Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRISIS iklim menciptakan ketimpangan. Negara-negara industri memproduksi emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global sejak 1800-an. Dampaknya kini dirasakan siapa saja dan di mana saja dalam bentuk bencana iklim. Negara miskin dan berkembang paling merana karena tak cukup punya sumber daya untuk bertahan dari cuaca ekstrem atau serangan hama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, setelah suhu bumi naik 1,2 derajat Celsius dibanding masa praindustri, negara-negara maju meminta semua negara menurunkan produksi emisi untuk mencegah krisis iklim kian parah. Permintaan itu kembali bergema dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Conference of the Parties (COP28) yang tahun ini berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab.
Menurut para ahli PBB, bumi akan mengalami kiamat kecil jika kenaikan suhu melewati 1,5°C. Maka menurunkan emisi gas rumah kaca adalah satu-satunya cara mencegah kehancuran itu. Untuk menahan laju kenaikan suhu bumi, jumlah emisi harus dipangkas setidaknya separuh dari emisi global tahunan sebanyak 53 miliar ton setara CO2.
Negara maju enteng saja meminta negara lain mengerem kegiatan industrinya demi menurunkan emisi. Toh, mereka sudah jauh di depan dalam karavan pembangunan. Tapi, bagi negara miskin, permintaan itu sama artinya dengan tak boleh menjadi kaya atau naik kelas menjadi negara maju. Negara miskin dan berkembang pasti kesulitan membangun perekonomian tanpa mengeruk sumber daya alam. Sementara itu, eksploitasi sumber daya alam akan melepas emisi gas rumah kaca.
Untuk memutus siklus itu, para ahli menawarkan jalan baru menumbuhkan ekonomi, yakni pembangunan berkelanjutan: memacu ekonomi seraya menekan produksi emisi. Untuk itu, alat transportasi dan listrik harus memakai bahan bakar dari energi terbarukan. Hutan tak boleh lagi dibabat. Mereka yang memelihara hutan mendapat insentif lewat perdagangan karbon.
Masalahnya, jalan baru pembangunan itu pun memerlukan biaya besar. Untuk mematikan satu pembangkit batu bara dan menggantinya dengan energi bersih, misalnya, pemerintah Indonesia harus menyediakan dana Rp 18 triliun. Untuk mengganti semua pembangkit batu bara, Indonesia perlu biaya Rp 1.500 triliun.
Maka, dalam Konferensi Iklim COP28 Dubai, ada dua agenda yang harus dibahas delegasi 197 negara dan pemimpin industri. Pertama, melihat kembali kemajuan penurunan emisi tiap negara. Kedua, menyepakati dana kerugian dan kerusakan (loss and damage fund) US$ 100 miliar per tahun.
Dana patungan industri dan negara maju itu diperlukan untuk membantu negara miskin dan berkembang melakukan mitigasi krisis iklim seperti transisi energi. Meski jumlahnya tak seberapa, dana itu menjadi jalan tengah mencegah ketimpangan dalam kolaborasi menurunkan emisi gas rumah kaca.
Persoalannya, negara-negara maju dan industri selalu ingkar memenuhi kesepakatan. Digagas lima tahun lalu, dana kerusakan dan kerugian selalu dibahas dalam forum COP tahunan. Namun delegasi negara maju tak pernah menyepakati mekanisme pengumpulan dan penyalurannya. Padahal, makin lama dana itu tak disalurkan, biaya untuk menangani dampak bencana iklim makin besar.
Walhasil, konferensi iklim pun jatuh pada lingkaran setan: negara maju dan industri terus membahas ketimpangan krisis iklim seraya membiarkan ketidakadilan terus berjalan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ketidakadilan Mitigasi Krisis Iklim"