suyanto.

Jelas tak semua orang tua mampu membeli pendidikan semahal itu. Bagi warga yang tak mampu, tugas pemerintahlah untuk menyediakan pendidikan murah. Bila perlu diberikan gratis bagi anak-anak usia wajib belajar (lihat Ramai-ramai Sekolah Gratis). Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudho-yono sendiri sudah menekankan hal itu. ”Kalau bisa, diusahakan gratis, tak membayar,” katanya pada Juli 2005.

Kelompok inilah yang belum bisa ditangani pemerintah. Dalam catatan Departemen Pendidikan Nasional, saat ini masih ada 29 juta anak yang tidak/putus sekolah. Anak-anak usia sekolah yang belum mengikuti program wajib belajar sembilan tahun ini kebanyakan berada di daerah terpencil. Kondisi ekonomi keluarga minus dan tak memiliki kesa-daran menyekolahkan anak-anaknya hingga SMP. ”Bahkan ada yang menjadi-kan anak-anak mereka sebagai tumpu-an ekonomi keluarga,” kata Suyanto.

Pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun yang rendah terutama- terjadi di kawasan timur Indonesia seper-ti NTT, NTB, dan Maluku. Suyanto menunjuk kondisi ekonomi dan kultural masyarakat setempat sebagai penyebab-nya. Bahkan di Jawa Barat, tingkat partisipasi wajib belajar pun masih rendah, baru sekitar 70 persen, seperti di Sumedang, Cianjur, dan Ciamis.

Tak mengherankan, bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed -Joesoef menganggap penerapan -wajib belajar sembilan tahun masih jauh panggang dari api. Kesadaran masya-rakat -kelas menengah menyekolahkan- anaknya memang meningkat. Tapi hal itu justru sering dieksploitasi pihak sekolah dengan memungut biaya pendidikan setinggi langit. Akibatnya, hanya- anak-anak keluarga mampu yang bisa bersekolah. Yang miskin hanya bisa -gigit jari.

Widiarsi Agustina, Suseno, Sunudyantoro, Angelus Tito, Evy Flamboyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus