Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Mengapa Komisi Yudisial Tak Bisa Mengawasi Hakim Konstitusi

Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai menjelaskan batas kewenangannya dalam menangani hakim dan Rancangan Undang-Undang KY.

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJELIS Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menilai Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman melanggar etik dalam menyidangkan gugatan atas Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum pada 16 Oktober lalu. Tak hanya mengabulkan gugatan, adik ipar Presiden Joko Widodo itu juga menambahkan frasa “pernah terpilih dalam pemilihan kepala daerah” dalam aturan tentang syarat menjadi wakil presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan tambahan frasa itu, Gibran Rakabuming Raka, keponakannya, melenggang menjadi pendamping Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024. Karena hubungan kekeluargaan itu melanggar prinsip konflik kepentingan, MKMK memecat Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan dia tak boleh ikut bersidang jika kelak ada sengketa hasil pemilihan presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal 17 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jelas mengatur persoalan benturan kepentingan bagi hakim yang memiliki saudara atau keluarga yang berurusan dengan hukum. Masalahnya, ada yang menafsirkan pasal ini hanya berlaku bagi hakim yang menangani peradilan umum, bukan konstitusi. Lalu siapa yang mengawasi hakim konstitusi?

Indonesia memiliki Komisi Yudisial yang bertugas mengawasi para hakim. Kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim konstitusi hilang ketika ada yang menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi pada 2006, disusul pada 2022. “Peran Komisi Yudisial mengawasi hakim konstitusi hilang sama sekali,” kata Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai kepada Abdul Manan dari Tempo pada Kamis, 23 November lalu.

Dalam wawancara selama hampir satu jam, guru besar ilmu hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, itu mengurai batas-batas kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim, hakim yang terlibat korupsi, dan pola rekrutmen hakim. Wawancara ini disunting oleh Iwan Kurniawan untuk penyesuaian alur dan konteks.

Jadi Komisi Yudisial benar-benar tidak bisa mengawasi hakim konstitusi?

Kita bicara aturan. Jangan juga satu lembaga negara, karena geregetan melihat lembaga lain, lalu cawe-cawe, ikut-ikutan. Enggak boleh begitu. Kami terbatas kewenangannya. Memang pada awalnya kami punya kewenangan mengawasi semua hakim, termasuk hakim konstitusi. Tapi kemudian ada putusan tentang judicial review Undang-Undang Komisi Yudisial pada 2006. Hakim agung tetap diawasi, hakim konstitusi justru enggak boleh diawasi. Kemudian pada 2022, terjadi lagi judicial review. Kalau pada 2006, Komisi Yudisial masih menjadi bagian dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Setelah judicial review ini, enggak ada lagi KY di dalamnya.

Peran KY hilang sama sekali?

Sama sekali. Di berbagai kesempatan, kami berbicara supaya bisa juga mengawasi hakim konstitusi. Tapi kembali lagi bahwa kami harus patuh pada aturan.

Jimly Asshiddiqie, Ketua MKMK dan mantan Ketua MK, dulu mengeluarkan KY dari MKMK karena di luar negeri tidak ada hakim konstitusi yang diawasi pihak luar. Apa benar?

Enggak bisa juga apa yang ada di luar negeri itu kita terapkan di Indonesia. Kalau di sana mungkin pengawasan, hukum, sudah menjadi kultur, bukan hanya aparat negara, tapi juga masyarakat. Di kita tentu beda. Wong di kita ada pengawasan ketat saja masih terjadi hal yang tidak diinginkan.

Apa bedanya pengawasan hakim konstitusi oleh MKMK dan KY?

MKMK itu tidak tetap. Karena bersifat ad hoc, mereka bekerja kalau ada masalah. Pemadam kebakaran.

Semestinya pengawasan MKMK permanen?

Setahu saya, memang harus permanen. Ide awalnya begitu. Tentu yang membedakan adalah kami tidak bersifat ad hoc. Komisi Yudisial adalah lembaga permanen yang sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi negara lain.

Kini muncul pemikiran supaya KY mendapat kewenangan mengawasi hakim konstitusi lagi. Anda setuju?

Boleh saja sebagai bahan kajian. Walaupun, kalau kita bicara profesi hakim, semestinya dimulai dengan hakimnya sendiri. Soal integritas. Karena itu, bagi saya, lebih pada bagaimana mereka yang jadi hakim itu, termasuk hakim konstitusi, adalah—dulu Pak Jimly sendiri menyebutnya—orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Saya pikir hal tersebut berlaku untuk posisi-posisi seperti itu, bukan hanya hakim konstitusi, termasuk hakim agung. Jadi kita tidak akan ribut soal kuat atau enggaknya pengawasan.

Dalam dua tahun terakhir, banyak hakim yang terjerat kasus korupsi. Mengapa?

Ada dua sisi. Pertama, ini konsekuensi kebebasan berpendapat, kebebasan pers, keterbukaan. Kalau enggak terbuka, kita enggak mengira kasus-kasus itu terungkap. Kini publik bisa tahu kelakuan aparatur negara, siapa pun dia, termasuk hakim. Kedua, profesi apa pun, termasuk hakim, belum menjalankan tugas yang seharusnya merujuk pada kode etik dan pedoman perilaku. Mereka belum menghayatinya, belum mengamalkannya, belum mengimplementasikannya.

Apakah ini indikasi kemerosotan kualitas hakim?

Susah juga kalau kita bilang kemerosotan karena mesti ada tolok ukur. Misalnya, dulu skalanya 6, lalu jadi 3. Siapa tahu selama ini enggak ketahuan saja. Ini konsekuensi dari keterbukaan. Artinya, selama ini, “mungkin tidak begitu terbuka”. Tapi, bahwa kemudian makin banyak kasus, ini memprihatinkan. Lebih bagus kita mengatakan hal-hal yang tidak sepantasnya terjadi pada hakim memang makin terbuka, yang katanya wakil Tuhan, yang mulia. Bahkan itu terjadi pada hakim yang tertinggi. Kalau mereka berpegang pada kode etik, itu tidak terjadi.

Masalah ada di seleksi hakim?

Seleksi jabatan-jabatan publik itu harus benar, baik penyeleksinya maupun orang yang masuk untuk posisi itu. Jangan pula jobseeker. Itu yang kami coba lakukan dalam menyeleksi hakim agung. Kalau dia nanti ditanya kenapa mau jadi hakim agung, “Iseng-iseng saja daripada enggak ada kerjaan.” Lha, repot kita. Atau misalnya yang dari non-hakim karier. Ada orang yang mendaftar jadi hakim juga mendaftar di lembaga-lembaga negara lain. Ini menunjukkan dia sedang mencari pekerjaan. Artinya, kembali lagi pada manusianya, penyeleksinya juga. Kalau mau lembaga kita bagus, jangan cawe-cawe atas dasar kepentingan.

Bagaimana kecenderungan aduan ke KY sekarang?

Meningkat. Per tahun bisa di atas 2.000 laporan. Pengalaman kami, makin terbuka sistem, makin banyak laporan. Nah, enggak bisa juga ini jadi patokan untuk merefleksikan. Misalnya kalau 2.000 itu buruk sekali. Itu laporan masyarakat. Enggak semuanya bisa ditindaklanjuti. Ada kategori yang memang bisa kami tindak lanjuti, banyak juga yang tidak bisa. Itu juga karena berbagai sebab. Ada yang kasatmata enggak bisa kami tindak lanjuti. Ada yang memang membutuhkan waktu untuk pembuktian. Kami melibatkan ahli, melibatkan berbagai saksi, untuk bisa menindaklanjuti suatu laporan.

Kasus apa yang banyak diadukan?

Soal hakim. Mereka enggak paham bahwa Komisi Yudisial menangani lebih banyak soal etika. Banyak yang melapor meminta keadilan atas putusan hakim. Ada juga yang kabur antara substansi putusan—yang terkait dengan teknis yudisial—dan yang bersifat etika. Ada juga yang sifatnya tuduhan-tuduhan menerima uang dan seterusnya. Tapi umumnya juga memang sulit dibuktikan. Tapi, kalau mereka dapat membuktikan—ada juga yang sampai mengirim foto-foto pertemuan dan seterusnya, kami dalami betul. Ada juga yang memang langsung menyangkut moral. Misalnya kelakuan hakim, seperti berselingkuh, menikah lagi tanpa izin istrinya, atau menelantarkan istrinya, anaknya. Ada juga selingkuhannya melapor karena ditelantarkan. Itu yang langsung bersentuhan dengan masalah-masalah etika dan ada yang kami pecat. Kami bawa ke Mahkamah Agung.

Dalam kasus korupsi, apa penyebab utama hakim terlibat?

Macam-macam. Nomor satu tentu integritas. Kalau punya integritas, hakim enggak mungkin tergoyahkan oleh urusan apa pun.

Bukan kesejahteraan?

Sekarang kesejahteraan hakim sudah lumayan. Apalagi bicara hakim agung. Kurang apa? Fasilitas, kendaraan, protokolernya. Kemudian ada lagi uang tambahan untuk penanganan perkara. Sudah besar sekali. Hakim-hakim di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, juga sudah lumayan dibanding profesi lain.

Artinya, seharusnya mereka tidak melakukan korupsi?

Semestinya begitu. Tapi lingkungan juga berpengaruh. Misalnya lingkungan pergaulan. Memang kami tidak menyatakan, misalnya, main golf dilarang. Tapi memang ada orang main golf seumur-umur sendirian? Emang ada main golf gratis? Pasti ada uang iurannya, kan? Apalagi sekarang ada juga main golf sekalian iseng-iseng bermain taruhan. Artinya, bukan golf itu, enggak boleh. Tapi di dalam kode etik seorang hakim tidak boleh bergaul terlalu dekat dengan profesi tertentu. Tapi siapa yang bisa membatasi main golf hanya dengan orang-orang tertentu? Susah, karena pihak lain yang mau melobi juga berusaha supaya bisa ikut main golf. Golfnya enggak jadi masalah, lobinya itu yang jadi masalah.

Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai saat penandatanganan nota kesepahaman antara KY dan KPK dalam memperkuat pengawasan perilaku terhadap hakim sebagai penegak hukum sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia di gedung Komisi Yudisial, Jakarta, 24 Agustus 2023./Tempo/Imam Sukamto

Lapangan golf acap menjadi tempat melobi hakim?

Kami menemukan bukti-bukti itu. Saya kasih tahu aja, ada juga yang enggak lulus jadi hakim agung karena kami dapatkan bukti-bukti itu. Wong sampai kuitansi kegiatannya kami dapat.

Bagaimana KY menilai integritas calon hakim?

Dalam seleksi, kami melibatkan pihak ketiga untuk mengetahui juga aspek psikologisnya. Lembaga Psikologi Terapan, misalnya. Untuk urusan manusia ini, punya integritas atau enggak, mereka punya ahlinya.


Amzulian Rifai

Tempat dan tanggal lahir:

  • Muara Kati, Musi Rawas, Sumatera Selatan, 2 Desember 1964

Pendidikan:

  • S-1 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 1988
  • The Master of Laws (LLM) di Melbourne University, Law School, Australia, 1995
  • PhD bidang hukum dari Monash University, Australia, 2002

Pekerjaan:

  • Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang, 2008-2011
  • Guru besar ilmu hukum Universitas Sriwijaya, 2005-sekarang
  • Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2009-2016
  • Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan, 2013-2017
  • Komisaris independen PT Pupuk Sriwijaya, 2011-2016
  • Ketua Ombudsman Republik Indonesia, 2016-2021
  • Anggota Komisi Yudisial, 2020-2025
  • Ketua Komisi Yudisial, Juni 2023-Desember 2025

Penghargaan:

  • Bintang Jasa Utama RI, 2020

Masa lalunya juga diperiksa?

Tentu. Namanya integritas. Integritas enggak mungkin diteliti dalam enam bulan terakhir. Bagaimana dia pertama waktu jadi calon hakim, bagaimana dia bertugas. Untuk bisa jadi hakim agung, mungkin dia sudah belasan kali pindah. Kami cek.

Bagaimana mengeceknya?

Tim kami turun. Ada tim investigasi dan tim klarifikasi. Ada tim investigasi yang memang jago di bidang itu, memang investigator. Nanti mereka buat laporan. Nah, dari sana ada tim klarifikasi yang diisi para komisioner. Kami klarifikasi, benar atau enggak temuan ini? Tentu klarifikasi bukan hanya kepada yang bersangkutan. Juga teman kerjanya, tetangganya, mantan atasannya. Walaupun tidak juga menelan mentah-mentah laporan tentang seorang calon hakim. Karena itu, anggota Komisi Yudisial harus arif dan bijaksana. Masak, dia sudah lolos ujian, sekarang dia menyeleksi hakim agung tapi tidak bersifat agung juga.

Dengan mekanisme yang ketat, seharusnya integritas hakim sudah teruji, dong?

Seharusnya. Ya, minimal dari modal yang ada. Dari kandidat yang ada itu, lah. Kalau skalanya misalnya maksimal 6, ya maksimal 6 itu yang kami punya. Enggak mungkin kami menaikkan nilai integritas dia menjadi 9.

Mengapa KY mengusulkan ada pengawasan terhadap panitera pengganti?

Itu maksudnya untuk mengawasi panitera yang menangani perkara, bukan panitera keseluruhan. Dalam suatu perkara, misalnya, ada laporan masyarakat terkait dengan majelis hakim tertentu. Ya, enggak bisa kami hanya melihat majelisnya. Pasti melibatkan unsur-unsur lain. Salah satunya panitera. Maka kami ingin ada kewenangan untuk memanggilnya, meminta penjelasan.

KY juga ingin punya kewenangan memberi sanksi kepada hakim?

Supaya lebih bergigi, lebih berwibawa. Jangan hanya bentuk rekomendasi-rekomendasi yang kemudian belum tentu dilaksanakan, misalnya.

Anda juga meminta imunitas bagi anggota KY. Apa pentingnya?

Sangat penting. Dulu seorang komisioner Komisi Yudisial menjadi tersangka karena berkomentar tentang hakim yang menjadi tersangka. Jangan pula disalahartikan imunitas itu kebal hukum. Kalau saya maling, ya tetap harus dihukum.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hakim Itu Orang yang Sudah Selesai dengan Dirinya Sendiri"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus