Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA pekan kedua Desember lalu, kita dikejutkan oleh kabar teroris bakal meledakkan bom bunuh diri di depan Istana Negara, Jakarta, tepat ketika orang ramai menonton atraksi pergantian jaga Pasukan Pengamanan Presiden. Beruntung, polisi berhasil menangkap sel-sel teroris yang terlibat sehari sebelum aksi maut itu direncanakan. Penangkapan itu disusul dengan serangkaian penggerebekan di beberapa tempat di Pulau Jawa, dari Purworejo sampai Tangerang Selatan.
Penyidikan polisi sejauh ini mengungkap para tersangka teroris itu berkomunikasi langsung dengan Bahrun Naim, pemuda 32 tahun asal Solo, yang sekarang diyakini berada di Suriah. Bahrun kini jadi target utama Detasemen Khusus 88 Antiteror. "Tak ada orang seaktif Bahrun Naim dalam mengajak berjihad," kata Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones.
Perempuan 64 tahun ini yakin Bahrun bukan satu-satunya orang yang perlu diwaspadai. Dia menyebut nama Bahrumsyah, yang juga jadi otak pelbagai aksi teror setahun terakhir di Indonesia. Selain itu, ada nama Abu Walid, pria asal Solo, yang profilnya jarang muncul ke publik. Jones menyebut dia sebagai salah seorang teroris paling berbahaya bagi Indonesia.
Bersama Bahrun dan Bahrumsyah, Abu Walid kini bergabung dengan kelompok teroris di Suriah. "Dia ahli bahasa Arab, Indonesia, dan Mindanao, sehingga bisa menjadi penghubung antara sel-sel yang pro-ISIS di Mindanao (Filipina) dan Indonesia," ujar perempuan kelahiran New York, Amerika Serikat, ini.
Jones menegaskan, saat ini ada perubahan pola terorisme global, termasuk di Indonesia. Kelompok-kelompok teror kini melibatkan perempuan dan remaja dalam aksinya. Targetnya pun beralih dari warga negara asing ke polisi. "Sejak pembubaran kamp pelatihan di Aceh pada 2010, ada 100 teroris tewas di tangan polisi. Itulah alasan teroris menjadikan polisi sebagai musuh nomor satu," tuturnya.
Rabu pekan lalu, Sidney Jones menerima wartawan Tempo Sapto Yunus, Sunudyantoro, Raymundus Rikang, dan fotografer Dhemas Reviyanto di kantornya di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Dalam perbincangan selama lebih dari satu jam, Jones menjelaskan banyak hal, dari peta jaringan teroris di Indonesia hingga peran organisasi massa radikal seperti Front Pembela Islam (FPI).
Bagaimana peta jaringan teroris di Indonesia setelah terungkapnya rencana bom panci di Bekasi?
Sel-sel pro-ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) kini tumbuh sangat subur. Memang tak ada lagi tokoh sentral di Indonesia, tak seperti dulu yang ada sosok tunggal Abu Bakar Ba’asyir. Justru kini mujahid asal Indonesia di Suriah yang berbaiat ke ISIS lebih penting perannya ketimbang yang ada di sini, di antaranya Bahrumsyah, Bahrun Naim, dan Abu Walid.
Profil Bahrumsyah dan Bahrun Naim sudah banyak diungkap. Bagaimana dengan Abu Walid?
Nama asli Abu Walid alias Faiz adalah Mohammad Syaifuddin. Usianya sekitar 34 tahun. Saudara kembarnya tewas di Ambon pada 2000 dan kakaknya adalah ulama terkenal di Solo. Dia mantan anggota Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) di Ambon. Pernah belajar di Arab Saudi selama dua tahun dan pernah dipenjara di Mindanao selama sembilan tahun atas tuduhan membawa bahan peledak. Abu Walid dideportasi ke Indonesia pada Maret 2014 dan langsung mengawini janda Urwah, teroris yang tewas bersama Noordin M. Top. Mereka sudah hijrah ke Suriah.
Mengapa Abu Walid menjadi salah satu tokoh krusial dalam peta teroris di Indonesia?
Dia ahli bahasa Arab, bahasa Indonesia, dan bahasa Mindanao, sehingga bisa menjadi penghubung antara sel-sel yang pro-ISIS di Mindanao dan Indonesia. Dia hebat sebagai ulama, pejuang, dan ahli bahasa. Dia adalah satu-satunya orang Indonesia yang memenggal kepala tawanan ISIS dalam video yang beredar pada 21 Juni 2016.
Apa peran terbaru Bahrumsyah dan Bahrun Naim?
Sudah lama tak ada berita spesifik tentang Bahrumsyah, tapi juga tak ada kabar mengenai kematiannya. Saya yakin dia masih hidup. Adapun Bahrun Naim-sosok terpenting jaringan teroris di Indonesia saat ini-masih berkontak dengan sel teroris yang ada di Indonesia hampir setiap hari. Dia mengirimkan pesan-pesannya lewat aplikasi Telegram, kadang-kadang mengunggah tulisannya melalui blog.
Salah seorang yang berkontak langsung dengan Bahrun Naim adalah Dian Yulia Novi, calon "pengantin" bom panci di Bekasi. Bagaimana mereka berkomunikasi?
Tak ada orang seaktif Bahrun Naim yang terus-menerus mengirim imbauan lewat Telegram dan blog untuk berjihad, kalau tak sanggup hijrah ke Suriah. Peristiwa Bahrun Naim berkomunikasi dengan Dian itu sangat menarik. Sebab, itu peristiwa kedua ketika orang ISIS di Suriah mengontrol langsung aksi perempuan di luar negeri. Kasus pertama terjadi di Prancis.
Tertangkapnya Dian mengungkap fakta ada pergeseran pola terorisme yang melibatkan perempuan. Mengapa perubahan itu terjadi?
Perempuan Indonesia dan negara tetangga ingin berperan lebih besar dalam jihad di Suriah sejak dua tahun lalu. Mereka melihat diri bukan lagi sekadar istri, ibu, dan ustazah, tapi juga sebagai mujahidah. Mereka terpengaruh aksi perempuan Palestina, Irak, dan Chechnya. Faktor lain ialah perubahan dalam ISIS, yang pernah melarang perempuan ikut dalam perang, tapi atas nama keadaan darurat bisa ikut berperang, asalkan ada izin dari amir.
Bagaimana perempuan Indonesia terlibat dalam terorisme?
Ada penganut paham radikal yang sengaja pergi ke daerah yang menjadi kantong TKI/TKW. Mereka mendoktrin sekaligus berharap tenaga kerja itu menjadi sumber duit. TKI di Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan Qatar bisa bergabung dengan aplikasi Telegram. Lalu perlahan mereka berhubungan dengan sel di Suriah dan Indonesia, termasuk berkomunikasi dengan perempuan Afganistan. Tapi fenomena ini minoritas dari keseluruhan TKI/TKW.
Apakah keterlibatan perempuan juga atas dorongan Bahrun Naim?
Jelas. Bahrun Naim ingin perempuan menjadi "pengantin" karena tak akan dicurigai. Dia tahu perbedaan perlakuan petugas keamanan, misalnya saat laki-laki dan perempuan masuk ke metal detector. Pemeriksaan akan lebih longgar.
Adakah aksi teror lain di Indonesia yang dimotori perempuan?
Penangkapan jaringan teroris di Batam tahun lalu. Seorang perempuan dan anak perempuan yang berinisiatif, bukan pihak lelakinya. Menurut pihak keluarga lelaki, tak ada akar radikalisme yang dianut oleh pihak lelaki.
Mengapa teroris juga menyasar remaja sebagai pelaku teror, seperti terjadi di Medan?
Sama seperti perempuan, mereka tak akan dicurigai. Satu kasus menonjol lainnya melibatkan anak Syaiful Anam alias Brekele, terpidana bom Tentena di Poso. Umur anak itu belum 13 tahun tapi sudah tewas di Suriah. Melihat fotonya, postur anak ini lebih kecil dibanding senapan M-16. Setelah kabar tersebut, Brekele mengunggah video yang berisi pesan: abi dan umi bangga dengan perjuangan itu.
Seberapa besar peluang sel kelompok teror di Irak dan Suriah pulang ke Indonesia?
Sangat sulit kembali ke Indonesia. Bertempur di Suriah berbeda dengan di Afganistan, yang datang sendirian. Pengikut ISIS pergi ke Suriah membawa keluarga, bahkan sampai 20 orang lebih, termasuk nenek berusia 78 tahun. Mereka juga menjual semua hartanya di Indonesia dan membakar paspor begitu tiba di sana. Bagaimana mereka bisa keluar dengan cara semudah ketika masuk ke Suriah?
Mengapa mereka ke Suriah membawa keluarga?
Di Afganistan, kondisinya benar-benar perang melawan Uni Soviet, dan setelah Uni Soviet keluar dari sana, ada kamp pelatihan. Laki-laki dikirim ke sana dan kembali ke Indonesia untuk melawan rezim Soeharto. Kalau di ISIS, keluarga diundang mendirikan negara Islam yang baru agar khilafah berkembang di sana. Keluarga tertarik pada ide membesarkan anak di negara yang menerapkan syariat Islam.
Berapa WNI yang sudah teridentifikasi berangkat ke Suriah?
Sekitar 440 orang, tapi sekitar 40 persen adalah perempuan dan anak-anak di bawah umur 15 tahun. Jadi tidak semuanya pejuang. Kalau jumlah yang sebenarnya pasti di atas itu, mungkin 600-650 orang dan harus menghitung pula sekitar 300 orang yang dideportasi dari Turki. Mereka ingin menyeberang ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.
Dengan aksi teror yang terus muncul, apakah program deradikalisasi pemerintah gagal?
Kurang efektif. Tapi sulit juga mencari negara yang program deradikalisasinya sukses besar dan efektif. Lihat Prancis, Belanda, dan Belgia. Di negara itu sudah ada program pendekatan pada komunitas, tapi pemerintahnya kesulitan menangkal dan mengawasi proses radikalisasi di media sosial.
Apakah program deradikalisasi di Malaysia berhasil karena tak ada gembong teroris setelah Noordin M. Top dan Azahari Husin?
Justru polisi Malaysia sangat khawatir sekarang. Sebab, mereka dulu tahu siapa saja anggota jaringan Jamaah Islamiyah. Namun sekarang orang-orang ini bertemu lewat media sosial, lalu terbentuk sel-sel, yang sebelumnya tak terpikirkan sama sekali.
Melihat perkembangan pola terorisme sekarang, bagaimana program deradikalisasi yang paling tepat?
Tak ada program yang one size fits all, tapi perlu ada upaya pelibatan korban terorisme. Ada kelompok Aliansi Indonesia Damai (AIDA), yang membawa korban terorisme ke sekolah dan lembaga pemasyarakatan. Mereka juga mempertemukan korban dengan narapidana terorisme.
Apakah mungkin membatasi khotbah ulama yang menyebarkan paham radikal seperti di Turki dan Malaysia?
Sangat sulit melarang ajaran ulama di Indonesia. Sebab, ide yang mewajibkan ulama mendaftarkan diri dan diberi izin khotbah, seperti di Turki dan Malaysia, bakal menuai protes besar-besaran. Langkah itu akan dianggap sebagai pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Walhasil, masih ada ulama yang pro-ISIS berceramah di beberapa daerah, termasuk Jakarta.
Perlukah program deradikalisasi khusus untuk perempuan?
Sebaiknya ada. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 harus mulai memahami peran perempuan dalam aksi teror. Mereka yang hijrah ke Suriah, lalu suaminya tewas dalam perang, segera dikawinkan dengan pejuang dari negara lain. Bisa dari Prancis atau Afrika Utara. Artinya, bukan mustahil ada amaliyah yang direncanakan secara kolaboratif antara kelompok Indonesia dan Eropa karena hubungan pernikahan.
Apakah tepat pemerintah mengurung para napi teroris dalam satu lembaga pemasyarakatan?
Hal itu selalu menjadi perdebatan. Saat ini napi teroris menghuni hampir 70 LP di seluruh Indonesia. Kontrol lebih mudah jika para napi ini ditempatkan di satu LP, tapi bisa terulang kejadian di Iran utara, ketika LP menjadi universitas radikalisme. Sedangkan bila dipisahkan, itu berarti membuka risiko perekrutan terhadap napi non-terorisme.
Apa solusi yang Anda tawarkan?
Harus ada semacam assessment tool untuk membedakan napi yang benar-benar ideolog dan sekadar pengikut. Kalau statusnya pengikut, jangan dikirim ke LP khusus karena kemungkinan besar mereka akan menjadi lebih radikal. Tanpa assessment tool, semakin sulit membedakan napi ideolog dan pengikut atau simpatisan. Tapi ide pemisahan napi ideolog dan simpatisan juga membuat petugas LP kerepotan. BNPT memindahkan napi yang telah menjalani program deradikalisasi ke fasilitas mereka di Sentul, padahal napi ini diperlukan LP untuk menangkal argumentasi napi yang pemikirannya masih radikal. Bila dipindah dari LP ke fasilitas BNPT, LP justru dipenuhi napi radikal. Ini sering membuat sipir terintimidasi.
Apakah pemisahan napi efektif jika napi teroris masih leluasa berkomunikasi dengan dunia luar?
Kebanyakan napi bisa mengakses telepon seluler di LP, kecuali Aman Abdurrahman, Abu Bakar Ba’asyir, Abrori, dan Mohammad Rois, yang pengawasannya diperketat sejak bom Thamrin. Mereka rupanya jadi jauh lebih sulit berkomunikasi dengan pengikutnya. Sisi positifnya ialah pengikut mereka jadi gampang keluar dari persembunyian.
Kelompok teroris apa saja yang perlu diwaspadai Indonesia dan negara-negara ASEAN?
Ada organisasi di Filipina, namanya The Maute Group. Maute sudah berafiliasi ke ISIS. Pemimpin kelompok ini sudah menikah dengan perempuan Indonesia yang bertemu di Al-Azhar, Kairo. Artinya, pemimpin kelompok teroris yang pro-ISIS di Filipina sudah punya hubungan dengan Indonesia. Ini perlu diperhatikan pemerintah. Dampak konflik Rohingya juga perlu diwaspadai. Ada mujahidin Indonesia dan Malaysia yang ingin membela saudara seiman di Myanmar. Kasus terbaru, ada WNI yang ditangkap di Malaysia karena berencana melakukan amaliyah di Myanmar.
Soal maraknya aksi intoleran belakangan ini, apakah itu menandakan kelompok Islam radikal semakin mendapat ruang?
Saya melihat kelompok masyarakat sipil garis keras semakin berpengaruh di Indonesia, ketika Rizieq Syihab (pemimpin FPI) menjadi tokoh masyarakat sipil paling penting di Indonesia saat ini. Padahal dia sosok intoleran, sementara di lain sisi hampir semua pemimpin politik seolah-olah harus datang ke Rizieq. Peristiwa terbaru adalah Anies Baswedan.
Mengapa organisasi intoleran seperti FPI masih bisa eksis?
Dulu kelompok masyarakat sipil dipandang sebagai tanda demokrasi Indonesia yang aktif dan tumbuh dengan semarak. Kemudian lahir Undang-Undang Pilkada, yang menjadi tanda kemajuan iklim demokrasi. Namun hal itu membuat para calon kepala daerah merasa harus menarik suara dari kelompok konservatif, yang taat kepada ulama setempat. Peluang ini dimanfaatkan organisasi seperti FPI untuk memasukkan agenda mereka dan para calon kepala daerah menganggap agenda itu cerminan aspirasi konstituen dari kelompok Islam. Hal ini terjadi di daerah seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Jabodetabek.
Apakah eksistensinya juga disebabkan oleh tidak tegasnya pemerintah menindak ketika mereka melakukan kekerasan?
Sejak 2008 sudah tercatat aksi kekerasan FPI yang dibiarkan. Mereka hanya mendapat slap on the wrist, hukuman yang tak membuat jera. Hal itu tak lepas dari hubungan FPI dan Polri yang bersifat kemitraan sejak 1998. Juga peran Rizieq yang membantu polisi saat konflik di Poso. Dia bertugas menarik anak-anak agar tak bergabung dengan Jamaah Islamiyah. Kalau ingin mengurangi pengaruh mereka, relasi polisi dan organisasi pamswakarsa garis keras harus dipisahkan.
Bagaimana memisahkannya sementara ada pejabat yang punya sejarah hubungan dengan FPI?
Seharusnya semua pejabat menjauhkan diri dari organisasi yang punya latar belakang kekerasan seperti FPI. Faktanya, sekarang kita melihat ada gubernur atau bupati mendatangi acara yang diadakan FPI. Seharusnya pemerintah pusat menginstruksikan tak boleh ada pejabat yang menghadiri acara organisasi yang punya rekam jejak melanggar hukum.
Apakah kehadiran ormas garis keras bisa menjadi pintu masuk bagi aksi terorisme?
Saya yakin benar Rizieq bersama FPI sangat anti-terorisme. Pada aksi unjuk rasa 4 November dan 2 Desember, misalnya, ada sel-sel teroris yang ingin menyusup dan membuat kekacauan dengan target bisa menusuk polisi seperti aksi teroris di Tangerang pada Oktober lalu.
Mengapa teroris sekarang mengincar polisi?
Sebab, ada pembongkaran kamp pelatihan militer di Aceh sejak 2010, yang membuat anggota pasukan Densus pertama gugur dalam baku tembak. Totalnya ada lebih dari 40 polisi jadi korban terorisme, sebaliknya lebih dari 100 teroris tewas di tangan polisi. Sejak itu, polisi menjadi musuh nomor satu bagi teroris.
Sidney R. Jones
Tempat dan tanggal lahir: Albany, New York, Amerika Serikat,31 Mei 1952
Pendidikan:
- S-1: Oriental Studies, University of Pennsylvania (1974)
- S-2: International Relations, University of Pennsylvania (1976)
- Doktor Kehormatan, The New School, New York (2006)1
Karier:
- Pendiri dan Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (2013-sekarang)
- Penasihat senior International Crisis Group (2007-2013)
- Direktur Eksekutif Human Rights Watch (1989-2002)
- Peneliti Amnesty International (1985-1988)
- Anggota Staf Program Ford Foundation (1977-1984)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo