Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Wajar Pemerintah Mencontoh Kami

19 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua mobil murah ramah lingkungan (LCGC), Toyota Calya dan Daihatsu Sigra, mendapat sambutan bagus dari masyarakat. Hanya dalam sebelas hari penyelenggaraan Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) di BSD City, Tangerang Selatan, pertengahan Agustus lalu, Calya dan Sigra terjual 12 ribu unit. Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto, 56 tahun, mengatakan masyarakat sudah menunggu kehadiran dua mobil untuk tujuh penumpang yang diluncurkan pada awal Agustus lalu itu. "Harganya pun terjangkau, mulai Rp 100 jutaan," ujar Prijono.

Dalam laporan yang dirilis pekan lalu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan "dua saudara" itu telah menguasai 15,4 persen dari total penjualan 96.294 mobil di Indonesia sepanjang Agustus lalu. Di kelas LCGC, dominasinya mencapai 33 persen. Calya-Sigra melanjutkan keberhasilan kolaborasi Toyota Astra Motor dan Astra Daihatsu Motor sejak 2003, yang telah melahirkan Avanza-Xenia serta mobil murah ramah lingkungan Agya-Ayla.

Posisi Astra sebagai penguasa jalanan memang sulit digoyahkan. Mereka mendominasi 51 persen pasar mobil nasional lewat merek Toyota, Daihatsu, Isuzu, BMW, dan Peugeot. Di ranah roda dua, dominasi mereka lebih tinggi. Astra Honda Motor menguasai 72 persen pasar nasional.

Namun Prijono enggan melulu membicarakan mobil dan sepeda motor. "Anak-anak (karyawan) non-otomotif marah kalau saya ngomongin mobil terus," ujar pria yang menakhodai biduk raksasa berisi 202 perusahaan dengan 213 ribu karyawan itu. Bidang usaha Astra terbentang dari otomotif, keuangan, perkebunan, hingga konstruksi.

Selama hampir dua jam di kantor Astra International di Gedung WTC 2, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu dua pekan lalu, Prijono membeberkan caranya mengelola 202 perusahaan tersebut kepada wartawan Tempo Fery Firmansyah, Martha Warta Silaban, Praga Utama, Tika Primandari, Reza Maulana, dan fotografer Tony Hartawan.

Calya dan Sigra terjual 12 ribu unit di GIIAS lalu. Apakah angka itu sesuai dengan perkiraan Anda?

Ya, karena memang sudah ditunggu. Harganya pun terjangkau, mulai Rp 100 jutaan. Kami belajar dari Avanza dan Xenia. Saat peluncurannya, kami tidak menyangka respons konsumen sebesar itu. Sebagai gambaran, mobil favorit saat itu adalah Toyota Kijang, yang harganya selalu US$ 25 ribu. Sebelum krisis moneter, saat US$ 1 masih Rp 2.200, jadinya Rp 55 juta. Pada 2004, karena kurs sudah Rp 9.000 per dolar, jadinya Rp 225 juta. Maka, begitu muncul Avanza dan Xenia yang Rp 80 jutaan, laku keras. Sekarang bergeser lagi, ada "adiknya". Jadi dari Kijang, Avanza-Xenia, ke Calya-Sigra. Demikian polanya.

Peraturan Menteri Perindustrian menyebutkan harga LCGC maksimal Rp 95 juta. Berarti Calya dan Sigra melanggar?

Ketentuan itu hanya untuk mobil lima penumpang, seperti Agya dan Ayla. Mobil yang kapasitas penumpangnya ditambah, extended, masih bisa dinaikkan harganya. Produsen lain juga melakukan hal yang sama di mobil untuk tujuh penumpang.

Benarkah mobil murah ramah lingkungan ditujukan untuk mengambil pangsa pasar sepeda motor?

Saya tidak pernah berpikir begitu. Sepeda motor dibeli kelas dengan daya beli rata-rata Rp 15-20 juta. Sebelumnya, Rp 12-18 juta. Bagaimana orang yang sebelumnya memiliki daya beli Rp 15-20 juta mendadak bisa beli Rp 80-100 juta? Kejauhan atuh.
Alurnya, setelah bisa beli kendaraan Rp 15-20 juta, mereka akan membeli sepeda motor sport, yang rentangnya Rp 25-30 juta. Setelah itu naik peringkat lagi, beli mobil bekas, misalnya yang seharga Rp 45-50 juta. Baru naik ke mobil baru yang paling murah, ya, Agya dan Ayla tadi.

Bukankah bisa beli dengan kredit?

Riset Boston Consulting Group mendapati piramida konsumen yang menarik di Indonesia. Di golongan atas, ada 2,5 juta orang yang pembelanjaannya lebih dari Rp 7,5 juta per bulan. Di lapisan kedua, ada 6,5-7 juta orang dengan pengeluaran bulanan Rp 5-7,5 juta. Jadi pangsa pasar empat roda besar sekali, sampai 7 juta manusia. Mereka mampu beli Agya karena nilai cicilannya cuma Rp 1,8 juta per bulan. Hanya, mereka butuh uang muka. Ada pula pertimbangan risiko sakit dan tidak mampu membayar cicilan. Belum lagi pajak. Jadi mikirnya panjang. Maka, setelah bisa beli motor, tidak langsung beli mobil baru. Itu wajar dalam ekonomi yang sedang tumbuh seperti Indonesia ini.

Kenapa Astra Daihatsu Motor tak memproduksi lagi Xenia 1.000 cc? Apakah takut kalah bersaing dengan Sigra?

Suka atau tidak, pasti akan ada tumpang-tindih. Kalau sebuah produk terkanibalisasi terlalu banyak, buat apa dipertahankan? Semua produsen otomotif ingin mengisi setiap ceruk. BMW dulu hanya punya seri 3, 5, dan 7. Lalu keluar seri 4, 1, 2. Bahwa ada kanibalisasi sedikit, tak apa-apa, daripada ceruknya diambil orang lain. Ibarat tukang roti yang sudah punya adonan, mau dibikin roti bakso, roti pisang, roti keju, adonannya sama. Di otomotif, adonan itu platform, sekitar 60 persen dari total biaya.

Berapa kenaikan pangsa pasar mobil Astra dengan kehadiran Calya dan Sigra?

Kalau sudah mencapai titik tertentu, grafik seperti ngeden. Boro-boro mau naik, mempertahankannya saja susah. Seperti Honda yang mencapai 72 persen di pasar sepeda motor. Naik pelan-pelan dari 45 persen pada 2008. Melihat angka itu tidak bergerak, saya cuma bisa bilang terima kasih. Sebab, mau naik setengah persen saja susahnya setengah mati. Jadi, dengan Calya dan Sigra, kami akan mempertahankan pangsa 51 persen, sebab merek lain tidak tinggal diam dan akan mengeluarkan produk baru.

Daihatsu global diakuisisi penuh oleh Toyota pada awal Agustus lalu. Apakah bakal ada dampaknya di Indonesia, misalnya pemisahan Daihatsu hanya memproduksi mobil kecil dan Toyota untuk segmen lebih tinggi?

Di luar produk kolaborasi, seperti Avanza-Xenia, sebenarnya pemisahan itu sudah ada secara tidak langsung. Di Jepang, Daihatsu bermain di compact car, 660 cc ke bawah. Sisanya Toyota. Di Indonesia, mohon maaf, 660 cc kagak laku. Semua pemilik maunya minimal 1.000 cc. Jadi tumpang-tindihnya di sekitar 1.000 cc, cuma sedikit. Harga off the road Daihatsu paling mahal Rp 240 juta, dikurangi diskon jadi Rp 220 juta. Sedangkan Toyota, yang harganya sampai miliaran rupiah, untuk kelas menengah dan atas.

Apa rencana jangka panjang otomotif Astra?

Kami ingin penggunaan bahan-bahan lokal bertambah. Kalau bisa, bahan mentahnya juga lokal.

Bagaimana dengan rencana Daihatsu membuat mobil yang 100 persen lokal pada 2019?

Mudah-mudahan tahun itu ada satu produk dengan peran insinyur lokal lebih banyak dan kandungan lokal mendekati 100 persen. Bukan tak bisa lokal sepenuhnya, tapi ada beberapa komponen yang kalau dilokalkan tidak ada bedanya, seperti baut. Yang paling penting adalah siapa yang mendesain bodi, mesin, konsep. Namanya terserah. Mana yang bikin kita lebih bangga: Agya dan Ayla yang bodinya didesain Mark Wijaya di Sunter (kantor pusat Astra di Jakarta Utara) atau namanya Kijang tapi buatan Jepang?

Seberapa besar perbandingan bisnis otomotif dan non-otomotif di Astra?

Bisnis Astra tetap 52 persen di roda dua dan roda empat. Ini core business kami. Tapi saya tidak ingin Astra dikenal hanya dari mobil dan motor. Anak-anak (karyawan) non-otomotif marah kalau saya ngomongin mobil terus. Maka sekarang saya tidak mau lagi diambil gambar dengan latar mobil.

Bagaimana pembagian investasinya?

Belanja modal kami Rp 14 triliun. Tahun lalu Rp 10 triliun. Sebanyak Rp 2,2 triliun kami gunakan untuk ekspansi jaringan otomotif. Pabrik sudah cukup. Saat ini kapasitas pabrik sepeda motor 5,8 juta unit per tahun dan terpakai 80 persennya. Kapasitas pabrik Toyota 250 ribu unit, terpakai 80 persen. Pabrik Daihatsu dengan kapasitas 530 ribu unit juga terpakai 80 persen. Sisa komposisi belanja modal tidak banyak berubah dari tahun sebelumnya. Misalnya, United Tractors Rp 3,5 triliun, PT Astra Agro Lestari Rp 2,2 triliun, infrastruktur Rp 1,5 triliun, lainnya kecil-kecil. Tapi kalau ada kebutuhan mendadak, ya, harus tambah. Tahun ini saja Bank Permata tiga kali melakukan rights issue, senilai Rp 5,5 triliun, PT Astra Agro Rp 4 triliun.

Perkebunan sedang lesu?

Harga sawit tidak jelek, Rp 8.500 per kilogram, tapi produksinya turun karena pengaruh kekeringan. Penurunan bisnis Astra mencapai 12 persen. Itu disebabkan oleh komoditas dan jasa keuangan, lebih spesifik Bank Permata. Tapi pembiayaan kendaraan masih baik, PT Federal International Finance dan PT Toyota Astra Financial Services sedang baik sekali, seiring dengan pertumbuhan industri otomotif. Moral story-nya ialah, kalau cuma dua divisi yang terpukul, kami masih percaya bahwa ini adalah kondisi sementara. Indonesia tidak tinggal diam dan akan terus membangun.

Properti jadi bidang ekspansi terbaru?

Empat tahun lalu, Astra tidak bermain di properti. Sekarang kami bangun Menara Astra di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Itu untuk kantor kami. Di belakangnya, kami bangun apartemen Anandamaya Residence. Bekerja sama dengan pengembang asing, Hong Kong Land. Ada 509 unit dan terjual 91 persen. Kami tidak menyangka pencapaiannya sebesar itu. Insya Allah, akan ada proyek kedua dan ketiga.

Apakah hanya gedung dan apartemen?

Tidak melulu perumahan vertikal. Kami juga ada rencana membangun landed house. Kapannya, nanti dulu. Biarkan saya bertapa sebentar, ha-ha-ha....

Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara Budi Gunadi Sadikin pernah mengatakan akan mencontoh manajemen Astra dalam pembentukan superholding BUMN. Apa pendapat Anda?

Jangan lupa, Menteri BUMN mantan Presiden Direktur Astra, ha-ha-ha... (Rini Soemarno menjadi Presiden Direktur Astra International pada 1998-2000). Astra adalah konglomerasi terbesar di Indonesia yang pengelolaannya 100 persen profesional. Di perusahaan lain, keluarga pemilik masih ikut campur. Perusahaan kami besar tapi tetap efisien. Ada 202 perusahaan, Astra Autoparts saja ada 52 perusahaan. Kami punya holding pertambangan dan perkebunan. Jadi, menurut saya, wajar kalau Astra dijadikan percontohan.

Sebagai pelaku ekonomi, menurut Anda, bagaimana kondisi ekonomi tahun ini?

Semester pertama moderat, biasa-biasa saja. Semester kedua sedikit lebih baik, tapi belum sepenuhnya membaik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih belum akan mencapai 5,5 persen. Apalagi tren perbaikan ekonomi dunia masih agak lambat. Tapi saya optimistis arah pemerintah kita sudah benar. Misalnya, ada kemudahan berinvestasi, dwelling time diperpendek.

Apa dampak yang Anda rasakan dengan pertumbuhan ekonomi sekarang?

Dengan pertumbuhan 5 persen seperti sekarang, penciptaan lapangan kerja tidak banyak. Bagi Astra, yang paling penting tidak ada pemutusan hubungan kerja. Kami merasakan hal itu saat krisis ekonomi 1998. Saat itu pimpinan kami harus memangkas 25 ribu karyawan karena otomotif, yang menempati 89 persen porsi bisnis kami, hanya berjalan 15 persen.
Keuntungan kami sekarang turun 12 persen dibanding semester pertama tahun lalu. Tapi jangan sampai ada PHK. Om William (Soeryadjaya) mengajarkan kami untuk selalu menciptakan lapangan pekerjaan. Sebab, kalau orang menganggur dan kepepet, dia bisa berbuat jahat.

Apakah Astra akan memanfaatkan tax amnesty seperti beberapa perusahaan besar lain?

Saya belum cek di lapangan. Tapi, kalaupun ada, sangat kecil, karena kami pembayar pajak yang normal-normal saja. Tapi karena ada 202 perusahaan, misalkan ada yang lupa mencatat satu Toyota Fortuner, ya, wajar.

Apa kunci Astra bisa efisien seperti sekarang padahal hampir bangkrut pada 1998?

Kepemimpinan dan sistem yang bagus. Kepemimpinan tidak bisa ditawar, harus selalu kasih contoh yang baik. Sistem yang bagus boleh dilanggar dengan pengecualian, asalkan jangan terus-terusan. Nasionalisme kami sangat tinggi. Setiap 17 Agustus, kami mengadakan upacara bendera. Semua kantor cabang juga. Di setiap acara besar, kami mulai dengan lagu Padamu Negeri. Itu penting untuk membangun kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Tanpa kebanggaan dan percaya diri, bagaimana orang mau berprestasi? Kita harus memperlakukan setiap orang merasa bisa membuat perubahan. Kalau ada kesalahan, jangan dicela, langsung cari pemecahannya.

Dengan jumlah karyawan sebanyak itu, bagaimana caranya?

Saya punya sembilan direktur dan 400 eksekutif atau direktur anak perusahaan. Saya memeriksa mereka secara berkala. Maka ruang rapat ini butuh kursi yang sangat empuk karena saya hampir seharian di sini dari pagi sampai malam, ha-ha-ha.... Di ruangan pribadi paling cuma 15 menit untuk tanda tangan dokumen. Dengan pemeriksaan yang cermat, kalau ada kesalahan, bisa dipadamkan dengan alat ringan, tidak perlu branwir.

Prijono Sugiarto
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 20 Juni 1960 Pendidikan: Diplom Wirtschaftsingenieur Administrasi Bisnis di Universitas Bochum, Jerman (1984-1986), Beasiswa KAAD Jerman (1981-1986), Diplom Ingenieur Teknik Mekanik di Universitas Konstanz, Jerman (1979-1984) Karier: l Presiden Direktur PT Astra International Tbk (Maret 2010-sekarang) l Direktur PT Astra International Tbk (2001-Februari 2010) l Presiden Komisaris PT United Tractors Tbk l Presiden Komisaris PT Astra Agro Lestari Tbk l Presiden Komisaris PT Astra Honda Motor Aktivitas dan Penghargaan: l Ketua Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman, Ekonid (2015-sekarang) l Asia Business Leader of the Year dari CNBC (2014) l The Best CEO dari FinanceAsia (2011, 2013) l Green CEO dari Warta Ekonomi (2012) l Wakil Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo/1999-2010)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus