Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani mendorong pemerintah segera menerapkan normal baru dengan membuka kembali aktivitas perekonomian secara bertahap dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan.
Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 yang telah berlangsung tiga bulan telah menyebabkan lumpuhnya berbagai sektor usaha dan memicu 6 juta karyawan dirumahkan bahkan diberhentikan dari pekerjaan.
Rosan Roeslani mendukung keputusan DPR untuk melanjutkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja.
KAMAR Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong pemerintah segera menerapkan “normal baru”, yaitu melonggarkan pembatasan agar kegiatan ekonomi kembali bergeliat. Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengatakan pandemi Covid-19 yang melumpuhkan sebagian besar aktivitas masyarakat telah membuat banyak perusahaan babak-belur. “Pemerintah bilang pengusaha bisa mengurus dirinya sendiri. Ya, enggak bisa begitu,” kata Rosan dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya di Jakarta Selatan, Kamis, 28 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rosan, 51 tahun, rutin menyerap informasi dari 200 asosiasi yang bernaung di bawah Kadin. Dari mereka, misalnya, ia mengetahui jumlah pekerja yang telah dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja karena dampak pandemi mencapai 6 juta orang atau 4 juta lebih banyak dari versi pemerintah. Rosan juga mendapati banyak pelaku usaha yang tidak dapat bertahan lebih lama jika pembatasan sosial berskala besar diberlakukan hingga akhir Juli nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itulah Rosan menyampaikan kepada para menteri dan Presiden Joko Widodo proyeksi tentang kondisi ekonomi dan perlunya stimulus bagi pelaku usaha. “Faktor kesehatan memang penting, tapi exit strategy dari dunia usaha juga harus ada,” ujarnya.
Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Raymundus Rikang, Vindry Florentin, Andi Ibnu, dan Yohanes Paskalis Pae Dale, pengusaha yang didapuk sebagai Ketua Tim Satuan Tugas Omnibus Law ini menceritakan kesiapan sektor swasta menghadapi normal baru hingga Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial.
Bagaimana kesiapan dunia usaha dalam menerapkan normal baru?
Asosiasi pengusaha dan industri menyatakan siap menghadapi new normal dan harus beradaptasi dengan cepat. Kegiatan tak bisa berhenti terus. Harus ada titik untuk mulai dibuka bertahap dengan protokol Covid yang ketat. Tapi dilakukan juga evaluasi tiap satu atau dua minggu. Jadi sekali dibuka enggak dibuka terus. Setiap sektor industri punya protokol berbeda, baik yang padat karya maupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Mereka perlu panduan yang jelas dari pemerintah. Sebab, kami tahunya new normal itu ya pakai masker dan penyanitasi serta jaga jarak.
Apa dampak pemberlakuan normal baru terhadap dunia usaha?
Pasti menambah cost. Contohnya, di pabrik, satu ruangan bisa 100 orang. Sekarang, dengan protokol Covid, maksimal cuma 60 orang. Plus setiap orang mesti diberi masker, penyanitasi, lalu ada giliran. Kalau ada pegawai yang terkena Covid, ada protokol dan rujukannya. Ada perusahaan besar yang sudah memesan satu hotel kalau ada pegawainya yang terkena. Ada juga yang membagi kantornya menjadi tiga. Itu pun tempat duduknya dibedakan kalau ada beberapa grup shift. Diatur seperti itu karena mereka khawatir, kalau ada yang kena, operasional bisa berhenti total.
Bagaimana pembahasannya di antara asosiasi pengusaha?
Sektor retail, misalnya, yang paling bersemangat segera dibuka. Selama ini yang dibuka cuma 3-5 persen untuk farmasi dan grosir. Mereka menunggu keputusan pemerintah. Mereka sudah mempersiapkan diri. Ketika saatnya dibuka, maka yang penting adalah protokol kesehatan tetap diutamakan.
Separah apa krisis yang dialami dunia usaha akibat pandemi Covid-19?
Saya bicara dari yang dirumahkan dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Menteri Tenaga Kerja bilang sudah 2 juta orang yang unpaid leave dan PHK. Kalau menurut kami, sudah lebih dari 6 juta orang. Di antaranya, asosiasi Organda ada 1,4 juta orang. Dari tekstil ada 2,1 juta. Yang dirumahkan itu rasionya 90 persen unpaid leave dan 10 persen PHK. Sebab, kalau PHK ada konsekuensi pesangon, ini yang mereka (pengusaha) enggak sanggup. Sebanyak 1.700 hotel sudah tutup dan melapor di 31 provinsi. Paling banyak di Jawa Barat.
Sektor industri lain bagaimana?
Industri alas kaki ada 500-an ribu orang. Abujapi (Asosiasi Badan Usaha Jasa Pengamanan Indonesia), yang biasa outsource satpam, sudah terkena dampak 40 persen dari 2 juta anggotanya. Gaikindo juga terkena dampak. Awalnya target produksinya 1,1 juta unit, direvisi jadi 500 ribu, lalu menjadi 400 ribu. Bisa jualan itu sudah bagus sekali. Begitu pula maskapai. Kapasitas mereka di masa new normal diprediksi cuma 45 persen karena larangan bepergian dan protokol kesehatan dalam penerbangan. Konsekuensinya, kenaikan harga tiket yang tinggi. Dampaknya akan ke pariwisata. Sektor farmasi, yang kami kira masih oke bisnisnya, ternyata sudah merumahkan hampir 200 ribu orang.
Mengapa farmasi terkena dampak di tengah kebutuhan obat yang tinggi?
Pertama, harga bahan baku naik sampai 300-400 persen karena rebutan. Industri kita masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri. Kedua, nilai tukar dolar naik. Ketiga, masih diutangi oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp 6 triliun. Sudah harga barang naik, diutangi, lalu dolarnya naik. Mereka enggak bisa juga serta-merta menaikkan harga jual. Ada aturan mainnya.
Mengapa selisih angka karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK cukup jauh dengan versi Kementerian Tenaga Kerja?
Saya kan tahu dari asosiasi. Ada 200 asosiasi di bawah Kadin. Saya setiap dua-tiga hari mendapat masukan dan update dari mereka.
Apa yang kerap disampaikan asosiasi pengusaha?
Mereka belum merasakan stimulus dari pemerintah. Stimulus fiskal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 lebih banyak untuk UMKM dan BUMN. Terus terang, ketika melihat angka itu, asosiasi langsung bicara sama saya. Kontribusi kami terhadap GDP (produk domestik bruto) sebesar 87 persen. Dalam penyelamatan ini, semestinya tak boleh ada diskriminasi. Covid enggak mendiskriminasi, lho. Apakah perusahaan besar enggak bakal kena Covid?
Mengapa perusahaan besar juga berhak mendapat stimulus?
UMKM itu bagian dari value chain produksi yang besar. Betul bahwa penyerapan tenaga kerja sektor UMKM paling besar, yaitu 115 juta orang atau 96 persen dari total tenaga kerja kita. Kalau UMKM diselamatkan tapi mereka tidak bisa menjual ke perusahaan besar, tidak optimal. Pemerintah bilang pengusaha bisa mengurus dirinya sendiri. Ya, enggak bisa begitu. Kontribusi pajak kami juga besar. Semestinya penyelamatannya harus dilihat secara komprehensif.
Sejauh mana sektor UMKM terkena dampak?
UMKM menjadi ujung tombak penyelamatan ekonomi saat krisis 1998. Tapi sekarang mereka terkena dampak besar. Untuk memulai usaha barunya lagi, mereka perlu likuiditas. Likuiditasnya harus dari perbankan karena 80 persen sektor keuangan dari perbankan. Perbankan, untuk mengeluarkan itu, perlu ada credit risk. Karena itu, perbankan juga harus diperkuat. Kalau perbankan kena, kepercayaan masyarakat berkurang, terjadi rush, ya jebol. Buntutnya, kita bisa terkena krisis lagi.
Anda menyampaikan keluhan ini ke pemerintah?
Saya selama bulan Ramadan lalu cukup rutin berdiskusi dengan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Presiden. Sekali presentasi minimal selama dua jam.
Apa saja yang dibicarakan?
Kebanyakan soal keadaan ekonomi dan solusi dari Kadin kira-kira seperti apa. Kami paparkan semua karena kami yang pertama kali melontarkan kepada pemerintah tentang stimulus harus 10 persen dari GDP. Kami juga menulis surat secara resmi ke pemerintah kenapa stimulus harus Rp 1.600 triliun, apa saja tahapannya, bagaimana penyalurannya. Saya ingat menulis surat itu awal April lalu, termasuk ke Presiden dan semua menteri terkait.
Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani (kedua kanan) meninjau fasilitas Rumah Sakit Lapangan yang didirikan sebagai sarana melakukan Rapid Test Covid-19 di Ancol, Jakarta, Sabtu (4/4/2020). ANTARA FOTO/Dok. Artha Graha. Pras
Apa yang Anda sampaikan melalui surat itu?
Kami bertemu dengan Presiden Maret lalu. Kemudian saya tindaklanjuti secara tertulis. Waktu itu kami menilai wabah ini akan berdampak besar terhadap perekonomian. Tapi dengan stimulus akan mengurangi kedalaman dampaknya. Kami menyampaikan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama cuma 3 persen. Waktu itu proyeksi pemerintah masih 4,5-4,7 persen. Lalu Badan Pusat Statistik keluar dengan angka 2,97 persen. Kami tahu Cina partner dagang terbesar. Begitu mereka lockdown, maka terjadi perlambatan. Cepat atau lambat akan berdampak ke kita. Kami coba menghitungnya dan keluar angka 3 persen. Sejumlah pihak menilai kami panik berlebihan, tapi kami bersiap untuk yang terburuk.
Sejak kapan Kadin membicarakan kesiapan normal baru dengan pemerintah?
Sejak Mei ini. Kami hanya mensimulasikan bahwa kita harus memikirkan strategi keluarnya. Bukannya kami enggak mikirin kesehatan, ya, tapi ekonomi kan mesti jalan, termasuk kita mesti mikirin investasi juga nantinya. Dengan stimulus yang besar ini akan meningkatkan daya tahan kita ke depan.
Sampai kapan dunia usaha bertahan jika pembatasan sosial terus diberlakukan?
Kalau kita bicara dari segi cash flow, likuiditas, itu sudah berat sekali pada Juni-Juli. Pada Agustus-September sudah mentok kalau pembatasan sosial berskala besar diterapkan sampai akhir Juli. Kami khawatir dunia usaha mengalami temporary impairment menjadi permanent impairment.
Sejauh mana penerapan normal baru bisa mencegah hal tersebut?
Kalau new normal mulai dijalankan, yang tadinya dirumahkan akan kembali secara bertahap. Tahap pertama mungkin sampai 25 persen. Kalau asumsinya dimulai sekarang, 1 juta dari 6 juta orang sudah mulai bisa kembali bekerja selama tiga bulan. Targetnya 50-60 persen yang dirumahkan bisa kembali bekerja.
Bukankah membuka kembali kegiatan ekonomi ketika wabah belum teratasi bisa memperbesar peluang penyebaran penyakit?
Faktor kesehatan memang sangat penting, tapi exit strategy dari dunia usaha juga harus ada. Juni ini mesti sudah ada. Kita tahu tidak ada vaksin dalam waktu dekat. Jadi memang tidak ada pilihan yang enak. Dibuka bapak menderita, enggak dibuka ibu menderita. Istilahnya begitu. Kita tidak mungkin bilang pokoknya harus sehat dulu, ekonomi tutup dulu. Itu yang saya bilang dari hungry-man jadi angry-man. Ekonomi enggak jalan, orang lapar, ya repot. Urusan perut kan repot.
Banyak daerah dengan angka pertumbuhan kasus Covid-19 masih tinggi. Bagaimana penerapan normal baru di lapangan?
Mungkin tidak semua industri dibuka bersamaan. Ada beberapa industri yang dianggap vital, paling tidak yang penyerapan tenaga kerjanya tinggi, mesti dibuka secara bertahap. Lalu di daerah yang sudah dikategorikan hijau dibuka secara bertahap sehingga ekonomi mulai berjalan.
Pemerintah selama ini dikritik karena data kesehatan yang tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Bagaimana Anda melihatnya?
Kami sangat menyoroti itu. Saya masih ingat kami dari awal yang mengusulkan tes PCR (polymerase chain reaction), bukan rapid test, ke pemerintah. Lalu pelibatan rumah sakit swasta dan laboratorium uji yang masih kurang. Kami juga bilang kita harus berasumsi ada gelombang kedua wabah. Jadi pendanaannya juga harus sampai ke situ dari segi kesehatan.
Apakah Anda menilai kapasitas uji sampel kita sudah ideal?
Belum. Semestinya jauh lebih cepat. Kita ketinggalan karena membuang waktu kurang-lebih dua setengah bulan. Kapasitas tes kita sekarang mungkin 800 per 1 juta orang. Malaysia sudah 12 ribu per 1 juta, Singapura sudah 35 ribu. Mesti dikejar supaya kita tahu musuh yang tidak terlihat itu ada di mana.
•••
DPR memutuskan melanjutkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja yang dianggap kontroversial. Tanggapan Anda?
Kami berharap setelah melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk teman-teman serikat pekerja, ada titik temu untuk bisa disahkan. Namanya saja Cipta Kerja, untuk menciptakan lapangan kerja. Justru kami melihatnya undang-undang ini akan menjadi lebih penting pada tahun-tahun ke depan. Dampaknya tidak pada tahun ini, karena setelah disahkan perlu ada peraturan pemerintah, peraturan menteri, kurang-lebih ada 43 aturan turunannya. Jangan sampai nanti ceritanya sama lagi, mengapa investasi datangnya ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
Apakah pembahasan untuk semua kluster perlu dilanjutkan?
Sepuluh kluster sedang dalam proses, kecuali kluster yang berhubungan dengan tenaga kerja. Mungkin pembahasannya terakhir setelah nanti ada pembicaraan dulu dengan serikat pekerja.
Pembahasan omnibus law dikritik karena dilakukan di tengah pandemi. Mengapa tidak ditunda dulu?
Kalau kita menunggu sampai Covid selesai, asumsinya ada vaksin, berarti belum ada kepastian. Sedangkan kita tahu Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan Jepang akan merelokasi besar-besaran pabriknya dari Cina. Jepang mengumumkan akan memberikan insentif 2 triliun yen untuk semua pabriknya keluar dari Cina. Ada 1.000 perusahaan dari Amerika yang akan keluar. Kami melihat tensi antara Amerika dan Cina akan makin besar dan lama. Perusahaan di Cina tidak boleh lagi nanti listing di bursa Amerika. Bayangkan, ada berapa banyak? Kami sudah antisipasi.
Di tengah pandemi ini, apakah realistis mengharapkan investasi asing banyak masuk ke Indonesia?
Kalau tidak ada kebijakan dari negara-negara lain, termasuk Amerika, Eropa, dan Jepang yang sudah menyatakan secara terbuka akan keluar dari Cina, mungkin itu berat. Tapi akan ada relokasi besar-besaran. Ini peluang. Mereka akan merelokasi perusahaannya ke ASEAN dulu plus India dan Bangladesh.
RUU Cipta Kerja banyak dikritik karena dianggap terlalu pro-investor. Bagaimana Kadin menyikapinya?
Selain soal kemudahan perizinan, yang paling disorot adalah tenaga kerja. Mungkin karena kemarin yang bersuara paling keras adalah teman-teman serikat buruh sehingga konotasinya ini kepentingannya jadi beda, omnibus law antara serikat buruh dan dunia usaha. Padahal menurut saya enggak.
Apakah kekhawatiran serikat buruh beralasan?
Saya rutin berbicara dengan mereka. Andi Gani, Said Iqbal, Bu Elly (Rosita Silaban). Mereka teman-teman saya juga. Sebelum bulan puasa, kami masih ngobrol. Memang ada perbedaan. Tapi sebenarnya ada beberapa yang sudah ada titik temunya.
Seperti apa contohnya?
Kalau dibaca di omnibus law, misalnya soal cuti hamil dihilangkan, mereka marah. Padahal enggak dihilangkan. Ada hal-hal seperti itu. Masalah yang masih mesti dicari titik temunya adalah soal pesangon, outsourcing, upah minimum, uang pisah. Tapi, dibandingkan dengan hampir semua negara, pesangon kita mungkin salah satu yang paling tinggi di dunia.
Apakah perizinan yang berbelit menjadi persoalan utama yang menghambat masuknya investasi?
Iya, dan itu menjadi ekonomi berbiaya tinggi. Dengan berbelit-belit seperti itu, mohon maaf, kadang-kadang kami disuruh untuk nego dengan pengambil kebijakan. Jadinya korupsi. Kalau investasi kan kebanyakan di daerah, bukan di Jakarta. Di Jakarta, misalnya, persyaratannya cuma 5, sampai daerah bisa sampai 25 persyaratan.
Bagaimana omnibus law akan memperbaiki persoalan itu?
Ada banyak hal yang dicoba dirapikan lewat omnibus law, dari segi produktivitas, daya saing, harmonisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, severance payment, sampai standardisasi. Ini selalu menjadi isu bagi para investor. Nanti akan dibikin NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria), di semua daerah akan sama. Sebetulnya lebih pada penyederhanaan perizinan. Jadi ada kepastiannya. Sekarang kan tergantung pejabat daerahnya.
Bagaimana kepala daerah merespons perubahan dalam omnibus law?
Ini yang dipermasalahkan pemerintah daerah. Saya pernah disurati oleh banyak kepala daerah yang protes. Alasannya, setiap daerah kan beda segala macamlah, enggak bisa distandardisasi.
ROSAN PERKASA ROESLANI | Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 31 Desember 1968 | Pendidikan: Sarjana Administrasi Bisnis Oklahoma State University, Amerika Serikat (1993); Master Administrasi Bisnis European University of Antwerp, Belgia (1996) | Karier: Pendiri PT Recapital Advisors, Komisaris Kemang Jaya Raya (sejak 2003), Komisaris Mitra Global Telekomunikasi (sejak 2004), Komisaris Lativi Mediakarya (sejak 2008), Komisaris Saratoga Investama Sedaya (2004-2013), Presiden Direktur Berau Coal (2010-2013), Komisaris Visi Media Asia (sejak 2011) | Organisasi: Pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (2005-2008), Penasihat Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (sejak 2012), Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perbankan dan Finansial (2010-2015), Ketua Umum Kadin (sejak 2015) | Penghargaan: Leader Achieves in Development Award (2000)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo