Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

BNPT dan Densus 88 Seperti Beternak Terorisme

Wawancara Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas tentang terorisme dan kesenjangan ekonomi akibat kepemilikan lahan di era Jokowi.

19 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas/Dokumentasi Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas ragu pengurus MUI terlibat terorisme.

  • Dia mengkritik cara BNPT dan Densus 88 menangani radikalisme dan terorisme.

  • Di depan Presiden Jokowi, dia mengkritik kesenjangan ekonomi.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi sorotan setelah pengurusnya terjerat kasus terorisme. Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menangkap Ahmad Zain An Najah dan Farid Okbah pada 16 November 2021 karena mereka diduga terlibat jaringan teroris Jamaah Islamiyah. Ahmad Zain An Najah adalah anggota Komisi Fatwa MUI dan Farid Okbah Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia. Penangkapan serupa berlanjut pada 10 Februari lalu. Densus menangkap tiga orang di Bengkulu, dua di antaranya pengurus MUI Bengkulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengatakan, seusai penangkapan itu, MUI menonaktifkan pengurus yang diduga terlibat jaringan teroris tersebut. Namun ia mengkritik penanganan radikalisme dan terorisme oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88. “Kesan saya, BNPT dan Densus ini seperti beternak atau berkebun radikalisme dan terorisme. Kalau orang beternak, kalau sudah waktunya kan (ternak) dipotong, diambil,” katanya dalam wawancara daring dengan wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, pada Kamis, 17 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam wawancara sekitar dua jam, Anwar Abbas menuturkan apa saja yang dilakukan MUI seusai penangkapan tersebut dan bagaimana proses seleksi pengurus. Dia juga mengkritik penanganan radikalisme dan terorisme serta masalah ketidakadilan di negeri ini.

Apa yang dilakukan MUI seusai penangkapan itu?

Bagaimana kami membuktikan itu, ya. Saya kan bukan polisi. Saya suarakan waktu itu (bahwa) saya tidak percaya. Tapi, kata mereka, sudah ada bukti. Kalau bukti ada, ya diproses, dibawa ke pengadilan. Karena dia dinyatakan oleh Densus 88 terindikasi terlibat (jaringan teroris), maka oleh MUI dinonaktifkan. Tapi, kalau nanti dia menang di pengadilan, diaktifkan kembali. Saya bingung, sudah berbulan-bulan ditangkap (kasusnya) belum dibawa ke pengadilan. Itu rasa-rasanya tidak berkeadilan juga.

Apa yang membuat Anda tidak yakin atas tuduhan itu?

Teroris itu definisinya orang yang membuat ketakutan di tengah masyarakat. Cobalah duduk dekat Farid Okbah atau Zain An Najah. Tidak akan ada rasa takut itu. Okbah saya sering ketemu. Kalau An Najah, tidak tahu saya. Makanya saya tanya Ketua Bidang Fatwa MUI KH Asrorun Ni’am Sholeh. Kata beliau, (Ahmad Zain An Najah) orangnya baik sekali, santun, sopan. Lemah lembut bicaranya. Bingung juga saya. Kok, orang seperti itu bisa dianggap teroris?

An Najah ini pernah bersama Dr Jeje Zaenudin dari Persatuan Islam (Persis) menghadiri sebuah seminar oleh lembaga negara. Dia berbicara tentang ISIS (kelompok Negara Islam Irak dan Suriah) dan keburukan yang ditimbulkannya. Makanya Dr Jeje bingung mengapa An Najah dituduh teroris.

Okbah, dari yang saya baca, (dia ditangkap) karena pernah ngasih uang, entah Rp 1 juta entah 10 juta. Jadi orang yang pernah menyumbang kepada suatu organisasi yang terindikasi teroris akan terkena. Ini sama dengan membeli barang hasil curian, kan kena juga, padahal (orang) tidak tahu kalau itu barang curian. Aduh, ngeri juga saya. Saya kan sering nyumbang, bersedekah.

Mungkinkah Ahmad Zain An Najah punya aktivitas di luar yang tak diketahui MUI?

Ya, tidak tahu, lah, kami. Kesimpulan saya, (penangkapan itu) agak berlebihan, ya.

Apakah hal ini tidak diketahui MUI saat perekrutan sebagai pengurus?

Yang dilakukan MUI untuk mengangkat seseorang menjadi pengurus itu ada tiga prinsip. Pertama, kompetensi. Kalau di komisi fatwa, apakah dia mampu baca kitab kuning, ushul fikih, dan fikih? Kalau tidak, ya, tidak punya kompetensi. Kalau di lembaga seni budaya, dia ngerti seni, enggak? Kalau enggak ngerti seni, ya, tidak bisa duduk di situ. Kedua, integritas. Akhlak, moral, dan pandangan kebangsaannya bagaimana.

Ketiga, representasi organisasi massa (ormas) atau elemen masyarakat seperti pesantren dan perguruan tinggi. Saya representasi Muhammadiyah. Kiai Miftachul Akhyar representasi Nahdlatul Ulama. Jelas keterwakilannya. Ada orang yang direkomendasikan oleh organisasi, masak saya pertanyakan lagi? An Najah ini dari Dewan Dakwah. Prinsip yang saya jaga dalam kepengurusan MUI, harus ada representasi ormas. Jangan sampai ada yang tidak terwakili.

Mengapa orang menjadi radikal dan terlibat terorisme?

Kita bisa berbeda-beda pendapat karena berbeda informasi yang dimiliki, beda kepentingan dan sudut pandang. Begitu juga radikalisme dan terorisme. Saya maunya begini. Dalam menangani radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, kita cari penyebabnya. Kesimpulan saya, orang menjadi radikal, ekstrem, itu karena ada kemarahan. Salah satunya karena ketidakadilan.

Contohnya Usamah bin Ladin (pemimpin Al-Qaidah). Kan, dulu dia diajak Amerika Serikat untuk mengusir Uni Soviet dari Afganistan. Setelah (Uni Soviet) terusir dan (anggota kelompok) Bin Ladin berdarah-darah dan banyak menjadi korban, apa yang terjadi? Dia disingkirkan. Kan, enggak benar. Tidak adil cara-cara seperti itu.

Ketidakadilan seperti apa yang bisa memicunya?

Contohnya Poso. Sampai hari ini masih ada kelompok ekstremis di sana. Teman saya, mantan Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Nadjamuddin Ramly, pernah mengatakan, bagaimana orang Poso tidak akan marah, tidak akan radikal, dan jadi ekstremis bila mereka melihat sendiri bapaknya, saudaranya, dibunuh. Itu akan melahirkan dendam. Penyelesaian masalah ini tidak ada. Permohonan maaf kepada keluarga juga tidak ada. Negara kan tugasnya melindungi rakyat, bukan membunuhi rakyat.

Kolega saya, Slamet Effendy Yusuf, pernah menunjukkan fotokopi kajian lembaga penelitian di Australia. Kajian itu menyatakan tindakan radikalisme yang dilakukan umat Islam di berbagai tempat di Indonesia sifatnya adalah reaksi.


Anwar Abbas

Tempat dan tanggal lahir:
Balai Mansiro, Sumatera Barat, 15 Februari 1955

Pendidikan:
S-1 Institut Agama Islam Negeri Jakarta (kini Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta),
S-2 Ekonomi Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta,
S-2 Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IPWI Jakarta,
S-3 Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Karier organisasi dan pekerjaan:
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, 2020-sekarang;
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2015-2020;
Pengajar ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001-2020;
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, 2015-2020;
Bendahara PP Muhammadiyah, 2010-2015;
Ketua Majelis Ulama Indonesia, 2010-2015;
Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, 2006-2010;
Wakil Presiden Konfederasi Buruh Islam Internasional, 2000-2005;
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Utusan Golongan, 1997-1999

Buku:
Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maqâshid al Syarî'ah, 2010


Radikalisme itu juga ditunjukkan dengan pengeboman. Apakah itu bisa dibenarkan?

Kalau orang dizalimi, dia akan mencari justifikasi. Lalu mungkin ada orang yang mengajarkan kepada dia, “Kamu lakukan saja bom bunuh diri,” Barulah masuk (faktor) ajaran agama itu. Tapi, kalau dia tidak dizalimi, saya kira dia tidak tertarik itu. Atau kepada dia tidak diceritakan praktik-praktik kezaliman yang dilakukan oleh pihak tertentu atau oleh sebuah negara. Contohnya Palestina. Bayangkan. Luas Israel hari ini jauh lebih besar dari awal. Apa ada reklamasi? Tidak ada reklamasi, kan. Tapi dia jarah tanah-tanah rakyat Palestina. Kemudian mereka (orang Palestina) melawan dan dituduh radikal, ekstremis, oleh Israel.

Bagaimana dengan faktor pemahaman agama?

Kalau itu memang ada dan makin kuat karena ada faktor kezaliman yang mendahuluinya. Kalau tidak ada kezaliman, untuk apa mereka melakukannya? Kalau dia merasa dihormati, untuk apa dia melakukan itu?

Tapi melakukan pengeboman kan dilarang agama?

Orang yang dizalimi itu berhak membela diri. Makanya, bagi saya, janganlah negara melakukan tindak kekerasan terhadap rakyatnya. Contohnya di Desa Wadas. Yang dilakukan masyarakat Wadas itu reaksi terhadap polisi yang datang beramai-ramai didampingi tentara sebanyak itu. Pasti ada rasa takut. Orang kalau melakukan tindakan yang menimbulkan ketakutan di kalangan orang banyak itu namanya teroris. Baca saja definisi terorisme.

Anda melihat itu sebagai teror negara?

Ya. Teror oleh negara. Itu yang saya tentang. Ada yang mengatakan, “Pak Abbas ini apa saja yang dilakukan Pak Jokowi dikritik.” Saya juga dituduh berpolitik di MUI. Saya memang berpolitik. Tapi politik saya tidak sama dengan teman-teman saya di Senayan, di kepartaian. Politik orang-orang di Senayan dan partai itu politik kekuasaan karena ingin jadi presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wali kota, bupati, duta besar, atau komisaris.

Lantas, bagaimana sebaiknya menangani radikalisme dan terorisme ini?

Kalau tidak salah, tugas dari BNPT itu preventif dan kuratif. Kesan saya, BNPT dan Densus 88 ini seperti beternak atau berkebun radikalisme dan terorisme. Kalau orang beternak, kalau sudah waktunya kan (ternak) dipotong, diambil. Menurut saya, tidak begitu caranya. Kalau sudah ada orang terpantau radikal, ya dipanggil, diberi penjelasan. Kalau terkait dengan paham keagamaan, ajaklah agamawan untuk berdiskusi dengan yang bersangkutan.

BNPT dan Densus pernah menjadikan mantan teroris seperti Al Chaidar sebagai mitra. Orang seperti dia saja bisa diubah, apalagi yang tidak sekaliber dia. Saya terus terang ingin sekali negeri ini aman, tenteram, dan damai. Tapi kalau ada yang keterlaluan banget, diajari dan dinasihati tidak mempan, tangkap saja. Tapi ini kan belum dilakukan. Kayak pengurus MUI di Bengkulu itu, apakah pernah diajak dialog? Tidak pernah. Farid Okbah? Tidak pernah. Kesan saya, sepertinya radikalisme, ekstremisme, dan terorisme ini terus dipelihara supaya anggaran tetap naik. Ada kecurigaan seperti itu. Daripada digunakan untuk itu, lebih baik untuk menuntaskan kemiskinan.

Saat memberi sambutan dalam Kongres Ekonomi Umat Islam MUI pada 10 Desember 2021, Anda mengkritik soal ketimpangan di depan Presiden.

Saya mengerti bagaimana penderitaan rakyat kecil. Beberapa hari lalu ada sopir taksi mengeluh karena tidak dapat uang sampai kemudian memutuskan pulang kampung. Saya membantunya dengan memberi bekal pulang. Lalu ada orang yang puluhan tahun matanya katarak. Saya bantu operasi. Saya cukup mengerti betapa susahnya masyarakat bawah. Komitmen saya adalah bagaimana caranya supaya kemiskinan ini mendapat perhatian pemerintah. Konstitusi jelas mengatakan bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Ternyata di negara ini jumlah orang miskin 27 juta. Itu empat perlima penduduk Malaysia atau lima kali jumlah penduduk Singapura. Apa kita tidak prihatin? Mengapa yang dipikirkan pemerintah adalah ibu kota baru? Mengapa uang itu tidak digunakan untuk pengentasan kemiskinan?

Anda juga menyampaikan soal ketimpangan kepemilikan lahan.

Saya tanya ke Menteri Agraria Sofyan Djalil soal indeks Gini tanah. Kata beliau, 0,39. Itu artinya 1 persen penduduk menguasai 59 persen lahan, 99 persen menguasai 41 persen lahan. Timpang enggak itu? Bukan hanya timpang, tapi sangat timpang. Saya enggak paham ekonomi-politiknya. Saya baru paham ekonomi-politiknya setelah baca buku Oligarki Jeffrey Winters dan Who Rules the World? Noam Chomsky. Keduanya bilang, penentu di suatu negeri adalah orang yang menguasai sumber ekonomi dan politik. Karena politik kita politik transaksional. Peraih Nobel tahun 1976, Milton Friedman, pernah bilang, bila kekuatan ekonomi dan politik ada di satu tangan, akan lahir rezim tirani. Rezim yang zalim itu, kalau di bidang hukum, ia tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Presiden saat itu menyampaikan rencananya soal redistribusi lahan dan bank tanah. Apakah itu menjawab pertanyaan Anda?

Saya juga kritik soal ketimpangan ekonomi. Indeks Gini ekonomi kita kan 0,39. Artinya 1 persen penduduk menguasai 39 persen ekonomi di negara ini. Di zaman Soeharto indeksnya 0,32, tahun 1978. Era Megawati 0,32. Sekarang 0,39. Di periode Susilo Bambang Yudhoyono lebih terjal, 0,41. Tapi, kalau diukur dari 0,32, (kondisi) sekarang tetap buruk. Ini yang saya ingatkan ke Pak Jokowi. Ini buah dari kebijakan nasional “dampak tetesan ke bawah”. Kecipratannya kan sedikit. Yang kaya tambah kaya, yang miskin naiknya sedikit.

Kesenjangan itu merusak persatuan dan kesatuan. Dalam pandangan pemikir Islam, Ibnu Khaldun, suatu bangsa akan bisa maju jika kohesivitas, rasa kebersamaan, bangsa itu kuat. Sebaliknya, suatu negara tidak akan maju kalau kohesivitasnya tidak kuat, seperti Suriah, Afganistan, Libya. Saya maunya negeri ini tumbuh berkembang, maju. Ia tak sekadar maju, tapi juga berkeadilan, berakhlak, bermoral. Untuk mencapainya, ya, konsisten melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.

Presiden saat itu menawarkan ribuan hektare lahan jika MUI membutuhkan. Apakah ada realisasinya?

Saya kumpulkan teman-teman. Saya tanya, kalau saya ambil 10 ribu hektare, berapa dana yang diperlukan? Setelah dihitung, untuk sawit per hektare sebesar Rp 40 juta. Kalau 10 ribu hektare berarti diperlukan Rp 400 miliar. Kalau saya ambil 50 ribu hektare, diperlukan Rp 2 triliun. Setelah saya kumpulkan, (mereka) mintanya hanya 5-10 hektare.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas saat acara pembukaan Kongres Ekonomi Umat II, di Hotel Sultan, Jakarta, Desember 2021/mui.or.id

Akhirnya MUI tidak menerima tawaran itu?

Bukan tidak menerima. MUI tidak bisa mengimplementasikannya. Tidak ada yang mampu.

Apakah tidak ada kritik dari dalam MUI terhadap Anda?

Ada yang menyarankan saya jangan terlalu galak. Ada yang menilai kurang keras. Kepada Kepala Polri, saya pernah bilang saya ini bukan pendukung Pak Jokowi. Itu standing position saya. Tapi, kalau Pak Jokowi benar, akan saya bela mati-matian meskipun saya akan dirisak oleh teman-teman saya. Tapi, kalau Pak Jokowi salah, saya akan mengingatkan. Wajib hukumnya bagi saya mengingatkan.

Saya dipengaruhi pemikir Islam, Imam Al-Ghazali. Kata dia, suatu masyarakat akan rusak kalau pemerintahnya rusak. Pemerintah rusak kalau ulamanya rusak. Kapan ulama dikatakan rusak? Kalau ulama itu tidak berani mengatakan kebenaran kepada penguasa. Itu saja motivasi saya. Sudah saya sampaikan (kritik). Perkara mau dilaksanakan atau tidak, itu bukan tugas saya.

MUI dulu kerap memicu kontroversi, seperti menyatakan bahwa Gubernur Jakarta harus muslim dan sebagainya, sehingga muncul tudingan MUI diisi kelompok konservatif atau ultra-konservatif.

Yang menuduh saya ultra-konservatif itu adalah kelompok sekuler fundamentalis. Pak Jokowi pernah bilang, agama jangan dibawa-bawa ke dalam politik. Saya bilang begini. Kalau agama jangan dibawa ke politik, jangan memerintah di negeri ini. Amanat konstitusi mengatakan negara berdasarkan ketuhanan. Artinya, agama harus mewarnai dimensi kehidupan, termasuk ekonomi dan politik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus