Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Siapa Pius Lustrilanang, Anggota BPK yang Disebut dalam Kasus Gratifikasi

Pius Lustrilanang menjadi anggota BPK setelah tak terpilih lagi sebagai anggota DPR. Disebut mengidap Stockholm syndrome.

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anggota BPK Pius Lustrilanang/Antara/Puspa Perwitasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPAYA Pius Lustrilanang kembali menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat kandas dalam Pemilihan Umum 2019. Ia tak cukup mendapatkan suara untuk kembali ke Senayan ketiga kalinya. Kader Partai Gerindra itu lalu melamar menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pemungutan suara di Komisi Keuangan DPR pada September 2019, Pius terpilih. Meski tak punya latar belakang sebagai akuntan, “Dia meraup suara mayoritas,” ujar anggota Komisi Keuangan DPR, Fauzi Amro, pada Sabtu, 2 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pius mendapat 43 suara anggota Komisi Keuangan. Ia dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung pada 17 Oktober 2019 bersama empat pemimpin terpilih lain, yaitu Daniel Lumban Tobing, Hendra Susanto, Achsanul Qosasi, dan Harry Azhar Azis. Dari kelima anggota baru itu, hanya Hendra Susanto yang merintis kariernya sebagai auditor di BPK.

Pius nyaris tak memiliki pengalaman cukup di bidang keuangan. Pria yang lahir di Palembang, 10 November 1968, itu adalah sarjana Jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Bandung. Ia meraih gelar master di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, dalam ilmu kepolisian. Ia juga lulus ujian doktoral Jurusan Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

Nama Pius dikenal sebagai aktivis pergerakan 1998. Ia pernah menjadi korban penculikan Tim Mawar. Bersama aktivis lain, Pius menentang rezim Orde Baru dan kepemimpinan Presiden Soeharto. Diculik selama dua bulan pada Februari 1998, ia mengaku disiksa.

Mantan Ketua Persatuan Bantuan Hukum Indonesia, Hendardi, mengklaim ikut membujuk Pius dan sejumlah korban lain untuk mengungkap penculikan tersebut ke publik. Mereka lalu menemui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pusat Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. “Dia kami minta mengungkap aksi kekerasan militer,” kata Hendardi.

Penculikan Pius dan korban lain mendorong sejumlah aktivis mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras. Investigasi mereka mengungkap ada sedikitnya 23 aktivis prodemokrasi yang menjadi korban penculikan Tim Mawar sepanjang 1997-1998. Sebagian di antara mereka belum diketahui keberadaannya hingga kini. “Pelakunya militer,” tutur Ketua Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia Mugianto.

Mugianto salah satu korban penculikan bersama sejumlah aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi. Saat penculikan itu, Tim Mawar di bawah kendali Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Seusai skandal penculikan terkuak, Dewan Kehormatan Perwira bentukan Panglima ABRI memecat Prabowo.

Arah politik Pius berubah menjelang Pemilu 2009. Kala itu, Mugianto menerangkan, Pius menyarankan korban penculikan tak lagi menuntut militer. “Dia menganggapnya sebagai konsekuensi perjuangan,” ucap Mugianto.

Belakangan, terungkap Pius bergabung dengan Partai Gerindra yang dibentuk Prabowo, pemimpin tim tentara yang menculiknya. “Banyak teman menganggap langkah Pius sebagai Stockholm syndrome,” ujar Mugianto. Stockholm syndrome adalah sikap korban yang menyanjung dan menjalin hubungan dengan penculiknya.

Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara ke rumah Pius di Bogor, Jawa Barat, dan ke BPK. Namun hingga Sabtu, 2 Desember lalu, ia tak merespons surat tersebut. Nomor telepon selulernya juga tak aktif. Pada Juli lalu, Pius mengatakan Prabowo hanya prajurit yang menjalankan tugas negara. “Di politik tak ada musuh abadi,” tuturnya. 

Pius terpilih menjadi anggota DPR pada Pemilu 2009 dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur I. Ia kembali terpilih pada Pemilu 2014. Selama menjadi anggota DPR, Pius tak terlalu menonjol di media massa. Namanya jarang dikutip jurnalis.

Seorang mantan petinggi di BPK mengatakan kinerja Pius juga tak menonjol di lembaga audit negara itu. Saat awal terpilih, Pius bahkan tak menguasai ilmu akuntansi sebagai dasar untuk mengaudit anggaran negara. Pada September lalu, ia menerima gelar profesor kehormatan dari Universitas Jenderal Soedirman, Banyumas, Jawa Tengah, dalam bidang ilmu manajemen pemerintahan.

Kini Pius tengah menjadi sorotan karena terseret dalam operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Penyidik KPK sudah menggeledah ruangan kerjanya di lantai 15 gedung BPK di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Ia juga sudah diperiksa pada Jumat, 1 Desember lalu. “Tanya sama penyidik,” ucapnya saat menjawab pertanyaan wartawan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Banting Setir Korban Penculikan"

Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus